Minggu, 18 Mei 2014

The Shabanas Family


Episode 2
Meet Dennis
The Shabanas Family
Me, My brorther, My Uncle, My Pet and My Parents...

            Sekolahnya Shasha sama Nenes itu letaknya berada di antara dua jalan, eh tiga kali ya. Tapi katanya salah...! Ada empat, kira-kira. Aduh rada bingung juga menjelaskannya. Jadi, sekolahnya itu dikitari jalanan besar yang cukup lengang, di tepinya terdapat pohon besar nan menjulang tinggi. Membuat daerah sekitar jadi sejuk.
Bangunan yang berdiri megah itu sudah agak tua, tapi belum setua Albert Einstein. Kalau kata mamang yang jualan es cingcau di sekitar, gedung bertingkat itu dibangun pas jaman Belanda. Dan menurut bibi penjual lotek di dekat taman, bangunannya agak-agak horor gitu. Tapi ya udahlah, Shasha dan Nenes sekolahnya kan cuma siang hari, itu pun sampe jam 12 teng.Jadi kepala sekolah ngasih jaminan enggak bakalan serem, deh.
            Buktinya, Shasha sama Nenes betah-betah aja. Sebelumnya, Negara juga alumnus SMA sana. Tapi, dia hampir aja enggak mengecap predikat alumnus, artinya, masih betah jadi dedengkot sekolah sana. Jadi begini ceritanya... dulu, menjelang pelaksanaan ujian nasional, Negara terkena DBD dan harus dilarikan ke rumah sakit. Pada saat itu, mami syok banget. Lebih syok ketika dia enggak berhasil dapetin baju lucu yang sudah di PO di Ci Oliv[1] gara-gara kelupaan transfer.
            Pas dikabari Negara pingsan sebelum mengisi soal-soal UN, mami langsung ngibrit aja dari kantornya di jalan Asia Afrika. Dengan wajah yang pucat pasi kayak habis dibanjur formalin sebaskom, mami langsung masuk kelas dan berniat bantu ngebuletin lembar jawaban Negara. Tapi saat itu panitia langsung menggiring mami buat masuk ke ruang UKS. Karena panik, dia langsung aja bawa Negara ke rumah sakit dan selama dua minggu Negara enggak bisa melakukan aktivitas apa-apa. Sekadar maen game di iPad pun dia minta tolong ke suster supaya bisa masuk ke season selanjutnya.
            Lalu, perjuangan mami selanjutnya adalah, bagaimana supaya Negara bisa ikut ujian nasional. Dia kerja keras banget, lho... kesian ya mami. Tapi syukur, karena setelah berdiskusi dengan kepala sekolah, pihak sekolah memberikan kesempatan kepada Negara untuk ikut ujian susulan dan syukur lagi, dia bisa lulus. Ya, meski nilainya enggak memuaskan, mami sih udah enggak berharap. Asal Negara lulus dan dia enggak dicibir ibu-ibu komplek saat arisan mingguan, mami mah udah bersyukur banget pokoknya lah....
***
            Siang itu, Shasha sama Nenes jalan bergandengan. Mereka enggak merasa risih lagi dengan tatapan teman-temannya yang memandangnya agak sinis, dulu malah pernah ada yang komen gini juga lho, “Kembar sih kembar, tapi enggak perlu kemana-mana bareng juga kali.” Shasha sempet down pas dikatain gitu sama kakak kelas. Dia enggak mau sekolah lagi di sana. Langsung kepengen Home Schooling.Mami jelas enggak setuju. Dia ingin putra-putrinya merasakan masa mudanya dengan bahagia. Untungnya, Nenes kasih semangat, kalau di sekolah umum mereka bakal dapetin pacar yang cakep kayak Kakak Rangga di film AADC dan setelah itu, Shasha balik lagi sekolah. Hore...
            Mereka berdua berjalan menuju gedung serbaguna. Mau nemuin best friend forever, sahabat sehidup enggak semati mereka yang lagi latihan karate. Namanya Inayah Nurhasan, biasa dipanggil Inay. Rumahnya di daerah Rajawali yang cukup terkenal. Hampir semua warga sekolah tahu, karena Inay suka naik angkot ataupun damriyang di jendelanya tertulis jurusan Rajawali-Elang. Eh sekarang nama daerah itu agak elit karena tertempel di bus Trans Metro Bandung, lho. Beruntung banget. Inay harus segera berterima kasih sama Bapak Ridwan Kamil.
            Setelah masuk, Shasha dan Nenes liat Inay lagi pasang kuda-kuda dan latihan meninju, menendang, meninju, menendang dan terus gitu-gitu aja sampai Inay lelah dan duduk di lantai. Waktu istirahat Inay itu, Shasha sama Nenes gunakan untuk menghampirinya. Mereka tadi ngeliat dari jarak jauh, sekadar jaga jarak aja. Inay kalau latihan enggak pakai kacamata. Dia kan minus berapa gitu, ya, jadi mereka berdua takut kena tinju gitu.
            “Inay haus?” tanya Shasha.
            Inay melihat kedatangan Shasha sama Nenes dengan kening berkerut. Dia kan enggak pakai kacamata, jadi agak sulit mengenali orang. Lalu setelah mengetahui, dua gadis yang berdiri di depannya adalah sahabatnya, dia masang wajah ingin membunuh.
            “Ya iyalah haus, masa pengen pipis...” Jawab Inay, nadanya ketus banget.
            “Ya udah, ini, Nenes bawain air.” Nenes langsung aja ngasihin tumbler di tangannya ke Inay yang langsung menenggaknya sampai habis.
            “Tumben kalian baik,” nada Inay skeptis, “Ini enggak diracun, kan?”
            “Enggak kok Inay,” Nenes langsung motong. “Mana mungkin ada racunnya, kecuali...” Nenes enggak melanjutkan. Dia malah menatap Shasha seolah memberi kode, menyerahkan hak menjelaskan kepada kakaknya.
            “Kecuali kalau ada yang niat ngeracunin guru satu sekolahan, Inay...” Shasha melanjutkan penjelasan Nenes.
            “Jadi... kalian...” mata Inay melotot.
            “Iya, kami ambil airnya di ruang guru. Enggak apa-apa kok, siapa tau kamu makin pinter.”
            “Enggak ngaruh kali!” Inay mendengus, enggak rela banget kayaknya. “Sudah kuduga.”
            Lalu Shasha sama Nenes mengempaskan tubuhnya ke lantai, ikut-ikutan Inay yang sedang melepas lelah. Gedung serbaguna sudah lengang, enggak ada lagi siswa yang latihan atau sekadar jalan-jalan doang karena pada akhirnya mereka semua sadar, ini bukan mal.
            Shasha sama Nenes sikut-sikutan. Niatan mereka menemui Inay adalah buat curhat. Tadi di kelas enggak sempet karena kalau curhat di kelas, mereka berdua suka enggak sadar mereka curhat ke semua orang, padahal niatan curhatnya cuma ke Inay doang. Mereka lagi-lagi berbicara dengan batinnya, menunjuk siapa yang akan bilang ke Inay.
            Akhirnya, Nenes yang bilang. “Inay, mami mau nikah lagi. Aduh gimana ya nasib kami entar...”
            “Serius?” mata Inay langsung melotot. “Mami mau nikah sama siapa?”
            “Enggak tau. Soalnya mami mah enggak pernah bawa laki-laki ke rumah. Jadi kami bener-bener enggak tau.” Shasha menarik napas, seolah masalah yang dihadapinya sangatlah berat sehingga pemerintah juga harus ikut andil menyelesaikannya.
            “Mmm..” Inay tampak mikir. Bagaimanapun, dia udah kayak tong sampah yang suka mendaur ulang sampahnya secara otomatis. Dia suka langsung ngasih solusi buat si kembar. “Jangan-jangan, mami mau nikah lagi sama perempuan? Aduh ini gawat!” lalu mendapati tatapan si kembar kayak mau membunuh balik, Inay langsung takut dan mulai serius.
Kata Inay, “Ada dua kabar yang harus kalian terima atas rencana mami kalian. Mau enggak mau kalian harus denger, itu mutlak.” Tangannya mengibas-ibas ke wajahnya karena kepanasan. Padahal enggak ngaruh banyak sih.
            Shasha sama Nenes langsung nyimak dengan serius.
            “Kabar pertamanya, kalian harus bersyukur, karena mami kalian masih laku.”
            “Ih, perempuan secantik mami mah enggak mungkin ada yang nolak kali, Inay.” Shasha enggak terima.
            Nenes ikutan. “Iya Inay, mami kan pernah jadi Mojang Bandung dulu. Lagian, bahasa inggrisnya mami lancar banget.”
            “Enggak nyambung deh, Nes jodoh sama bahasa inggris!” Inay langsung sewot lalu memberi kabar selanjutnya. “Nah yang kedua, kalian harus hati-hati. Aduh, ini gimana ya ngomongnya. Aku agak-agak enggak tega...”
            “Ihh... apaan Inay?” Shasha masang wajah penasaran. Nenes juga. Ya, namanya juga anak kembar.
            “Gini, kalian pernah denger cerita kalau ibu tiri itu sangat jahat?”
            “Bawang Putih disiksa sama ibu tirinya dan juga Bawang Merah.” Sahut Nenes langsung keingetan dongeng itu.
            “Putri tidur juga, dia disiksa ibu tirinya.” Inay kasih referensi lain.
            “Sangkuriang juga mau nikahin ibunya.” Nenes kembali kasih referensi yang langsung direspons Inay dengan pelototan.
            “Itu mah enggak nyambung, Nenes!”
            “Terus apa kesimpulan dari obrolannya, Inay?” Shasha yang sejak awal enggak ngerti lalu protes.
            “Jadi gini, kita udah pada tahu, kalau ibu tiri itu jahat. Nah, ibu tiri aja jahat, gimana ayah tiri? Hei, kalian tau kan, ayah itu pemimpin di rumah kita. Jadi, kalian mau apa dipimpin sama orang jahat? Ih, aku mah sih enggak mau.” Premis Inay kayaknya langsung ditelan mentah-mentah oleh Shasha dan Ines.
            Lalu hening...
            “Gimana dong, Kak?” Nenes tanya ke Shasha.
            Shasha Cuma geleng-geleng sambil berkata, “Padahal kita berdua udah setuju. Cuma Kak Gara aja yang enggak. Tapi dia mah mudah dipengaruhi.”
            Inay langsung mencibir sambil membuang pandangan, “Kayak kalian enggak aja...”
            “Apa Inay, kamu ngomong apa barusan?” Shasha mencium aroma kejahatan di diri sahabatnya itu.
            “Oh enggak kok, enggak ngomong apa-apa.” Inay jelas-jelas ngeles. “Jadi, gimana keputusan kalian?”
            Shasha sama Nenes menggeleng barengan.
            Tuh kan labil, bisik Inay dalam hati. “Mending kalian pikir-pikir lagi, deh. Jangan sampai hidup kalian diatur-atur sama orang yang jahat...”
            Shasha dan Nenes lalu mikir.
***
            Shasha sama Nenes masih mikir. Enggak tahu sampai kapan, kalau enggak disadarkan dengan beberapa orang yang masuk gedung serbaguna tempat mereka bertiga duduk-duduk santai kayak di balkon rumah sendiri. Ada lima murid laki-laki yang masih mengenakan celana abu-abu, sedangkan atasannya pake kaus. Ada tiga murid perempuan yang masih lengkap pakai seragam. Dua murid laki-laki bawa gitar. Satu murid perempuan bawa biola. Sisanya, mereka bawa diri masing-masing aja.
            “Eh eh, kayaknya gedungnya mau dipake latihan deh,” Nenes angkat bicara. Merasa diri mereka harus segera hengkang dari sana.
            “Emangnya kenapa?” Inay langsung sewot aja.
            “Iya, kita keluar yuk. Sambil nunggu Mang Adun, kita makan mi ayam dulu di depan.” Shasha sekarang udah punya inisiatif sendiri menghadapi sopirnya yang suka telat jemput itu.
            “Tenang dulu aja, aku masih capek, tau!” bentak Inay, “Lagian, ini kan fasilitas umum, siapa aja boleh diem di sini, asal jangan dibawa ke rumah aja, kan?”
            Enggak mau kena tinju Inay yang sangar, Shasha sama Nenes langsung ngangguk. Agak enggak ikhlas. Tapi bodo ah, Inay enggak peduli. Yang jelas, dia pengen santai-santai aja dulu di sana.
            “KALIAN NGAPAIN MASIH DI SINI?” ucap seseorang dari arah samping.
            Kontan, Inay, Shasha sama Nenes berbalik ke arah suara. Mendapati sosok... aduh, sebutin aja ya, ganteng dengan mata sayu, kulit putih, rambut lurus, alis tebal, hidung mancung, telinga ukuran sedang, lubang hidung bulat sederhana. Dia pakai kaus warna putih dan cocok banget di badannya.
            “Kami mau latihan, dan enggak mau didenger orang lain. Jadi, kalian kalau memang menggemari puitisasi kami, nonton aja di acara Pensi entar. Enggak perlu bayar kok.” Ucap pemuda itu dengan nada sinis, seolah berkata gini, “Kalian enggak bakal mampu kalau ada tiket masuk!”
            Aduh ya, pemuda itu bikin Inay marah. Tangannya udah gatel pengen ninju wajahnya. Lantas dia berdiri, “Eh kamu ngomong apa barusan? Apa maksudnya?” dan tinju Inay langsung melayang, mendarat di pipi pemuda itu.
            Pemuda itu langsung memekik, memegangi pipinya yang kena bogem Inay.
            Melihat itu, Shasha sama Nenes langsung berdiri, memegangi Inay supaya kemarahannya enggak sampai membabi buta. Dan mereka cukup berhasil.
            “Inay, udah, tahan. Kamu enggak mau dipanggil Pak Dadang ke ruang BP, kan?”
            “Bodo, yang penting aku puas. Apa-apaan dia, berani-beraninya ngusir. Enggak tau apa, aku putrinya Bapak Hasan.” Inay mencoba melepas pegangan Shasha sama Nenes.
            “Apa yang kamu lakuin barusan, memukulku?” pemuda itu menatap Inay tajam, tapi lebih ke meringis, sih. Ngilu mungkin.
            “Bukan! Mencium dengan ini,” Inay mengacungkan tinjunya lagi, membuat pemuda itu mundur selangkah.
            Dari arah kumpulan teman-teman pemuda itu, salah seorang berteriak. “Dennis... ada apa?” lalu mereka berlari ke arah Inay, Shasha dan Nenes, dan pemuda itu juga, seolah mereka mau tawuran.
            Tiga lawan delapan, ya tetep kalah tiga lah. Shasha tumben mikir itu, ya? jadi dia milih meminta maaf sama pemuda yang dipanggil Dennis itu. Sekompak mungkin, dia sama Nenes narik tangan Inay supaya keluar dari gedung itu.
“Dasar cewek barbar. Keturunan tarsan kali!” sebelum keluar, Inay sempat dengar pemuda itu menggerutu. Inay masih belum puas, tapi Shasha sama Nenes narik tangannya kayak dia lagi narik sekarung sampah. Dia akhirnya bisa keluar juga. Lalu marahnya berpindah sama si kembar. Tapi buru-buru Shasha sama Nenes traktir dia es cendol. Inay jadi enggak marah lagi, deh.
***
Keterangan:
The Shabanas Family ini adalah tulisan iseng yang akan saya posting setiap saya punya mood buat nulis dan minta Hadi Kentang buat mempostingnya. Spoiler dikit, di episode 3 dengan judul “Keluarga Tante Ning” kamu bakal balik lagi ke rumah Mami, ketiga anaknya, mamang Akim dan Miw-miw yang masih ngebet ngawinin kucing anggora punya tetangga. Kata Dennis, keluarga mereka aneh banget. Enggak setuju lah, Pak Pida menikahi perempuan dengan keluarga aneh macam mereka! Apalagi, di rumah itu ada kucing setengah anggora yang... Dennis takut sama kucing. Geli dan jijik! Enyah kamu kucing bandel!




[1] Pemilik onlensop yang suka nge-PINK!!! Mami di jam dua belas malem buat nawarin koleksi baju-baju terbarunya yang lucu-lucu. Konon, Ci Oliv udah mulai menjaring Shasha sama Nenes juga lho, buat beli koleksi pakaian dia. Katanya, buat si kembar mah cocok baju-baju ala Korea dan mereka langsung tergoda aja buat beli. Tapi sumpah, itu PING!!! Di jam segitu suka ganggu banget deh. Kalau dia nge-PING!!! Negara, udah pasti Negara bakal delkon dia. Tapi mereka mah enggak temenan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar