Sabtu, 10 Mei 2014

The Shabanas Family


Me, My brorther, My Uncle, My Pet and My Parents...



Episode 1
Rencana Pernikahan Mami
            Pada suatu malam di salah satu rumah dua lantai dengan enam kamar di sebuah perumahan bernama Perumahan Batu Nunggal, Bandung, Jawa Barat, Indonesia, Bumi.
Shasha dan Nenes saling berpelukan, tapi enggak mesra karena mereka hanyalah sepasang adik kakak yang pernah berbagi tali pusar bareng di dalam kandungan maminya. Kedua gadis berusia enam belas tahun itu berpelukan sambil menangis sesenggukan, seolah mereka sekeluarga besok akan ikutan gabung dalampeperangan which is merekahanya dibekaliperalatan bambu runcing dan ketapelseadanya.
            Belum lama banget sih mereka nangis, baru tiga puluh menit setelah maminya mengabarkan, bahwa dia akan segera menikah lagi. Mengisi lembaran baru untuk hidupnya yang hampa setelah ditinggal papinya yang meninggal di medan perang. Intinya sih, maminya itu kesepian. Seenggaknya, Negara yang bisa menyimpulkan hal itu, karena semenjak maminya mengutarakan keinginan yang selama ini dipendamnya, pemuda yang kuliah di jurusan listrik itu hanya terdiam, menundukkan kepalanya dan sesekali membalas Blackberry Messanger yang masuk di iPad mininya. Eh, sesekali dia cengar-cengir juga pas ada chat yang masuk.
            “Kok kalian malah nangis...?” Mami bertanya heran, satu alis tatonya terangkat dengan cantik.
            “Mami kok tega, ngekhianatin Papi gitu aja sih?” protes Nenes dengan nada merajuk, mewakili pertanyaan kakaknya yang masih sesenggukan dalam pelukannya.
            Mendengar itu, mami malah tersenyum lebar. “Bukannya gitu, sayang,” lalu diam, memikirkan kalimat yang layak diucapkan. “Kita semua tinggal di rumah ini ibarat berada pada sebuah kapal yang sedang berlayar. Untuk sampai di tempat tujuan berlabuh, kita membutuhkan kapten di dalamnya.” Penjelasan mami sangat diplomatis.
           “Serius, Mi? Jadi, sebenarnya rumah kita ini kapal?” kali ini Shasha yang berkomentar dan sebelum itu, dia segera mengusap air mata plus ingusnya dengan punggung tangan.
            “Ish, Kak Shasha apaan sih, enggak nyambung banget!” Nenes menyikut perut Shasha. Sebenarnya, dia ingin sekali mencubitnya pakai capit kepiting. Tapi urung karena mereka berdua alergi dengan makhluk yang cara jalannya abnormal itu.
            “Iya kan, Mi?” Shashaenggak mengacuhkan protes adiknya, dia malah mempertegas pertanyaannya pada maminya yang masih tersenyum selebar daun kelor.
            “Maksud Mami, kita perlu pemimpin laki-laki di rumah ini.” Jelas mami, masih dengan nada yang sangat tenang, setenang air di dalam galon.
            Shasha menatap Nenes dengan ekspresi kecewa karena bayangannya terempas begitu saja, jadi rumahnya bukan kapal sungguhan!Enggak disangka, Nenes juga memperlihatkan hal serupa. Dia berkata lirih ke telinga Shasha, “Yah..., kirain bener ya, Kak. Nenes pikir, kita bakal kayak di komik One Piece gitu.L
            “Eh itu komik kan punya si Mamang rental, belum kamu balikin?”
            Nenes menggeleng, takut dimarahi kakaknya karena sesuai janji, komik yang Shasha pinjam dan dibaca bersama, maka Nenes yang harus balikin ke mamang rental. Kalau Nenes yang minjem, berarti Shasha yang ngembaliin. Nah, kalau dua-duanya yang minjem, mereka suka iseng nyuruh mamang pengantar galon yang ngembaliin ke mamang rental. Tapi ngomong-ngomong, ini hari ke sembilan dari jadwal pengembalian komik. Jadi, siap-siap aja Shasha kena marah si mamang tukang rental komik yang punya rambut plontos kayak Samuel Rizal itu. Eh, enggak marah juga, deng, paling kena tegur sama denda aja sembilan ribu perak.
            Diskusi si kembar sifat itu seketika terhenti ketika mendapati abang mereka yang dikiranya autis karena begitu asik dengan gadget di tangannya, lagi BBM-an sama pacar baru kayaknya, mulai bersuara. Tapi sebelumnya berdeham-deham dulu, karena ada dahak mungkin di tenggorokannya.
            “Di rumah kita kan ada Mamang, Mi.” Ucap Negara dengan nada parau. Dia sama sekali enggak mengangkat wajahnya yang cukup digemari geng para jerawat itu. “Mamang juga laki-laki, kan?” nadanya protes, tapi protesnya enggak sampai sebrutal para pendemo di gedung sate.
            Mami menghela napas berat, seolah beban terberat dalam hidupnya selain telah menjadi single parent selama satu setengah tahun, adalah memiliki putra putri seperti mereka. Beberapa kali dia beristighfar, semoga apa yang menimpa anak-anaknya itu bukan sebuah kutukan dari Tuhan gara-gara selama hamil, dia jarang banget mengucapkan, ‘amit-amit’ dan ‘ampun paralun’ sambil ngelus perut buncitnya.
            “Bukan gitu, Gara, maksudnya Mami—” ucapan mami kepotong gara-gara dari arah dapur, Akim datang dengan membawa piring di tangannya.
            “Ladies and gentleman... kita hentikan talkshow kita dan jeda dengan beberapa gorengan Midog berikut.” Mamang Akim menyimpan piring di tangannya yang berisi dengan beberapa potong Midog[1] yang dipotong ala pizza dan juga seiprit saus pedas di sisi piring. Setelah itu, dia ikutan duduk di sofa. Tangannya enggak bisa diam banget. Dia langsung bergelirya, mengambil satu potong Midog dengan tangan kanannya dan tangan yang lain mengambil remot di sampingnya, menyalakan televisi plasma dan langsung memilih saluran gosip.
           Mami sih maklum aja dengan kelakuan adik tirinya yang berasal dari kampung Bayongbong, Garut itu. sebenarnya kadang dia muak dengan kelakuannya, tapi ketika melihat ibunya mamang yang merupakan ibu tirinya mami yang meminta dia merawat mamang semana dia menyayangi ‘Miw-miw’, kucing peranakan anggora yang merupakan hewan peliharaan mereka. Ya udahlah, mami juga sayang mamang kok, kayaknya.
            “Mamang, kapan skripsinya selesai?” Mami tiba-tiba aja keingetan soal itu dan langsung menanyakannya. Mamang ini sudah masuk tahun ke tujuh kuliahnya, tapi belum ada tanda-tanda dia bakal wisuda. Meskipun adik tiri, ya tetap aja dia merasa terbebani dengan amanat ibu tirinya di Garut yang selalu mengirim chocodot dan brodol setiap awal bulan. Kalau mau marah, mami suka luruh sama sogokan dua makanan itu. Marah suka enggak jadi, deh.
            “Mmm... mmm... mmm...” Mamang Akimtergeragap. Lalu, dia mengalihkan kembali tatapannya ke layar televisi. “Aduh itu info si vokalis band yang liburan bareng janda ke Bali. Ah, ini pasti agenda setting, supaya bisa ngangkat nama janda itu. Padahal dia udah enggak beken lagi.” Celotehnya, seolah perkataan mami di telinganya hanya sebuah teriakan dari tukang sayur langganan yang berjualan pada saat adzan zuhur udah lewat lima belas menit.
            Kali ini mami mengembuskan napas, hampir menyerah menghadapi orang-orang yang tinggal di rumahnya itu. Tapi, sejak lahir, dia sudah ditakdirkan untuk menjadi perempuan setrong. Buktinya, selama ini dia bisa menjalani kehidupannya, mengurus tiga anak, satu adik tiri, satu pembantu, satu tukang kebun, satu sopir dan satu kucing setengah anggora yang suka kelayaban mencari kucing betina milik tetangga.
            “Pokoknya, Gara enggak setuju, Mi... apapun yang terjadi.” Setelah mengucapkan itu, Negara berdiri dan meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya di ruang atas.
            Mami menatap kepergian putra pertamanya yang agak keras kepala seperti mendiang papinya. Begitu juga Shasha dan Nenes yang ikutan menatap abangnya. Kalau mamang Akim sih masih mantengin gosip vocalis band dan janda cantik di infotainment.
            Mendapati raut sedih di wajah mami, Shasha dan Nenes saling memandang, dan enggak lama kemudian mereka saling mengangguk. Anak kembar itu seolah berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang cuma dia dan anak-anak kembar sedunia yang tahu. Mereka berdua lalu beranjak, menghampiri mami dan memeluknya seraya berkata dengan kompak.
            “Kita setuju, kok Mi... asal Mami seneng, kita juga bakal seneng.”
            Mami sungguh bahagia luar biasa, senang dunia akhirat karena pada akhirnya dia punya kubu yang mendukung dan pastinya bakalan jadi tim sukses. Kedua tangannya terangkat, mengusap lembut rambut panjang kedua putrinya yang sekarang sudah tumbuh besar, sudah enggak kutuan lagi dan mereka sudah naik kelas XI di SMA negeri favorit di Bandung.
            “Eh Mi, itu Abang Gara balik lagi,” bisik Nenes ke telinga maminya.
            “Iya, kayaknya Abang juga setuju deh.” Shasha ikutan berbisik dan ketiganya sudah siap berpelukan bareng-bareng.
            Negara yang mendengar bisik-bisik adiknya langsung menyela, “Eh apa coba, orang cuma mau ngambil iPad doang.” Benar, diacuma mengambil iPad-nya yang tertinggal di sofa, lalu kembali berbalik menuju kamarnya buat ngelanjutin chattingbareng pacarnya yang merupakan anak kelas sebelah itu. Enggak tahu sih namanya siapa, dan enggak perlu tahu juga lah ya.
            Ketiga orang itu pun menatapnya dengan kecewa.
            “Eh Ceuceu coba lihat, ini ada berita tentang pengacara yang mulutnya ember itu mau bercerai... katanya, sekarang mereka lagi masalahin harta gono-gini.”
            Sejak lahir, Mamang Akim emang udah ditakdirkan salah, kayaknya. Dia adalah orang yang salah, dan tinggal dengan orang-orang yang salah juga. Dan atas kesalahannya itu, tiga orang perempuan di dekatnya kini menatapnya dengan tajam, kayak Miw-Miw yang pengen dilepas karena sudah enggak kuat pengen ngawiniwinin kucing anggora punya tetangga.
***
Keterangan:
The Shabanas Family ini adalah tulisan iseng yang akan saya posting setiap saya punya mood buat nulis dan minta Hadi Kentang buat mempostingnya. Spoiler dikit, di episode selanjutnya, Shasha dan Nenes bakal curhat soal maminya ke Inay yang merupakan sahabatnya di sekolah. Kira-kira, gimana ya respons Inay akan rencana pernikahan maminya si kembar itu? Ah, kayaknya enggak penting juga sih tahu responsnya si Inay. Karena di espisode 2 dengan judul ‘Ketemu Dennis’, kamu bakal ketemu cowok ganteng yang jago main gitar dan bikin puisi. Sesuai namanya, cowok itu berkarakter agak peDENdam dan sedikit siNIS.



[1] Sejenis makanan halal, terbuat dari mie yang dicampur dengan telur, lalu digoreng. Biasanya disantap pada saat akhir bulan, karena cuma dua bahan makanan itu yang tersedia di dalam kulkas yang sudah agak bau-bau gitu. Paling pas ditemani dengan air putih aja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar