Sabtu, 28 Desember 2013

Tinjauan Film Tenggelamnya Kapal Van Deer Wijck


nyolong di google tadi
Saban hari saya pernah nyeletuk, “Saya ingin membuat blog khusus review buku dan film. Blog baru tersebut akan saya namai ‘Bufil’—singkatan buku dan film.” Tetapi saya malah menertawakan keinginan saya sendiri. Sementara blog ini saja, kadang-kadang diurus sama sahabat virtual saya—Hadi Tang, atau Maikel—yang katanya, mereka tak bisa menolak perintah saya yang oportunis ini. What the...?Manner pliis!
            Akhirnya saya memutuskan untuk menyampur-adukkan segala sesuatu yang ingin saya tulis pada blog ini. Yep, termasukreview pertama saya untuk film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
            Sebenarnya, saya sudah ada rencana, di hari terakhir UAS, saya akan menghabiskan waktu tersebut dengan hanya bersenang-senang. Selain alasan di atas, alasan lainnya adalah saya telah menyelesaikan naskah novel sebelum menutup tahun 2013. Sesuatu yang patut dirayakan, sebenarnya. Rencana pertama adalah, saya ingin nonton. Kemudian, saya teringat akan hadiah yang menjadi tahuran saya bersama Honesty—kita singkat saja menjadi Ones—yakni tiket nonton. Dulu, ketika saya mulai mengendus rencana novel Sunshine Becomes You akan difilmkan, saya menginginkan tiket gratis tersebut dialokasikan untuk menonton film itu. Tetapi apa dikata, bahkan sampai detik ini saya belum mengetahui perkembangan film yang diadaptasi dari novelnya Ilanna Tan tersebut.
            Karena takut si gadis asal Cirebon itu lupa akan janjinya, maka saya menagihnya untuk menonton kali itu. Sebenarnya tanpa tiket gratis itu pun, saya akan tetap menonton. Namun karena Ones takut dia kenal sial gara-gara tidak menepati janjinya—seperti tokoh Mia di novel Janji Es Krim—maka dia menepatinya. Yep, barangkali itu berkah natal untuk saya. Terimakasih Tuhan yang baik karena telah membuat Ones gagal move on dan kemenangan mutlak di tangan saya.

Senin, 23 Desember 2013

Di Balik ‘Luka’ Shin Yong Hee dan Han Seon Mi(Beautiful Regret)


Sekira bulan September, mood dalam menulis saya tengah buruk-buruknya. Keinginan untuk menyelesaikan naskah satu dan yang lainnya bertumpang tindih hingga akhirnya saya menyerah pada keinginan yang gila tersebut dan menenangkan diri selama beberapa jenak. Tetapi pada saat yang sama, satu inbox Facebook telah membuat semangat menulis saya kembali terpacu. Adalah pesan yang dikirimkan Mbak Anin Patrajuangga yang melakukannya. Pesan singkat tersebut menyebutkan kalau outline yang telah saya kirimkan—tepatnya saya sudah lupa—telah dipelajari dan Penerbit Grasindo bersedia menerbitkannya.
Tentu saja, itu adalah kabar yang cukup menggembirakan. Kehadirannya seolah memberi angin segar serta jalan yang harus saya tempuh saat itu, yakni menuliskan kerangka tersebut sampai selesai.
Tak serta merta Mbak Anin memberi kesiapan menerbitkan, kalau tidak memberi Dead Line. Ya, bulan Desember menjadi tenggat naskah ini harus selesai dan disetorkan dalam bentuk utuh, bukan lagi setengah rangkaian cerita.
Sementara dalam proses penulisannya, sempat didera kendala karena telah kehilangan feel Korea. Pada saat itu memang tidak banyak drama romance yang saya tonton, melainkan komedi dan serial detektif cyber yang membuat saya terbuai dengan kerumitannya. Tetapi kehabisan akal bukan tabiat saya. Ketika itu saya membeli novel terjemahan sebagai bahan referensi. Karena sejak awal, saya ingin mengonsep novel ini ala terjemahan, tetapi seiring berjalannya waktu, saya gagal membentuknya, tetapi saya berhasil menuliskannya dengan gaya saya sendiri tentunya.
Tulisan ini berlatar Korea Selatan—Demi Tuhan, ini bukan semata mengikuti tren, tetapi karena saya menyukai banyak hal tentang Korea, drama salah satunya—tetapi jangan terlalu berharap mendapat sajian tentang seluk beluk setting Korea yang mendalam—Pliis, ini bukan sebuah novel perjalanan—dan jangan pula berangan-angan kau menemukan deretan nama-nama member boys/girls band atau idolamu karena ini bukan sejenis novel Fan Fiction.
Teman-teman akan diperkenalkan pada laki-laki baik hati bernama Shin Yong Hee yang memiliki hobi menggambar. Tetapi kemudian kehidupannya berubah total setelah suatu malam ia menyelamatkan seorang gadis bernama Han Seon Mi yang baru diketahuinya seorang artis.
Namun, ia harus menerima kenyataan kalau kebaikan yang telah dilakukannya berbuah petaka baginya, bagi kehidupannya, bagi masa depannya.
Kemudian, setelah kejadian seorang laki-laki bermata sendu itu menyelamatkannya, kehidupan Han Seon Mi malah semakin memuakkan dan menyakitkan. Setelah membuat pengakuan mengejutkan yang telah menghancurkan masa depan laki-laki itu, hidupnya pun dirundung penyesalan tiada akhir.
Perjuangan gadis itu memohon maaf kepada laki-laki itu terasa sangat panjang dan penuh perjuangan. Namun yang diketahuinya saat itu, ia harus berjuang sampai akhir.
Hal itulah yang ingin saya sampaikan dalam novel ketiga saya. Ada sedikit perubahan cerita dalam kisah ini yang berbeda dengan draft kasarnya. Awalnya, saya ingin lebih menonjolkan dendam tokoh utama dan kebenciannya pada tokoh Han Seon Mi, namun seiring dengan berjalannya waktu, cerita sedikit berbalik. Saya sedikit lebih banyak mengeksplor penyesalan Han Seon Mi, ketimbang kebencian dan amarah Shin Yong Hee karena merasa telah dikhianati.
Pada akhirnya saya percaya, konflik timbul karena pergesekan antar tokoh. Selama menulis, saya merasa lebih dekat dengan Han Seon Mi. Saya dapat merasakan penyesalan yang dialami gadis itu. Saya juga ikut merasakan perih akibat pengkhianatan yang dialami Shin Yong Hee.
Begitulah kisah itu bergulir, sampai keduanya dipertautkan dengan perasaan yang mereka simpan dalam relung hati masing-masing, penyesalan yang indah.
Saya juga menambah sub-konflik antara Han Tae Ra yang menutup perasaannya pada seseorang yang pernah menorehkan luka di masa lalunya. Perempuan keras kepala yang terus menutup perasaannya. Hal itu saya lakukan dengan alasan, semua sumber masalah yang dialami dua tokoh utama itu karenanya. Karena ulahnya, karena keserakahannya dan... karena kisah masa lalunya bersama So Yi Jung. Laki-laki yang kini bersahabat dengan Shin Yong Hee.
Hal yang membuat saya takjub dalam cerita ini adalah, Shin Yong Hee dan Kim Min Ji mematahkan teori kalau sepasang laki-laki dan perempuan tidak akan murni bisa bersahabat. Kenyataannya, persahabatan Kim Min Ji dengan Shin Yong Hee tidak dilandasi oleh pengkhianatan rasa bernama cinta. Sampai cerita ini ditutup, keduanya tetap bersahabat dengan baik.
Mari kita tunggu perkembangannya. Semoga awal atau pertengahan tahun ‘Beautiful Regret’ sudah bisa dinikmati.


Cheers


Kamis, 28 November 2013

Pengumuman Pemenang FF #DiaryJombloDarurat


“Deng, buku lo apakabarnya?”
Tanya Kentang—a.k.a Hadi Tang a.k.a Hadi Sujatman—suatu ketika. Entah pertanyaan tersebut murni datang dari hatinya, menanyakan novel pertama saya, atau serupa sindiran dengan redaksi kalimat seperti ini, sebenarnya, ‘Deng, buku lo laku nggak sih?’ dan saya pikir itu maksud Kentang sebenarnya. Hanya saja dia mencoba berbasa-basi dengan cantik.
“Baik,” saya menjawabnya tak acuh. Memangnya apa yang bisa lelaki gingsul itu lakukan, hah? Menyemangati saya buat terus berpromosi ria ala SPG (Bukan Sales Promotion Gay)? Ah, dia aja selalu nggak pedean dengan karyanya, mana bisa mede-medein orang lain. Halah...
“Gimana kalau gue bantuin promo, euh... sebenernya ini sejenis kerja sama.” Katanya kemudian.
Saya yang awalnya enggan merespon pesan instan melalui whatsapp, merasa tertarik dengan tawarannya. Karena sebelumnya, Kentang pernah didaulat sebagai host acara debut penulis di salah satu penerbit. Baiklah, saya pikir ini cukup keren. Ah, niat saya sebenarnya bukan untuk promosi, melainkan berbagi kesenangan saja.
Ya, saya senang menulis. Alangkah kerennya kalau kesenangan saya juga dirasakan teman-teman.
“Gimana kalau ....!@#$%^&*()_...” tawarku pada Kentang yang lagi mangkir dari kerjaannya di kantor TU.
“Ah, kayaknya keribetan. Ntar kalo nggak ada yang ikutan gimana?”
“Bagaimana kalau gini...!@#$%^&*(...”
Kentang kembali menyela. “Ribet bingit itu Kakak.”
Padahal niat saya begini, kemudian saya jelaskan. “Saya ingin orang-orang yang awalnya malu-malu menulis mulai memiliki kepercayaan diri buat menulis, ya, kita mulai dengan cara sederhana. Masalah banyak atau nggak yang ikut, biarkan itu berjalan semana mestinya.” Ah, kenapa saya jadi sok-sok-an bijak kayak gitu.
Maka terciptalah kerja sama yang sangat elegan ini...

Setelah opening yang cukup melelahkan, saya kira. Mari kita ke acara inti. Saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman atas atensinya, mengikuti tantangan menulis FF dengan tema ‘Jomblo’ versi kalian masing-masing. Mohon maaf pengumumannya terlambat lantaran saya harus menunaikan kewajiban saya terlebih dahulu sebagai... jomblo. Ah, salah fokus. Sebagai Mahasiswa yang cukup taat pada dosen. Selain alasan itu, ada alasan yang lebih krusial lagi, di tempat saya didera mati lampu seharian.
Sebenarnya, tulisan teman-teman sangat keren. Dan semoga saja setelah ini, Chingu (sebutan untuk teman versi saya), bisa terus menulis. Ya, minimal untuk kesenangan Chingu sendiri ya, selebihnya semoga saja bisa menyenangkan orang lain. Aih, pekerjaan yang mulia itu.
Tetapi karena ini bisa disebut kompetisi, tentu saja dengan skala paling kecil, maka saya pilihkan satu pemenang yang akan menerima 1 eksemplar Novel Diary Jomblo Darurat edisi bertanda tangan. Ketika membaca FF Chingu semua—termasuk punya Om Kentang—saya sempat syok, karena diceritakan Adeng adalah seorang cewek cantik. Saya jadi pengen rebonding rambut dan beli rok mini. #salahfokus Tetapi saya beneran bingung karena kisah kalian sangat keren dan inspiratif.
Yang terpilih, tetap hanya satu dan yang beruntung mendapatkannya adalah...
@argalitha-Kisah Kepada Juwita
Selamat, kepada pemenang beruntung, sila kirim nama lengkap+Alamat jelas+nomor telpon ke DM @HadiSujatman
Baiklah, saya ucapkan thanks buat Chingu saya, Kentang—a.k.a Hadi Tang a.k.a Hadi Sujatman—yang sangat agresif dalam menjalankan acara ini. Juga kepada Chingu lainnya, mari terus berkarya.
Salam,

Dion Sagirang

Minggu, 24 November 2013

Reuni Singkat


Setiap malam kita melakukan ritual kecil berupa obrolan ringan. Tema percakapan kita tak beranjak dari orang-orang yang pernah menoreh warna di kehidupan kita, dan anehnya tak sedikit pun kita dihinggapi rasa bosan. Meski tema serupa, tapi nyaris tak pernah jenuh karena setiap malam yang kita lewati akan terasa menyenangkan. Kadang kala, cerita kita diakhiri dengan derai tawa yang menyadarkan kita, telah banyak bungkus makanan yang telah tandas. Atau, dulu kita pernah mengakhiri percakapan dengan tangis terisak yang membuat orang tua kita saling menaruh curiga, ‘kau apakan anakku?’. Lalu dengan berat esoknya kita saling menjelaskan perihal yang terjadi kemarin malam.
Keadaan kita memang begitu. Tak jarang kita lupa waktu, lalu disadarkan oleh teriakan orang tuaku dari ambang pintu dan tentu saja orang tuamu yang mengutus adikmu untuk mengingatkan kita kalau malam sudah semakin beranjak jauh, menyeruakkan sunyi dalam gelap. Hari esok telah menunggu kita dengan cantik. Begitu kau bilang. Sebagai kalimat perpisahan untuk malam itu.
Namun kali ini, kau mengajakku menjelmakan kehidupan. Sebenarnya, aku tak mengerti maksudmu. Tapi, baiklah kita coba. “Mmm... apa, ya?” Aku berpikir cukup lama. Mencari ide dalam nikotin yang kusesap. Sementara kau menikmati kukicha hangatmu yang juga mengepulkan asap, menebarkan aroma tenang dalam cangkir yang kaudekap di kedua tanganmu. Malam ini terasa sangat dingin, makanya tak tampak satu pun bintang yang berpendar. Meski tanpa bintang, tapi percakapan kita di beranda rumah akan tetap seru, seperti malam-malam sebelumnya. Bukankah begitu?
Awalnya, kau tidak percaya kalau kita hidup dalam sekat. Sekali lagi kuyakinkan. “Sekat itu ada, namun tampak kasat.”
Kau memanyunkan mulutmu hingga terlihat sangat buruk. Haha... aku bercanda. “Baiklah, tak perlu kau merajuk begitu, jangan biarkan orang-orang tahu, tak ada kelebihan lain di wajahmu selain senyummu itu.” Kau merasa aku sedang menggombal? “Untuk percakapan kita malam ini, kau berpura-pura saja percaya kalau hidup kita bersekat, titik. Mari kita lanjutkan!”
Kau mengangguk. Kemudian bersiap mendengarkan ocehanku selanjutnya. Namun kau kembali menginterupsi ketika aku menyebut selain bersekat, kita juga hidup bertingkat. “Ya, kita hidup dalam tingkatan yang berbeda-beda, padahak kita menginjak tanah yang sama.”
“Benarkah?” tanyamu tak percaya.
Sungguh aku tidak tahu, apa kau benar-benar tak mengetahuinya atau sedang mengetes kemampuanku. Kemudian aku bertanya padamu, “Hidupmu berada dalam tingkatan sosial yang mana, bawah, menengah atau atas?”
Kadang alasan konyol ini yang membuat tanganku gatal untuk menjitakmu, tapi yang membuatku suka, kau hanya meringis seraya memelototkan mata kecilmu dan mengusap-usap keningmu yang memerah. Tetapi karena aku sahabat yang baik, mari kita ber-reuni singkat. Sejenak saja, jangan kau pikir kita akan bercerita tentang bagaimana kau mendapat cinta pertamamu. Bisa-bisa obrolan kita menjadi basi.
Kita mengenal satu teman semasa SMA yang mengalami perubahan total dalam hidupnya. Ya, dia mengalami lonjakan sosial yang sangat drastis. Saat itu, dia berada pada tingkatan tertinggi secara strata sosial. Perubahan terjadi pula pada fisiknya yang semakin cantik, barangkali karena pakaian, perhiasan yang dia kenakan. Juga pada mobil keluaran teranyar yang mengantarnya kesana-kemari layaknya setrikaan.
Kau menderai tawa, padahal tidak ada yang lucu. “Hei, simak dengan baik karena sebenarnya ini inti percakapan kita!”
Kau mengangguk, kemudian mengusap cangkir di tanganmu.
“Strata sosialnya melonjak, tetapi tak serta merta dengan kepribadian level terbawah yang masih belum bisa dilepasnya. Ini bagian yang sangat disayangkan karena apa yang dia pakai dan dia lakukan, tanpa mengubah cita rasa pribadinya, rasanya dia tetap temanku yang urakan. Padahal dulu—karena aku mengenalnya—aku sering menyarankan dia supaya memantaskan diri, menyesuaikan dengan level tertinggi yang telah diraihnya.”
“Lalu?” tanyamu, mulai beraksi atas ceritaku.
“Rupanya dia bebal. Tak sedikit pun mendengarkan saranku. Ya, sepertimu. Bedanya, ketika itu aku tak berani menjitaknya. Bisa-bisa diperkarakan ke meja hijau.”
Kau menyungging senyum, kemudian menyesap teh di tanganmu dengan nikmat.
“Meski tampak mengilat, batu itu tetaplah benda kotor yang ditemukan dari sungai. Ironinya seperti itu.”
Aku hanya tersenyum simpul ketika kau bertanya, “Apakah ada peribahasa yang lebih halus, semisal rumput liar yang tumbuh di padang golf?”
“Nah, barangkali itu sebutan yang paling cocok untuknya. Kadang-kadang kau pintar meresponku saat aku membicarakan hal-hal tentang dirimu.”
Kau mengumpat, “Sial!”
Sekarang aku berani menjitakmu, karena kau telah kembali ke rumahmu yang dulu. Rumah yang letaknya hanya beberapa langkah dari teras rumahku. Dalam dukamu karena bisnis ayahmu yang baru seumur jagung itu telah bangkrut, aku tersenyum dan bahagia. Dengan begitu, kau kembali membumi. Lebih terlihat seperti manusia, seperti seseorang yang pernah kukenal.
Kemudian obrolan tentangmu telah selesai. “Sekarang kau percaya dengan apa yang telah kukatakan tadi?”
Kau mengangguk pasrah.
“Sekarang giliranmu, apa yang ingin kau ceritakan. Aku akan mendengarnya.” Aku menyesap rokok di tanganku, mengembuskan asap ke udara yang secepat kilat tersapu angin.
Kau bercerita tentang temanmu yang selama sekolah sangat pintar dalam pelajaran hingga sering mendapat peringkat satu. Selama itu, kau tidak pernah iri kepadanya. Aku bertanya, “kenapa?” Alih-alih menjawabku, kau melanjutkan ceritamu, berpura-pura tak menghiraukan.
“Dia teman yang pintar, namun sekaligus teman yang membosankan.” Mulutku yang gatal tak segan melayangkan pertanyaan serupa. Karena sepertinya aku juga mengenal teman dalam ceritamu itu. Untungnya, kali ini kau menjawab.
“Acapkali dia membicarakan segala tetek bengek tentang kekasihnya.”
Untuk pertama kalinya kau mengaku kalau itu cukup menyenangkan saat mendengar ceritanya. Ketika dia mengenal seorang lelaki yang baik, humoris dan menyenangkan. Tetapi kebosanan menyertaimu karena cerita itu terus bergulir seiring pertemuanmu yang intens dengannya. “Dia terus membicarakan kekasihnya seolah dunia tak memiliki cerita lain. Demi Tuhan, aku mulai muak.” Air mukamu berubah, seperti tengah berusaha muntah di mulutmu.
“Ya, bisa jadi dunia mengakui kalau Rendang adalah makanan terlezat di dunia. Tetapi ketika harus menyicipinya setiap hari, aku yakin, bisa-bisa kau muntah.” Lanjutmu seraya mendelik.
Kali ini giliran aku yang menggelak tawa. Bagaimana bisa seseorang begitu bangga dengan kekasihnya sehingga acapkali berbicara tentangnya. Lambat-laun, aku dibuat penasaran pada temanmu itu. “Siapa dia?”
Kau menggeleng. Mengembang senyum penuh muslihat.
Ah, kau tak asik karena tak mau memberitahunya. Karena cerita temanmu yang sangat konyol itu, aku tak dapat menahan tawa.
Kau mengerutkan kening, seolah respon tawaku sangat berlebihan. Barangkali kau berang melihat tingkahku, maka kau pun menjawab pertanyaanku yang tadi kau abaikan.
“Sepertinya kau begitu puas menertawakan kekasihmu sendiri, padahal dia sangat bangga terhadapmu.”
Dalam diam, aku memerhatikan tubuhmu yang beranjak dan masuk ke dalam rumahmu sementara aku masih terpaku atas jawabanmu.
Ya, dan kehidupan pun bergulir. Kali ini giliran aku yang mengumpat. “Sial!”

Kamis, 07 November 2013

Jatuh Tanpa Cinta


Akui saja, kau mengenalnya saat menghadiri acara sosial yang diadakan oleh ikatan SMA di kotamu saat itu. Bogor adalah kota yang indah, namun tak ada yang lebih indah dari sosoknya. Itukan katamu? Gombal benar kau. Lalu diam-diam kau mengaguminya, dan dalam diam pula, lamat-lamat sesuatu tumbuh dalam dirimu. Kau masih berani mangkir, kalau itu cinta? Ya, cinta.... 

Gadis itu cantik. Garis wajahnya tegas, dagunya yang lancip terbelah dua dan kulitnya yang putih bersinar tatkala cahaya matahari yang menerpa; diam-diam dia juga ingin merasakan lembut kulitnya. Sialan, kau kalah cepat dengannya. Rambutnya yang lurus tergerai. Beberapa helainya menari liar di udara ketika angin yang nakal membelainya. Kau lihat, angin pun begitu asik menggodanya. Namun apa yang kau lakukan, hanya menatapnya dari kejauhan. Lalu kau hanya berdalih; aku menyukai senyumnya yang damai, karya agung yang sempurna. 

Cih! Kau hanya berani memujinya, itu pun kau lakukan di belakangnya. Apa kau bilang? “Kehadirannya menghampar teduh, meski matahari bersinar terik siang itu.” Dasar pembual. Lihat saja keringat yang mulai membanjiri tubuhmu, seiring dengan beberapa pohon yang berhasil kautanam. Kau terdiam sejenak, melerai rasa lelah yang mulai mendera. Kausandarkan tubuhmu pada pohon besar di dekatmu. 

Angin siang itu kaurasakan seperti tertiup dari arah surga, dengan bidadari yang masih berkutat dengan pekerjaannyanya. Jarakmu dengannya terhalang oleh beberapa kelompok siswa yang hadir dari banyak sekolah itu. Tapi kau masih bisa mengintip senyum indah yang tersungging darinya. 

Tak lama, kau kembali berjibaku dengan pekerjaan sosial untuk mengurangi dampak polusi yang berefek pada pemanasan global itu. Kau membantu kelompok lain yang belum menyelesaikan tugasnya karena pekerjaanmu telah selesai. Haha... kau cerdik juga. Hal itu kau lakukan semata karena gadis itu. Kau hanya ingin berlama-lama dengannya, bukan? 

Kau tersenyum ketika mendapati wajah putih gadis itu mulai dibanjiri keringat. Pipinya yang mulus terciprati tanah lumpur. Terbesit dalam pikiranmu untuk menghampirinya, lalu memberikan memberikan sapu tanganmu untuk melap sisa lumpur di wajahnya. Kau mulai berpikir untuk mencuri cakap dengannya, sekadar mengetahui nama atau alamat rumahnya yang kau harap bisa berlanjut dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Dengan segenap keberanian, kau mengambil langkah untuk mendekatinya. Namun urung karena nyalimu kembali menciut. 

“Aku tahu apa yang menghinggapi benakmu kali ini,” ucap Jose, sahabatmu yang berdarah campuran itu seraya menepuk pundakmu. Semoga saja laki-laki berkulit merah terbakar matahari itu tidak mengetahui gugup yang sedang kau rasakan.
“Haha...” Kau tertawa hambar, “apa?” dan kau mulai salah tingkah.
Sahabatmu terdiam sejenak, matanya yang biru laut menunjuk bidadari yang sejak tadi tak lepas dari pandanganmu yang malu-malu. Kemudian Jose mengernyitkan dahi sehingga kedua alisnya yang memiliki warna keemasan itu tampak menyatu. Kau bisa membaca bahasa tubuhnya. Kira-kira seperti ini; Tunggu apalagi, come on! 

“Dia cantik, kan?” Tanyamu tak melepas sedikit pun pandanganmu darinya, dari tubuh gadis yang masih berjibaku dengan tanah lumpur yang bisa saja membuat tangannya yang halus itu menjadi kasar.
“Apakah ada jawaban lain selain ‘ya’, dan kau jatuh cinta kepadanya?”
Kerongkonganmu tersedak, lalu memicingkan mata pada bule di depanmu.
“Apa aku terlihat memiliki jawaban lain?” Kau membalas dengan ucapan serupa.
“Kau tidak takut mencintainya? Semua wanita cantik itu sama, Dra...” Jose mengedarkan pandangannya. Angin bertiup kencang, membuat rambut jagungnya bergoyang. “Tak perlu jauh membandingkan, lihat saja dirimu sendiri. Katakanlah kau ini tampan, sempurna, hampir semua gadis menggilaimu dan apa yang kau lakukan selama ini, memacari banyak gadis itu.” 

“Haha...” Kau menderai tawa dan dalam tawamu terdengar peng-iya-an pernyataan sahabatmu. “Tapi itu dulu, aku sudah berubah.” Kau mulai mencari alasan untuk menyangkal.
“Oh ya, lalu Sherly?” 

“Dia hanya teman biasa, jadi percayalah!” Ucapmu mantap. Padahal, kau yang lebih tahu kalau selama berbulan-bulan ini kau mendekati gadis itu. 

Hatimu mulai berontak, dan diammu malah membuat perasaanmu menjadi tak keruan. Kau merasa pengecut bila hanya berdiam diri. Akhirnya, terkumpul sudah kekuatan untuk menatap senyum itu lebih dekat. Yiha.. akhirnya kau mengambil langkah, berjalan pasti ke arahnya. Jantungmu berdetak tak beraturan dan kau merasakan keringat sebesar biji jagung melintas di pelipismu. 

Tinggal beberapa langkah lagi kau bisa menatapnya tanpa jarak. Angan-angan yang sejak tadi mengerumuti pikiranmu kini akan menjadi kenyataan. Kau bisa menikmati senyumnya lebih puas. 

Namun apa yang terjadi, Tuhan seolah tak merestui keinginanmu. Kau merasakan tubuhmu limbung saat tak sadar menginjak temali sepatumu dan kau terjatuh pada kubangan lumpur. Persis hanya berjarak beberapa langkah dari posisi gadis itu berada. Semua mata menatapmu, tapi tak sedikit pun kau peduli. Pikiranmu hanya fokus pada satu titik. 

Kemudian kau sadar, gadis itu menatapmu iba. Dia segera membersihkan kedua tangannya dengan air, kemudian beranjak menghampirimu. Dia membantumu berdiri. Sebentar, bukankah itu permulaan yang bagus? Seolah gadis itu menangkap sinyal yang telah kau pancarkan. Ya, ceritamu akan berjalan mulus jika seandainya aku tak menciptakan tokoh lain. Laki-laki seusiamu menghampirimu, lebih tepatnya menghampiri gadis di dekatmu. Seraya mengangsurkan minuman dalam kemasan, laki-laki itu berkata pada gadis itu.
“Kasih dia minum, Beib!”

Pada 2011

Selasa, 05 November 2013

Temu

“Hei, di sini....”
Di antara kerumunan orang-orang, gadis itu melambaikan tangan dan dengan gerakannya aku bisa mengetahui ke mana aku akan masuk.
“Ah,” reaksiku seraya menggosok-gosok tangan karena cuaca di luar sangat dingin.
Sebuah kafe kecil tepat di sebuah kampus kami kini berada. Terduduk simpul serupa orang Jepang yang sedang menunggu hidangan makanan tersaji. Aku mengedar pandangan ke sekitar, lalu sedikit tercengang ketika mendapati hanya aku lelaki satu-satunya di ruangan ini. Aku hanya berpikir lalu bertanya-tanya, tempat apa ini? Namun jawabannya tak begitu penting.
“Silakan,” katanya, menggeser buku menu ke arahku.
Aku meraih dan melihat-lihat menu apa yang menjadi andalan sehingga dia memilih kafe terpencil yang jaraknya cukup jauh dari pusat kota. Riuh para gadis di sekitar membuat atmosfir dingin mulai kabur, lalu tergantikan dengan kehangatan di tengah percakapan mereka yang kacau. Rupanya di belahan bumi mana pun wanita sama saja seperti ini jika tengah berkumpul dengan sekawanannya. Ibarat partikel suara dengan nada sumbang yang kemudian disatukan.
“Aku pesan ini,” kutunjuk dua menu makanan sekaligus minuman.
Aku membuka sebagian kancing jaket yang kukenakan, lalu kudapati gadis di depanku memberengut. “Dasar rakus.” Lemparnya dan membuatku menyunggingkan senyum.
Dia beranjak, memesan makanan yang sebenarnya tak terlalu kuharapkan segera tersaji karena aku menginginkan hal lebih dalam pertemuan ini. Ya, obrolan yang hangat antara dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu.
Tak lama setelah itu, muncullah sepasang belia yang berjalan saling menautkan tangan mereka seolah jika terpisah, dunia akan akan ikut terbelah. Mereka duduk tepat di sebelah kami, terhalang jeda untuk pelayan yang akan mengantar makanan atau lalu lalang lainnya.
“Tepat setahun yang lalu aku ke sini, tapi sepertinya aku tidak pernah melihat tempat ini.”
Gadis di depanku berdesis, “Hei, setahun bukan waktu yang sebentar.”
Dan dalam waktu itu, bukan hal mudah untuk melupakan seseorang yang hadirnya pernah menorehkan warna di kehidupan kita, bukan?
Tak sadar, minuman yang kami pesan telah tersaji di atas meja. Namun itu bukanlah sesuatu yang menarik.
“Coba kau tengok ke samping!” serunya dan dengan repleks aku mengikuti perintahnya seolah terhipnotis.
Sepasang belia tadi tengah menikmati satu minuman dalam gelas yang sama. Responku hanya tersenyum ketika kembali membalikkan wajah ke arah gadis di depanku. Dia menyunggingkan senyum serupa ke arahku.
“Penolakan rasanya sangat menyakitkan, ya...,” tiba-tiba saja gadis di depanku menggumamkan kalimat yang tidak sinkron dengan pemandangan manis yang baru saja kami lihat. “Tentu kau juga merasakannya, bukan?” sambungnya, kali ini dengan nada menuduh.
“Kau tahu sendiri cerita terakhirku seperti apa,” responku dengan nada malas. Tetapi tiba-tiba saja aku teringat sesuatu yang bisa kusampaikan pada gadis yang masih menyimpan kecewa atas sebuah penolakan. “Tuhan memberi apa yang kita butuh, bukan kita ingin. Peribahasa klasik, saking klasiknya kita tidak pernah sadar dan realita yang membawa kita pada kesadaran itu.”
“Maksudmu?” kedua alisnya bertaut ketika mengatakan itu, membuat wajah bulatnya tampak konyol.
“Selepas itu, aku jadi lebih mengetahui seperti apa karakternya, melalui percakapan-percakapan mereka di sosial media, dan dari sana aku cukup disadarkan, dia bukan tipikal gadis yang kubutuhkan.” Kuraih minuman hangat beraroma lemon di depanku, kemudian mulai menikmatinya.
Gelenyar hangat menyeruak dalam tubuhku, seperti obrolan hangat yang tak tahu sampai di mana cerita ini akan berakhir.
“Oh...,” dia mengangguk seraya membentuk bulatan pada bibirnya yang tipis. “Omong-omong, gadis itu menolakmu dengan alasan apa, kupikir kau sempurna sebagai seorang lelaki.”
Kuletakkan cangkir di tanganku ke atas meja. “Katanya, aku terlalu menjaga sikap sebagai seorang lelaki, terlalu kaku..., dan tertutup.”
“Bukankah itu yang membuat lelaki tampak berwibawa?”
“Entahlah,” aku meresponnya dengan mengangkat bahu. “Ah, sekarang giliranmu. Kenapa kau menolak sahabatku? Kumohon, berikan jawaban yang paling masuk di akal. Tampan, ya. Kaya, bisa dibilang..., dan dia baik, kau juga mengakuinya, bukan?”
Reaksinya saat menerima pertanyaanku adalah mengambil cangkir di depannya, kemudian menyesapnya dengan gerakan santai. Padahal, begitu gemas aku menunggu responnya. Sebenarnya apa yang diinginkan banyak wanita dalam kehidupannya, apa yang hadir di benaknya tentang banyak lelaki dan tentang lelaki yang dipilihnya.
Makanan yang kami pesan datang. Setelah tersaji di atas meja, kami mengabaikannya tanpa menarik minat secuil pun.
“Aku merasa tak nyambung jika mengobrol dengannya.”
Sesederhana itu? Gila! Apalagi yang dibutuhkan wanita dari sosok sahabatku itu. Tampan, kaya, baik, dan...
“Jika kau pikir dengan uangnya aku bisa membeli banyak hal, kau salah. Ada satu hal yang tak akan bisa kubeli kelak.”
“Apa?”
“Kenyamanan.”
Tubuhku membeku ketika mendapati jawaban tersebut. Seperti makanan yang tersaji di hadapanku.


Dion Sagirang
Kota Garut, pada suatu senja

Senin, 04 November 2013

Isyarat


Isyarat
-Hal romantis apa yang ingin kau lakukan terhadap seseorang yang kau cintai?
+Menonton konsernya tanpa memberitahu bahwa aku datang ke sana. Setelah itu aku akan mendatangi back stage seraya memberikan sebuah pujian terhadapnya, ‘malam ini penampilanmu begitu sempurna...’
Suatu hari aku menjawab kuisioner yang dituliskan seseorang, dan itu hanya sekadar iseng ketika mengisinya. Namun siapa sangka, semuanya berawal dari sana...
Bukan tempat yang layak, memang. Tempat yang didesain seadanya dengan penerangan yang buruk. Semburat kekuningan yang membuat mataku tak bisa menatap dengan jelas ke bawah, tempat panggung itu digelar. Namun tempat ini sengaja kupilih. Bukan karena masalah tak mampu membeli tiket VIP atau apa, aku hanya ingin menatapnya dari sini, dari tempat yang dia tak akan menyadari satu hal; aku menunaikan janjik, sebagai lelaki.
Sebuah analogi dengan basa-basi, sudah jela itu berbeda. Analogi adalah sebuah pengibaratan sama sifat sementara basa-basi adalah pengibaratan yang bisa jadi kebalikan atau kebohongan. Dan aku menunggu basa-basi yang dilontarkan kedua orang di atas panggung itu selesai dan kuharap segera memasuki acara inti. Bukankah kehadiran disela sibukku untuk itu, bukan mendengar cengkrama yang sama sekali tidak menarik.
Maka tibalah apa yang selama bermenit-menit kunantikan. Rasanya bukan perjuangan sia-sia saat harus mengorbankan banyak hal untuk melihatnya berdiri di atas panggung sana. Satu persatu, mereka memasuki panggung. Dan pada saat itu, aku merasakan gelenyar aneh yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku menggerak-gerakkan kedua tanganku untuk mengusir perasaan yang benar-benar aneh; gugup. Padahal aku tidak sedang berada di atas panggung sana.
Aku melihat puluhan orang yang berdiri di sana. Di antara teman-temannya, aku terus mencari. Seorang Master Ceremony juga tak terdengar menyebutkan namanya dengan lengkap. Namun tak juga kutemukan. Pada saat itu aku merutuki diri sendiri karena tidak memilih kursi VIP. Dengan begitu aku bisa leluasa melihatnya berdiri di atas panggung. Namun dengan satu resiko, dia akan mengetahui keberadaanku.
Ekor mataku terus mencari keberadaannya, dan pada satu titik aku menemukannya. Sangat anggun. Kaca mata yang biasa bertengger  tak lagi dikenakannya. Dan dialah yang menjadi alasan aku untuk bertahan di tempat yang dikelilingi debu kotor ini. Meski  hanya bisa melihatnya dari arah samping, mataku terus mengekori posisinya, melantunkan lagu-lagu yang tidak terlalu jelas untuk ukuran konser. Peralatan yang kurang mendukung menjadi penyebabnya. Tapi itu tidak masalah selama aku masih bisa menatapnya dari sini. Melihat ukiran senyumnya yang sempurna.
Mataku seakan tak berkedip. Lagu-lagu itu pun berhenti. Rasanya baru beberapa saat aku mendengarnya. Ayolah, ulangi, atau dia saja yang berdiri di panggung, menyanyikan sebuah lagu untukku. Hanya untukku. Atau, satu bait saja, aku mohon...
However  far away I will always love you
However long I stay I will always love you
Whatever words I say I will always love you
I will always love you...
Itu lagu favoritku saat menjalani banyak hari bersamanya. Namun aku kembali tersadar. Persembahannya telah selesai. Yang tertangkap mataku kini dua orang yang sama sekali tak kudengarkan. Bayanganku pun mulai mengabur...
Aku merasa gelisah. Sungguh, ini kadar gelisah paling tinggi yang pernah kurasakan. Sebenarnya aku menunggu momen ini saat aku harus mengatakan, ‘malam ini penampilanmu begitu sempurna’ dan saat langkahku hendak memutuskan untuk menemuinya di balik panggung. Aku bergeming.
Gadis itu tengah berfoto—dan sebagiannya hanya tertangkap samar di mataku. Lagi-lagi aku mengutuk lampu samar di ruangan tersebut. Membuat mataku tak bisa menangkap  atas apa yang dilakukan olehnya di sana. Kutajamkan penglihatanku dan seharusnya dari sana aku mulai sadar. Itu lebih dari sekadar isyarat bagiku.
Ada setangkai bunga di tangannya. Kemudian yang kutangkap adalah cahaya blitz yang dihasilkan dari sebuah kamera. Dia tidak sendiri di sana. Bersama seseorang yang tak kunali. Senyumnya tampak lepas. Barangkali senyum seperti itu yang tak pernah kutemui saat dia bersamaku.
Aku turun menapaki anak tangga, tetapi bukan untuk menunaikan janjiku mengatakan itu. Aku memilih jalan keluar. Meninggalkan tempat itu dengan satu kesadaran. Karena dia telah memilih jalannya sendiri.

Suatu ketika di 22 Mei...

Minggu, 27 Oktober 2013

Tugas Jurnal


Hai... sudah lama nggak update dengan tulisan dan sekarang saya akan memosting beberapa gambar sebagai bahan tugas “Jurnalistik Foto” dari Bapak Askurifai Baksin.

1.        
2.      
Keterangan
Kondisi Tol Jakarta arah Bandung
Di sana, jalanan tampak lengang. Terlihat dari jarak satu mobil dengan beberapa mobil lainnya.
Jenis Foto
General News Foto, karena gambaran yang terdapat pada foto memperlihatkan hal yang tergolong biasa di area tol yang lengang.
Angle
Long Shoot
Estetika
Karena sepertinya menggunakan kamera beresolusi rendah—menggunakan kamera ponsel—dan pengambilan gambar dari dalam ruangan, maka kualitas foto tidak terlalu jelas. Namun sudah dapat menyampaikan pesan yang jelas dari gambar tersebut.

Kamis, 11 Juli 2013

Surat untuk Sahabat

Sahabat...
Apa kabarmu? Kabarku tentu baik. Sungguh, belakangan ingatanku terus berputar pada masa-masa kau dan aku memaknai hidup sebagai sebuah permainan. Life is losing game...

Dan kini kusadari. Kita bersahabat, namun tanpa kita tahu, kita adalah saudara...
Kau tentu lebih tahu sekarang, aku hanya mengira-ngira, coba kau samakan di sana.

Permainanmu telah berakhir. Kau bertanya, adilkah...?

Kita adalah dua orang anak. Dan Tuhan adalah Bapak kita. Selayaknya anak kecil yang menyukai permainan, Bapak memberi uang untuk kita bermain. Kupikir Bapak memberi jatah yang sama. Dan kita pun memainkan peran kita sebagai dua anak laki-laki yang bersahabat.

Namun tak kukira, Bapak memberimu jatah yang tak banyak sehingga permainanmu telah berakhir. Sementara di sini, aku masih menikmati permainan. Tak seperti yang kau bayang, sahabat. Sedikitnya aku merasa jenuh sehingga aku mencoba mengingkari, sedikit demi sedikit mencari jawab, adilkah...?

Semoga suatu saat, aku bisa menuntaskan permainanku dan kembali ke rumah Bapak. Barangkali aku masih menyimpan tanya itu dan menanyakan langsung pada-Nya. Sementara kau lebih beruntung karena telah mengetahuinya.

Sabtu, 01 Juni 2013

#Kamu

Pernah kukatakan. Aku menyukai
sederhanamu. Ya, terlalu naif kamu bila
tidak mengerti maksudku.
Berulang kusebut, aku tidak melihat
seseorang dari kayanya, cantiknya,
pintarnya atau agamanya. Ya, kurang
gamblang dimana kata-kataku?
Sebentuk rasa itu berawal dan berjalan
dari hati. Ke hatimu juga semua itu akan
berlabuh.
Percayalah, kamu...
Kamu bersedia menunggu, meyakin dan
menerima. Karena aku tak pernah melupa.
Ketika lelaki punya janji, adalah menepati
yang kan terus terkenang.
Tapi sekarang kamu patah. Kamu berlari
di luar jangkauku. Lalu kamu meragu
dengan hatimu dan kamu yang
memutuskan.
Baik.
Akan kuikuti.

Kamis, 30 Mei 2013

Dilema Dua Rasa; Separate Love

Namun pada akhirnya aku sadar, bahwa cinta membutuhkan kepastian ... sesuatu yang tak pernah aku berikan.
 
Aku sudah mulai belajar melupakannya. Meskipun memerlukan proses yang tidak sebentar. Ketika terjatuh dan terluka, bukankah perlu waktu berhari-hari untuk menyembuhkan dan mengembalikannya ke semula. Lalu bayangkan bila luka tersebut meninggalkan bekas yang mungkin tidak akan hilang. Sampai kamu mati pun, bekas luka itu akan terus terlihat.
Bentuk intrepetasi dari sebuah kehidupan tidak ada yang benar, juga tidak ada yang salah. Keduanya berjalan saling beriringan. Tidak ada kesalahan abadi, juga tidak ada kebenaran yang kekal. Tidak ada yang hal yang abadi di dunia ini termasuk istilah keabadian itu sendiri. Semua yang ada perlahan berjalan menuju ketiadaan. Namun terkadang, manusia lebih memilih berkawan dengan egonya ketimbang rasio. Sehingga logika lebih sering dikesampingkan.
Hanya berupa pengakuan saling mengagumi yang terlontar dari masing-masing kami. Sebagai sebuah bentuk implementasi kadar rasa yang mulai hadir dan tumbuh seiring dengan adanya kebersamaan. Dengan ragu kami mengatakannya, berusaha jujur dengan perasaan masing-masing. Ketika itu, mulutku terasa kelu untuk sekadar berucap, “Ya, aku memiliki perasaan lebih terhadapmu.” Sampai satu kalimat itu terasa lebih sulit dari ujian filsafat sekalipun. Tetapi tidak ada langkah pasti setelah pengakuan yang kami utarakan satu sama lain. Kehidupan terus berjalan. Tidak ada keterikatan. Tidak ada komitmen. Padahal itu bukan sebagai bentuk kebebasan. Kebebasan itu sendiri bermakna terikat. Barangkali aku menunggu waktu yang tepat, karena menurutku wanita sempurna adalah dia yang bersedia menunggu.
Kini dia tengah berjalan dalam pilihannya. Ya, dia telah memilih, meskipun bagiku lebih terasa sebagai sebuah putusan. Sebuah penghakiman yang dilakukannya. Hah ... sekarang manusia lebih percaya dengan kata-kata ketimbang hati kecil sekalipun. Padahal kita tahu, kata bisa saja berdusta.
Suatu malam, aku mengirimkan pesan singkat kepadanya. Entah kenapa, kalimat gombal ini tiba-tiba hadir dalam pikiranku, padahal aku tahu, sekarang dia tak lagi sendiri.
“Coba kamu keluar, lalu lihat langit malam ini!”
Tak lama berselang, dia segera meresponnya. “Ada apa Kak?” tanyanya dengan sapaan ‘Kak’ yang membuatku tersenyum kecil.
Usiaku berpaut satu tahun lebih tua darinya, aku senang ketika dia memanggilku dengan sebutan itu. Seakan aku hidup pada abad yang masih erat memegang adat ketimuran.
“Malam ini cahaya bintang tidak sempurna, tapi kehadirannya bisa menjadi penghias malam dan menemani bulan ketika keheningan menyergapnya.”
“Maksud Kakak?” dengan cepat dia mengirimkan balasan.
"Ya, cahaya bintang itu seperti perasaanku kepadamu, Lembayung ...”
“Gombalannya langsung menusuk dan membuatku ...” Dia menggantung kalimatnya.
Membaca pesan singkat yang dikirimnya membuatku sedikit tersenyum. Aku sendiri tidak mengerti maksudku mengirimkan kalimat sedikit gombal itu kepadanya. Padahal sudah lama sekali kami tidak saling berkomunikasi. Aku marah? Ya, aku akui. Aku merasa tertikam ketika mengetahui dia telah memilih yang lain. Dan dia yang menikamkan belati itu. Gadis yang aku harap bersedia menungguku. Tapi entah kenapa malam itu secara tiba-tiba sikapku berubah. Mulai sedikit meluluhkan egoku. Atau mungkin aku mulai menyesali sikapku selama ini karena tidak pernah berani jujur dengan perasaanku sendiri.
“Kak, sekarang kita tidak bisa seperti dulu lagi. Ada jarak diantara kita.” Balasnya berselang beberapa menit setelah dia menggantung kalimatnya pada pesan singkat.
“Maksudmu?” Mungkin aku manusia paling bodoh bila tidak bisa memahami maksud ucapannya. Makna yang sudah sangat gamblang. Dia mencoba menghadirkan sekat pembatas diantara kami. Tapi yang kuinginkan kini adalah penejelasan. Penjelasan atas langkah yang telah dipilihnya. Yang seharusnya marah adalah aku, karena dalam hal ini posisiku sebagai korban. Ingat, sebagai korban!
“Kita berdua harus bangkit, ayo kita move on sama-sama. Aku harus memikirkan orang lain yang menyayangiku. Aku sangat senang ketika tiba-tiba Kakak menyapaku meskipun melalui pesan singkat, tapi lama-lama aku takut. Kakak tahu sendiri, tidak mudah melupakan seseorang yang kita cintai. Sangat jahat juga bila kita sampai menyia-nyiakan orang yang menyayangi kita. Aku sudah ada yang memiliki, dan aku harap Kakak mengerti dengan posisiku sekarang.”
Aku mencoba santai menerima pernyataan itu darinya, meskipun pada kenyataannya tidak. Aku membalasnya dengan kalimat bernada ironi dan aku yakin dengan mudah dia dapat memahaminya.“Justru jahat itu ketika kamu bersamanya, tetapi pikiran serta perasaan kamu tidak kepadanya. Kejahatan pertama yang kamu lakukan adalah kamu telah membohongi diri sendiri. Dengan itu kamu telah membohongi orang lain. Dia, lelakimu.”
“Siapa bilang? Aku menyayanginya ... meskipun jujur, aku belum bisa melupakan seseorang yang namanya masih tersimpan di hatiku. Membayangkanmu membuatku gila. Aku berusaha membencimu, tapi tetap tidak bisa. Aku pikir, setelah mengeluarkan uneg-uneg yang kurasakan, aku bisa menghapus bayanganmu, tapi nyatanya tidak.”
“Aku tidak akan pernah rela kamu dengan yang lain.” Begitulah diriku, yang kali ini benar-benar dikuasai ego.
“Tetapi aku sudah ada yang memiliki.” Jawabnya segera.
“Terus, apa kamu memiliki harapan?”
“Aku tidak tahu, Kak. Yang jelas, let it flow ...
“Ini tentang pilihan,”
“Aku tak memiliki pilihan.”
“Tapi aku hanya ingin kamu jujur dengan perasaanmu sendiri. Dengan itu kamu tidak akan menyiksa siapapun!” aku tidak tahu apakah kalimat ini terlahir dari ketulusan atau buah dari egoku.
Dia tidak membalas!
Aku menunggunya, beberapa kali aku mengecek pemberitahuan pada layar ponsel. Tidak ada! Sampai malam benar-benar larut.
Kamu benar-benar bodoh, Galih ... rutukku pada kebodohanku sendiri.
*
Suatu malam setelahnya ...
“Aku akui, sejak awal ini semua adalah kesalahanku. Aku yang membuat semua ini menjadi rumit. Aku ingin Kakak mengerti, tidak semudah itu memutuskan. Hubunganku dengannya sudah terjalin cukup lama. Tidak mungkin aku meninggalkannya begitu saja. Lantas apa bedanya aku dengan tuduhan penghianat yang sering Kakak layangkan kepadaku. Cukup dimata Kakak saja aku dianggap sebagai penghianat ...Coba bayangkan Kakak berada pada posisiku sekarang. Sudah kukatakan, aku menyayanginya ... hanya saja aku belum bisa melupakan Kakak ... maafkan aku karena telah egois.”
Pesan singkat yang nyatanya tidak singkat ini kuterima. Dia kembali memutuskan. Apa yang bisa kulakukan? Tidak ada. Tak lama berselang, sebuah pesan singkat kembali masuk, dari pengirim yang sama.
“Biarkan kini aku berdiri melawan waktu ... untuk melupakanmu. Walau pedih hati, namun aku bertahan.”
Haha ... seperti sebuah lirik lagu. Namun aku tak bodoh. Dan setelah itu, aku tak lagi menyapanya. Melalui pesan singkat, ataupun ketika bertatap muka. Tidak ada lagi basa-basi yang kucoba perlihatkan. Begitu juga dengan dia. Semua berjalan sendiri-sendiri. Aku menganggapnya tak pernah ada, meskipun dia berdiri di hadapanku.
*
Sampai suatu hari aku tidak lagi melihatnya duduk mengikuti perkuliahan seperti biasanya. Aku tidak peduli, tapi ketika berkali-kali terdengar suara dosen mengabsennya, semua teman-teman menjawabnya serentak ...
“Dia sedang sakit,” suara Agni sedikit menyadarkanku dari apa yang baru kali ini aku renungkan. Aku baru menyadari, kalau aku belum peka terhadap sekitar. Entahlah, meskipun aku pikir itu tidak penting.
“Lantas?” responku segera. Ya, sesederhana itu.
“Haha ...” Dia tertawa mendengar responku.
Aku mengerutkan dahi, bermaksud bertanya, namun dia kembali melanjutkan. “Hidupmu penuh dengan gengsi, padahal dari raut wajahmu, aku melihat kalau kamu sedang khawatir, Galih.”
“Maksudmu? Yang seharusnya khawatir adalah pacarnya.”
“Kamu juga temannya, kan?” kali ini Agni mendelik ke arahku.
Aku hanya terdiam. “Lihat, wajahmu memerah. Penyangkalan yang dilakukan mulutmu sangat bertolak belakang dengan hatimu, mungkin.”
“Sok tahu kamu!” aku sedikit kesal dengan tingkahnya.
“Haha, kamu terlalu naif. Kisah kalian sudah menjadi rahasia umum.” Dia kembali tertawa seolah kisahku seperti halnya kisah Romeo dan Juliet. Hampir satu dunia mengetahuinya.
“Hah,” aku mendengus, sambil membuang pandangan.
“Susah sekali mendesakmu untuk jujur.”
“Ini adalah ekspresiku yang paling jujur.”
Agni menatapku seolah melecehkan, dari cara dia menatapku seolah berkata, “Oh ya?”
“Untuk apa kita mengejar sesuatu yang sudah jelas tidak menerima kita dalam kehidupannya.” Lanjutku dengan tatapan ke depan.
Owww so deep ...” Responnya terdengar berlebihan menurutku.
Aku mulai muak melihat ekspresinya waktu itu.
“Wanita itu butuh kepastian.” Dia melanjutkan.
Aku tidak tahu apakah dia berbicara seperti itu sebagai seorang perempuan, atau dia mencoba memposisikan diri sebagai sahabatnya. Aku sudah sangat sering mendengar kalimat itu.
“Kamu wanita kesekian yang mengatakan itu.” Kenyataannya memang seperti itu. Entah itu alibi atau memang benar. “Kenapa harus ragu ketika kamu sudah yakin, bahwa pilihanmu juga memilihmu.” Lanjutku dengan suara terdengar serak.
“Karena kita dibuat ragu oleh penantian. Dan ketika wanita mendapati ada seseorang yang menyatakan kesiapannya, apakah kita harus memiliki alasan untuk menolak?”
Aku terdiam, mencoba menyelami maksud ucapannya. Suasana kembali hening. Hanya terdengar kicauan burung di luar. Belum ada tanda-tanda teman yang lain akan masuk ke dalam kelas. Hanya ada kami berdua di ruang ini.
“Karena kita sudah merasa yakin, bahwa hati kita sudah berpaut dengan yang lain. Meskipun tidak ada kepastian. Itu alasan yang cukup masuk akal.” Jawabku memecah keheningan. “Namun ketika kita sudah merasa tidak yakin, bahwa hati kita sudah tidak lagi berpaut. Lantas, apa yang masih bisa diharapkan dari semua itu? Bukankah cinta itu tumbuh dari sebuah keyakinan.”
“Mungkin dia memilih bukan karena cinta, tapi karena dia merasa bisa mendapat kebahagiaan dari orang lain. Cinta dan kebahagiaan yang terpisah, mungkin itu yang dia yakini.” Suara Agni terdengar melemah. Kali ini aku juga tidak tahu, apakah kelakarnya barusan atas nama seorang wanita atau dia kembali memposisikan dirinya sebagai sahabatnya yang tentu akan terus membelanya.
“Terlepas dari apapun alasannya, aku tidak peduli. Seharusnya cinta dapat memberi kebahagiaan.” Bodohnya aku karena dalam hal ini aku masih menggunakan logikaku untuk berpikir. “Meskipun aku tahu, cinta tidak pernah masuk di akal.”
“Memang tidak, mungkin karena itulah para pelakunya pun bersikap tidak masuk di akal.” Dengan entengnya dia menjawab dengan kalimat yang bernada ironi.
“Dia sudah memilih, meskipun aku tidak memberinya pilihan. Haha ... sangat lucu ketika mendengar ceritanya.” Aku tertawa lepas, meskipun terdengar dipaksakan. “Sebodoh itukah dia?”
Agni mendelik ke arahku, sepertinya dia tidak suka dengan ucapan serta ekspresiku ketika mengatakan itu barusan.
“Tapi sudahlah, toh aku sudah melupakannya. Dan sepertinya itu bukan perkara yang sulit.” Jelasku kemudian, aku tidak tahu apa kalimat itu benar-benar bisa meyakinkannya. Kalimat yang merupakan bentuk kebohongan terbesarku.
“Syukurlah, memang tidak semua hal yang kita inginkan bisa kita dapatkan.” Dia mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya. “Mungkin dia hanya berhati-hati agar tidak ada yang menyakitinya, juga tidak ada yang tersakiti olehnya.” Tambahnya, sebelum dia menuliskan sesuatu pada catatannya.
Padahal, akulah yang tersakiti ...
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Pertanyaan yang selama ini berkutat dalam pikiranku, apakah aku yang terlambat, atau dia yang tak bersedia menunggu? Kini terjawab sudah ...Mungkin kali ini keputusanku sudah benar. Aku sadar atas egoku yang menganggap semua ini adalah kesalahannya, tidak sepenuhnya benar. Aku yang bersalah, karena tidak memberinya kepastian yang membuatnya merasa yakin atas keseriusanku. Dan dari ini aku tahu, bahwa cinta butuh kepastian agar tidak membuatnya merasa tak nyaman berdiri dalam suatu ketidakjelasan.
Aku yakin ketika kebahagiaan dan cinta yang berjalan, kadang terpisah. Tidak harus selalu bersama.

Sabtu, 25 Mei 2013

Diary Jomblo Darurat with Dioners #asekkk


Orang Batak Seksi

Berkat buku Diary Jomblo Darurat. Sembelit saya, langsung hilang!
Baaaaaaa
Pesugihan

 
Nah, gue salah upload Deng

***
Ini si Peri Ungu mau baca gak mau beli gara-gara gak ada puisi Ini si Peri Ungu mau baca gak mau beli gara-gara gak ada puisi

Diterbitkan Batak Pos; Sang Jawara


Sang Jawara
Oleh: Dion Sagirang
            Wajahnya tertunduk lesu di dekat jendela. Sesekali pandangannya mengarah ke luar. Suara gerimis menyatu dengan alunan Titik Puspadalam  piringan hitam yang sejak senja tadi berputar. Gurat penyesalan serta kesedihan mendalam nampak dari garis wajahnya yang mengeriput. Wajah kejayaan tempo dulu. Abdi dalam masa Founding Father, barangkali di masa Bapak Pembangunan. Entahlah. Hanya ia dan guratan waktuyang tahu. Air mata tak urung menjadi jawaban ketika ada yang menanyainya.Tidak ada yang lebih baik dari bungkam, menyimpannya...rapat. Jiwa prajuritnya melekat, menyatu bersama aliran darah dalam setiap potongan daging dan bahkan jiwanya lebih kokoh dari tulangnya.
            Akulah saksi sejarah, saksi peradaban dari sebuah masa peralihan. Masa yang tidak lebih baik dari masa berbau demokrasi. Klise. Bentuk penindasan hanya berbeda istilah, satu dengan yang lainnya. Lalu menyatu dengan prakata baru.
Dari balik ruang berkaca aku menatapnya. Di sini, aku dapat melihatnya jelas, lebih jelas dari sekadar mematut diri di hadapan cermin tua. Ketika rintik mulai membasahi tanah yang menebar aroma kebangkitan. Juga cairan bening yang mulai mengalir dari sudutmatanya yang sayu. Aku bisa merasakannya. Keketiran yang lebih, ketika suara baku tembak bersahutan di udara, suara tangis memekik,jerit terperangah dalam kubangan. Kematian menjadi sebuah hal yang lumrah, seperti area pejagalan. Darah mengenang meski bukan pada lubang. Kepala-kepala penghianat negara menurutnya kini tinggal di tendang, menggelinding, nyanyiannya lebih merdu dari gesekan biola, dengan bau amis yang nikmat.

Painful Love




Penulis: Dion Sagirang

Penyunting: Gari Rakai Sambu

Penerbit: Media Pressindo

Ukuran: 13 x 19 cm

Tebal: 200 halaman

ISBN: 978-979-911-304-7



“Jika kamu bertemu dengan cinta pertamamu, apa yang akan kamu lakukan?”

Sheila tersedak ketika Ken mengajukan pertanyaan itu. Ia segera meraih tisu di hadapannya, kemudian mengelap ujung mulutnya. “Aku….”

“Dan jika seandainya kamu sudah memiliki cinta yang baru, apa kamu akan kembali pada cinta pertamamu? Atau kamu ingin melupakannya begitu saja?”

***

Rencana Ken membalaskan dendam kakaknya menjadi kacau ketika Sheila membuat pengakuan yang begitu mengejutkan. Ken menyadari, keputusannya salah. Mendekati gadis itu dengan misi balas dendam hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk. Dampak dari keputusan itu, Nadine, gadis yang belakangan mulai mengisi kekosongan hatinya, berbalik menjauhinya.

Di antara jungkir-balik Ken memperbaiki keadaan, ia justru mendapatkan sebentuk cinta yang lain. Cinta yang terasa tak masuk akal. Namun, bukankah cinta memang sudah selayaknya tak masuk akal?

Diary Jomblo Darurat


Diary Jomblo Darurat
Telah Beredar di Toko Buku Kesayangan Anda!

Diary Jomblo Darurat
Penerbit                       : Penerbit Anza
ISBN                           : 978-602-18303-7-6
Penulis                         : Dion Sagirang
Ukuran/Halaman            : 13x19 cm/xxii+158halaman
Cetakan                       : Cetakan I,Februari 2013
Tahun Terbit                 : 2013
Harga                          : Rp.28.000