Selasa, 27 Januari 2015

Excerpt #Interval: Time and Space to Talk


            Bagi Erash, musik pengiring terbaik saat sarapan adalah suara benda logam yang beradu dengan porselen. Atau keheningan. Selain itu, tidak ada. Obrolan? Yang benar saja.Sebenarnya, yang terbaik adalah dia segera menghabiskan sarapannya, kemudian beranjak pergi dari ruang makan.

            Tetapi, setidaknya, dia membutuhkan lima menit untuk menghabiskan roti panggang di depannya. Dan, belum satu menit berlalu, sosok Anna telah muncul dengan mengenakan seragam lengkap. Penampilannya sangat segar pagi itu. Jaket tipis berwarna cokelat pupus membungkus tubuhnya yang mungil, kemudian bandanna merah tua menutupi sebagian rambut ikal sebahunya. Gadis itu muncul, kemudian mengambil duduk di sebelah Erash.

            Tidak ada satu kata pun yang meluncur dari mulut Anna, dan juga dari orang-orang di sekitarnya. Hal demikian itu, sudah biasa bagi mereka. Gadis itu segera mengambil sarapannya, kemudian mulai menyantapnya dalam hening.

            Dan hening tersebut pecah oleh suara Danu Sadjana yang telah menyudahi sarapannya.
           
            “Ada acara dinas selama satu minggu,” kata lelaki itu, “ke luar kota. Dan berangkat hari ini.” Nadanya terdengar sangat kaku.

            Ucapannya barusan memang didengar oleh ketiga orang yang tengah duduk di meja makan, tetapi tidak ada yang menanggapi, seolah-olah pengumuman barusan tidak pernah ada.

            Kendati begitu, papanya tetap melanjutkan kalimatnya, dengan agak terbata. “Kalian, hati-hati di rumah.” Setelah itu, dia beranjak, meninggalkan ruang makan yang tetap hening.

            Freya Sadjana menyusul tidak lama kemudian. Sebelum pergi, kepada Anna dan Erash, dia berpesan, “Jangan membuat kekacauan di sekolah.” Perempuan itu kemudian melirik putra sulungnya. “Terutama kamu, Erash. Tolong, jangan sering libatkan Mama dengan guru BK-mu yang cerewetnya luar biasa itu. Cukup minggu kemarin kali terakhir Mama mendatangi sekolah kalian untuk persoalan yang sama.” Kemudian, mamanya segera meninggalkan ruang makan.

            “Manis sekali mereka....” Gadis di sebelah Erash menggumam dengan nada sinis.

            Erash mendengar pemberitahuan papanya dan juga petuah yang terdengar seperti sebuah ancaman dari mamanya barusan. Dia juga mendengar komentar Anna tentang kedua orang tua mereka, tetapi baginya, diam adalah hal terbaik yang bisa dia lakukan. Karena menurut dia, bicara pun hanya akan berakhir seperti yang sudah-sudah. Tidak didengar. Terabaikan.
           

            Dan itu, luar biasa sakitnya.

Tentang “Drama Keluarga” dalam Interval


            Entah sejak kapan, saya mulai menyukai cerita berlatar keluarga. Banyak film, atau pun novel yang saya cari dengan latar cerita demikian. Berjam-jam, saya akan dibikin anteng dengan tontonan tersebut, atau terkadang, saya akan lupa daratan kala saya disuguhi bacaan dengan tema keluarga.
            Saya, amat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan keluarga serta interaksi mereka di dalamnya. Seperti suasana rikuh yang terjalin antara  Hugh Jackman dan Dakota Goyo, si ayah muda dan bocah yang cerdas dalam film “Real Steel”, keengganan Miley Cirus berbicara dengan Greg Kinnear yang berperan sebagai ayahnya dalam “The Last Song”, ketakutan James Franco tentang penyakit pikun yang diderita John Lithgow, ayahnyadalam “Rise of the Planet Apes”, atau Dwayne Johnson yang seorang ayah biasa, yang kemudian berusaha mati-matian, menyamar sebagai DEA untuk menyelamatkan Rafi Gavron, anaknya yang dijebak dalam film “Snitch”.
            Itu hanya sebagian kecil, dan kesemuanya itu, di mata saya, sangat mengharukan. Lalu, tebersit dalam pikiran saya, bagaimana kalau saya juga menulis kisah-kisah seperti mereka. Kedekatan antara ibu-anak-ayah atau, kecanggungan yang terjalin di antara mereka karena satu lain hal. Tetapi, apakah kesemuanya itu murni terlahir dari keinginan saya?
            Sepertinya tidak juga. Dalam keluarga, saya adalah tipe orang yang tidak terbuka. Bila terjadi apa-apa, saya lebih suka menyimpannya sendiri, dan pada awalnya memang tidak ada masalah. Tetapi, lama kelamaan, satu hal dalam diri saya memberontak, dan pada akhirya akan ada titik saya meluapkannya, seperti letusan gunung merapi.
            Lalu, apa ada hubungannya dengan tokoh Erash dalam Interval? Tentu ada. Saya membikin karakter Erash yang, kurang lebih begitu—sedikit seperti saya: selalu menganggap semuanya baik-baik saja, hingga suatu saat, dia merasa jengah dengan keadaan tersebut. Tidak selamanya diam adalah emas. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang perlu bicara. Itu yang saya tekankan dalam novel keempat saya.
            Ada pula Freya dan Danu Sadjana yang, rupanya, kedua orang dewasa itulah yang memulai semuanya. Membuat suasana ruang makan menjadi dingin, membuat rumah tidak lagi menjadi surga, termasuk, keputusan mereka telah membuat Anna, adik Erash, membenci pemuda itu. Sejak awal, interaksi keduanya memang sangat kaku. Anna dan Erash. Barangkali tidak seperti sepasang adik-kakak pada umumnya.
            Tetapi, terus terang, saya menyukai mereka. Saya menyukai Erash saat diceritakan dari sudut pandang Anna, lalu saya juga menyukai Anna ketika diceritakan dari sudut pandang Erash. Pandangan mereka berdua tentu saja amat subjektif. Seperti pandangan kalian saat membacanya nanti. Dan, saya tidak tahu, apakah kalian akan sama jatuh cintanya kepada mereka, seperti saat saya menuliskannya.
            Saya selalu berharap begitu. Semoga nyaman mendiami salah satu ruangan di keluarga Sadjana dalam novel Interval.

            

Minggu, 18 Januari 2015

Perempuan Berbaju Koki Bernama An


http://pradita3.blogspot.in/2013/09/di-balik-hujan.html?m=1
         Hujan kembali menjebakku pada Selasa sore, seperti di tiga minggu sebelumnya. Cepat-cepat aku menepikan motor, membawa langkahku memasuki satu-satunya toko kue di seberang jalan di kawasan Suburban, lalu membuka pintunya yang kayu.
            Sebuah lonceng kecil di atas kosen berdencing kala aku membukanya, lalu segera kubawa langkahku memasuki ruang tidak luas bernuansa salem yang diisi dengan perabotan serbakuno; sketsa-sketsa sederhana yang berpigura cokelat dan lampu-lampu yang bergelantung di langit-langit.
            Aku mengedarkan pkaungan ke sekitar, pada etalase berisi macam-macam kue yang tidak kuketahui namanya, bertumpu pada sebuah kabinet. Sekitar satu meter di belakang perabot itu, terdapat rak putih tinggi yang nyaris menyentuh langit-langit. Di dalamnya berbaris stoples-stoples yang diisi dengan banyak kue kering yang, lagi-lagi tidak satu pun kuketahui namanya. Aku mengunjungi tempat yang isinya sama sekali sangat asing, dan ini kali ketiga kunjunganku.
            Aneh, bukan? Ya, aku juga merasa begitu. Sebenarnya, semua ini berkat hujan sialan yang datangnya sangat tiba-tiba.
            Toko kue yang kukunjungi sepi. Hanya ada seorang pengunjung perempuan yang mengisi meja di sudut ruangan. Perempuan cantik yang mengecat kukunya dengan warna merah, yang sedang mencoret-coret sebuah buku berwarna serupa kuku-kukunya.
            Itu kali ketiga aku melihat dia. Di tempat yang sama, dengan pesanan yang sama, dan pada suasana yang sama; pada saat rintik-rintik turun—dan sepertinya, pada saat aku tengah sial-sialnya. Sudah pasti aku akan kembali terlambat menemui narasumberku. Dimarahi pemred hanya sekelumit masalah yang akan kuhadapi setelah ini. Tetapi memecatku adalah satu-satunya kemungkinan yang mustahil dilakukan perempuan gendut itu. 
            Aku menghampiri meja di depan perempuan berambut ikal tebal yang kini tengah melamun dan menatap hujan dengan sendu. Aku segera meletakkan tas laptop dan kamera ke atas meja, kemudian mengusap rambutku yang kuyup. Tidak lama setelah aku duduk, seorang pramusaji perempuan menghampiriku, menyodorkan buku menu yang kutepis secepatnya.
            “Teh Hijau,” kusebut pesananku.
            Pramusaji itu segera mencatatnya, dan bersama senyum ramah yang sedikit canggung, dia minta diri.
            Aku kembali mengusap-usap pakaianku yang basah, dan beberapa saat kemudian, seorang perempuan membawakan pesananku. Bukan pramusaji dengan senyum canggung tadi, tetapi perempuan muda yang mengenakan seragam koki yang langsung menyerahkan cangkir porselen itu ke atas meja kayu di hadapanku.
            “Teh Hijau pesananmu,” ucap perempuan berbaju koki itu.
            Kubilang, “Terima kasih,” lalu kembali pada kesibukanku semula. Sesungguhnya, baju yang basah ini membuatku tidak nyaman, seperti saat kau mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhmu.
            Sedetik kemudian, terdengar sebuah dehaman dari arah arah perempuan muda berbaju koki di sampingku, “Toko kue kami menyajikan kue-kue yang luar biasa enak dan cantik. Kau tidak akan melupakan bagaimana rasa tar, puff, mousse dan pai kami. Atau, kau ingin mencicipi tiramisu buatan koki kami yang, kalau saja toko-toko kue terkenal di Paris seperti Gerald Mulot dan Lonetre menjual tiramisu, sudah pasti tiramisu buatan Ju ini pantas dimasukkan ke buku menu mereka, dan dihargai enam euro per potong. Bagaimana?”
            “Terima kasih.” Kalau perempuan berbaju koki ini tidak bodoh, sudah pasti tahu maksud ucapanku barusan.
            “Emm, atau kau ingin merasai Souffle cokelat buatan Ju yang, meskipun dingin, tetapi rasanya tidak ada tandingannya?” Masih perempuan yang sama yang mengoceh di sampingku.
            Kuhentikan segera aktivitasku, lalu menoleh ke arah perempuan berbaju koki itu. Wajahnya memasang ekspresi penuh harap, seolah jawaban “ya” yang terlontar dari mulutku akan membuatnya tersenyum seharian.
            “Pekerjaan saya selalu menuntut rasa ingin tahu, dan tidak percaya.”
            “Kau jurnalis?” dia menebak.
            Aku mengangguk, lalu melanjutkan kalimatku yang terpotong tadi. “Saya ingin tahu bahwa barusan kau tidak sedang beromong kosong.”
            “Baik,” ucap perempuan berbaju koki itu dengan semringah. “Jadi, kue apa yang ingin kau cicipi?” tanyanya, masih dengan ekspresi yang sama.
            “Kue yang jika dijual di toko Gerald Mulot dan Lonetre akan dihargai enam euro per potong.”
            Tidak lama setelah aku menyebutkan pesananku, perempuan berbaju koki itu langsung minta diri. Di luar masih hujan, dan toko kue yang kukunjungi tetap sepi. Hujan seperti mengunci sepasang kaki para pengunjung, lalu membiarkan aku bersama dengan perempuan berwajah murung di meja di sampingku. Berdua, memandangi butir-butir hujan, seperti tokoh-tokoh fiksi dalam novel atau juga dalam film yang pernah kutonton. Tokoh-tokoh, yang sebenarnya cengeng, yang menganggap hujan adalah bentuk kesetiaan alam atas kesedihannya.
            Lamunanku tersadar oleh dering ponsel yang kuletakkan di dalam tas. Bunyinya monoton, dan semakin nyaring. Aku meraihnya, lalu kudapati nama Gus yang tampil pada layarnya. Aku membiarkannya, sampai dering membosankan itu berhenti dengan sendirinya.
            “Ah, pacarmu pasti mengambek panggilannya tidak dijawab.” Perempuan berbaju koki itu muncul, membawa kue yang disebutkannya tadi sambil berkomentar sok tahu. “Selamat menikmati krim, keju mascarpone dan biskuit kopi yang lembut. Saya percaya, kue ini akan memupus anggapanmu tentang ocehan saya tadi.” Lalu, dia mengulas senyum aktor; senyum yang berusaha menyembunyikan kesedihannya sendiri.
            “Ya, terima kasih. Saya akan membayarnya seharga enam euro kalau apa yang kau bicarakan bukan omong kosong.”
            Senyum perempuan di sampingku semakin lebar. “Ya, semoga apa yang kau katakan barusan juga bukan omong kosong,” balasnya seraya mengedipkan satu matanya.
            Aku dibuat tersenyum oleh perempuan berbaju koki yang memberi kesan akrab, seolah-olah aku pernah bertemu di hari-hari sebelumnya. Perempuan itu minta diri setelah itu, membiarkan aku mencicipi calon kue seharga enam euro di hadapanku.
            Ini kali pertama aku mencicipi sesuatu yang manis, selain kopi hitam yang agak pahit. Aku meraih sendok kecil, kemudian mencicipi tiramisu di hadapanku. Dan, ini aneh. Maksudku, aku tidak memakan kue karena aku tidak menyukai makanan manis. Tetapi, tiramisu dalam mulutku sangat enak, seperti yang dibilang perempuan berbaju koki tadi. Krim, keju mascarpone dan biskuit kopi yang lembut seketika melumer di lidahku, dan untuk beberapa saat, aku tertegun. Sepertinya, perempuan berbaju koki tadi lupa menyebutkan, bahwa koki mereka juga menaburi bubuk-bubuk magis ke dalamnya.
            Tiba-tiba saja ada sesuatu yang menghangat dalam diriku, seperti saat kau menikmati sajian sederhana yang dibuat ibumu. Di tengah-tengah ruang makan yang tidak luas, kau berkumpul dengan keluargamu, kemudian berbincang sambil sesekali mengurai tawa. Ini serupa kegilaan. Aku akan mengeluarkan uang senilai enam euro untuk kue ini kepada perempuan berbaju koki tadi.
            Kue di depanku belum separuhnya habis saat ponselku berbunyi. Sebuah pesan teks masuk, dari orang yang sejak tadi mencoba menghubungiku. Berbunyi seperti ini:
                “Sudah lima tahun, Moses. Sampai kapan kebencian akan membawamu semakin jauh?”
            Pesan selanjutnya muncul, kali ini bernada sedih dan sarat penyesalan.
            Pulanglah. Aku rindu bercengkerama denganmu.”
            Aku tidak membalas, dan pesan terakhirnya muncul. Nadanya pesimis.
                “Terkutuklah aku yang tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, selain kau.”
            Aku membaca tiga pesan teks yang dikirim Gus dengan lekat, sampai-sampai aku tidak menyadari perempuan yang duduk di sampingku beranjak dari kursinya. Hanya gemeletap sepasang sepatunya yang terdengar, lalu sosoknya sudah berada di luar. Melalui jendela, aku melihat perempuan itu membentangkan payung merah, kemudian menembus rintik-rintik yang mengenai payungnya. Tidak lama setelah kepergian perempuan itu, hujan berhenti dan langit berangsur terang.
            Aku meletakkan ponselku kembali ke dalam tas. Aku tidak memiliki alasan membalas pesan teks dari lelaki yang sudah berkhianat itu. Tanpa aku tahu, suatu hari, aku akan menyesali sikapku yang begini.
***
            Aku mengunjungi kembali toko kue di kawasan Suburban pada Selasa yang cerah, dan sebenarnya aku mengharapkan sore ini hujan deras.
            Dencing lonceng kecil di atas kosen menyapa saat aku membuka pintu. Tidak seperti terakhir kali aku mengunjunginya, toko kue kali ini ramai. Meja yang berderet nyaris penuh, lalu etalase dan stoples-stoples berisi kue kering di dalam lemari putih itu tersisa separuhnya. Aku membawa langkahku menuju meja yang sama yang kebetulan baru ditinggalkan pengunjung.
            Seorang pramusaji menghampiriku sambil menyodorkan buku menu. Seperti biasa, aku menepis seraya berkata, “Teh hijau,” aku menjeda kalimatku sesaat, “dan kue seharga enam euro per potong.”
            Pramusaji di depanku menatapku bingung, “Maaf, Mas, kami tidak memiliki kue yang disebut.”
            “Tulis saja,” kubilang, “salah satu koki kalian membuat kue itu.” Pramusaji  itu lalu mencatat dan minta diri setelahnya.
            Aku meletakkan tas kamera dan laptop ke atas meja, kemudian menatap ke luar melalui jendela. Cuaca masih cerah, dan sepertinya harapanku tidak akan terpenuhi. Mana mungkin hujan turun, sementara matahari masih menampakkan diri.
            Tidak lama kemudian, para pengunjung satu per satu mulai meninggalkan toko kue, menyisakan aku seorang diri. Duduk termenung pada meja di dekat jendela. Menunggu hujan turun. Dan sepeninggalnya mereka, terdengar bunyi petir menyambar di tengah langit yang cerah. Seketika itu, butir-butir air perlahan turun.
            “Ah, hujan,” kudengar seseorang mendesah di sampingku.
            “Hujan nanggung,” aku bergumam. Hujan kala matahari tetap bersinar dengan terang. Dahulu, saat kami masih kecil, Gus selalu mencari keberadaanku saat fenomena seperti ini muncul.
            ‘Pertanda,’ kata Gus, ‘hujan seperti ini pertanda bahwa orang-orang yang sudah meninggalkan kita tengah merindukan kita.’
            Aku diam saja saat itu, tidak mengerti dengan ocehan kakakku itu.
            ‘Jangan diam saja, bodoh. Kita doakan ibu kita di surga. Saat ini, dia sedang merindukan kita. Bilang juga, kita rindu padanya.’
            “Ini kue enam euro pesananmu.” Aku dikagetkan oleh suara perempuan berbaju koki yang membawa nampan berisi pesananku. Dengan cekatan, dia menaruh secangkir teh hijau dan sepotong tiramisu ke atas meja.
            “Terima kasih,” aku menjawab.
            “Saya tidak menyangka kalau kau akan membayar tiramisu ini seharga enam euro.”
            “Moses,” gumamku. “Panggil saya Moses.”
            “Kalau begitu, panggil saya An,” Perempuan berbaju koki itu memperkenalkan diri. Lalu, dia melirik ke arah dirinya muncul tadi. Setelah keadaan dirasanya aman, dia menggeser kursi dan duduk pada kursi di seberangku.
            “Jadi..., kau menyukai tiramisu buatan Ju?” tanya An, penuh rasa ingin tahu.
            Aku menggeleng, tetapi bukan berarti tidak. Aku menatap tiramisu di hadapanku dengan nanar. Sebenarnya, aku hanya sedang merindukan momen yang sama satu bulan yang lalu. Pada waktu yang sama, di meja yang sama, dan pesanan yang sama. Aku menunggu ponselku berdering. Menunggu nama Gus tampil di layarnya, kemudian aku segera menerima teleponnya, bercengkerama dengan lelaki itu.
            “Maaf,” katanya, “saya akan pergi kalau kehadiran saya mengganggu.”
            “An, kau akan menghargai tiramisu ini berapa euro kalau kau bisa mengembalikan momen di satu bulan yang lalu, saat kali pertama kita bertemu, saat kau melihat saya mengabaikan telepon masuk dari saudara saya?”
            An menatapku bersama kedua alis yang bertaut.
            “Ya, sebut saja, An, saya akan membayar berapa pun. Asal, saya bisa kembali ke masa itu. Bercengkerama dengan Gus, mendengar suaranya untuk terakhir kalinya. Atau, saya bisa mencegahnya berbuat konyol yang membuat nyawanya sendiri terenggut.” Aku sudah mirip dengan orang prustasi saat itu.
            Lawan bicaraku menatapku dengan lekat, seolah dirinya bisa merasakan apa yang sedang kurasakan saat itu; rasa kehilangan serta penyesalan. Mulut An bergerak, tetapi tidak ada suara. Kami berdua bergeming selama beberapa saat. Lalu, lonceng kecil di dekat pintu berdencing, seorang perempuan yang biasa mengisi kursi di sampingku muncul, dan An segera menyambut kedatangan perempuan itu.
            Perempuan berbaju koki itu lalu berdiri, menghampiri tamu di meja di sampingku.
            “Souffle cokelat.” Perempuan yang datang bersama hujan menyebutkan pesanan. Lalu, aku hanya mendengar sepasang sepatu perempuan berbaju koki itu meninggalkan meja.
            Aku menyendok tiramisu di hadapanku pada akhirnya. Rasanya seperti biasa. Manis, lembut dan lumer di lidah. Aku membuka tas, mengecek ponsel, dan tidak ada tanda apa-apa. Tidak ada panggilan, maupun pesan teks. Aku kembali menyendok tiramisu, dan pada sendok terakhir, aku merasakan ada yang aneh dalam tiramisu di mulutku. Rasanya tidak seenak tadi. Agak asin.
            Saking menikmati kue di hadapanku, seraya mengurai harapan-harapan yang mustahil terjadi, aku tidak menyadari kehadiran An yang mengantarkan kue pesanan perempuan di meja di sampingku. Dan, sebelum berlalu, perempuan berbaju koki itu menyerahkan selembar tisu kepadaku.
            “Kau butuh ini,” katanya. Setelah itu, An tidak lagi bicara, hanya mengulas senyum getir. Dan, setelah aku menerimanya, dia berlalu begitu saja, membiarkan aku sendiri.
***
            Satu bulan kemudian, pada Selasa sore, aku mengunjungi kembali toko kue di kawasan Suburban. Pada hari yang sama, tanggal yang sama, jam yang sama, meja yang sama, dan pesanan yang sama.
            “Teh hijau, dan kue seharga enam euro per potong,” aku berkata kepada pramusaji yang segera mencatatnya, kemudian berlalu.
            Kali ini, hujan turun mendahuluiku. Dari balik jendela, aku hanya bisa menatap sisa-sisa air yang menggenang di tepi jalan. Serupa kepergian Gus. Kepergian lelaki itu hanya menyisakan sepenggal kenangan dan penyesalan yang, sialnya, keduanya tidak pernah datang di awal.
            Dan sesungguhnya, aku tidak tahu sampai kapan akan melakukan ini, mengunjungi toko kue ini supaya bisa kembali pada momen dua bulan yang lalu, saat Gus menghubungiku di telepon, dan mengirim tiga pesan teks.
            “Selamat sore,” seseorang menyapaku, tetapi bukan suara perempuan berbaju koki.
            Aku menoleh ke arah suara itu berasal, dan memang bukan. Dia perempuan cantik berkaus tanpa lengan berwarna ungu. Aku melihat garis-garis wajah An di wajah perempuan itu. Sedikit, ya hanya sedikit.
            “Aku Galuh,” perempuan itu memperkenalkan sambil menggeser kursi di seberangku. “Hari ini toko kue kami sedang tidak membuat tiramisu. Maaf.” Dia memasang ekspresi menyesal.
            “Oh,” aku menggumam, sedikit kecewa.
            “Sebagai gantinya, kami membuat ini.” Dia menggeser gelas koktail besar berisi sesuatu yang berwarna-warni. “Ini macaron yang sama yang dibuat An untuk perempuan pembawa hujan yang biasa duduk di meja di sampingmu. Ah, An memang absurd. Sekarang, dia menyuruh kami membuatkan ini untukmu,” jelas perempuan bernama Galuh. Lalu, dia menggeser secarik kertas kepadaku.
            “Ini juga dari An. Dia sudah tidak bekerja lagi di Afternoon Tea. Sebelum pergi, dia menitipkan ini kepadaku.”
            Aku mengambil secarik kertas itu, lalu kubilang, “Terima kasih.” Setelah itu, perempuan bernama Galuh beranjak, membiarkan aku sendiri.
            Tanganku bergetar saat membuka secarik kertas yang An titipkan kepada perempuan bernama Galuh. Ah, sangat klise. Surat perpisahan, padahal, baru dua kali kami bertemu. Tetapi, rasa ingin tahu memaksaku membukanya.
            “Enam euro tidak terlalu mahal untuk macaron dalam gelas koktail besar di hadapanmu, Moses Ariadinata, jurnalis di majalah sastra kesukaan Arlet,” tulis An.
            Aku tersenyum saat perempuan itu mengetahui nama lengkapku, dan juga majalah tempatku bekerja. Aku menyicip macaron di hadapanku, lalu kembali aku membaca surat yang ditulis An.
            “Bagaimana? Menyesal karena kau harus membayar enam euro untuk kue ini? Menyesal karena bukan kue enam euro sungguhan yang kau makan? Menyesal karena saat ini tidak hujan? Menyesal karena tidak ada lagi perempuan yang datang bersama hujan di meja di sampingmu? Menyesal karena telepon saudaramu saat itu tidak kau angkat? Menyesal karena kau telah membenci masa lalu?”
            Kerongkonganku tercekat kala aku membaca tulisan tangan An dalam secarik kertas yang kugenggam. Dan, setelahnya, aku berubah menjadi lelaki yang amat cengeng saat membaca kalimat terakhir yang ditulis oleh perempuan berbaju koki yang pernah memamerkan seulas senyum aktor sore itu.
            “Dan, sekarang, sudah saatnya kau melepaskan masa lalu itu, Moses.”
            Pesan terakhir yang sekaligus membuatku tersadar. Sudah saatnya aku melepaskan masa lalu, seperti gumpalan awan hitam yang rela melepaskan butiran hujan, kendati dia adalah pemiliknya.
***       
*Ini adalah cerita pendek, yang kalau kata Yuli Pritania disebut drabble; sejenis fan fiction yang mengambil latar tempat; toko kue Afternoon Tea, tokoh An, Galuh, dan perempuan yang datang bersama hujan dalam novel Walking After You-Windry Ramadhina
**Cerita utama diambil dari salah satu novel saya yang ditulis tahun 2012. Kisah kakak beradik, Moses dan August yang sampai saat ini belum saya sentuh kembali. Tentang penyesalan Gus, dan tentang kebencian Moses, dan tentang perempuan yang jatuh cinta pada seseorang hanya melalui sebuah cerita.
***Dan ini cerpen pertama saya, setelah bertahun-tahun tidak lagi menulis cerita pendek. Ternyata sangat sulit, ya. Ckckck.

Interval: Time and Space to Talk


Judul             : Interval: Time and Space to Talk
Penulis           : Dion Sagirang & Nay sharaya
Editor            : Anin Patrajuangga
Penerbit         : Grasindo

Sinopsis:
Anna
Kupikir aku akan selalu baik-baik saja dalam keluarga yang kacau ini. Hingga kemudian, beberapa kesialan datang tiba-tiba dan mengejutkanku.
Kakakku, pemuda asing yang genius itu selalu mendapatkan apa saja dengan mudah,lalu menyia-nyiakannya. Seorang gadis Jepang yang perlahan-lahan merebut tempatku yang nyaman. Dan terakhir, seorang pria, guru misterius yang penuh rahasia dan akhirnya melibatkanku dalam kekacauan yang tak pernah kualami sebelumnya.
Semuanya muncul bersamaan dan membuatku sadar bahwa bertahan sendiri tidak lagi semudah dulu.
Erash
Dulu aku pernah berbagi tawa bersama gadis itu. Pada sore yang cerah, kami menaiki sepeda yang sama, melewati hari-hari dengan bahagia. Seperti kisah-kisah dalam dongeng.
Lalu, mari kita tengok sekarang. Dia, gadis yang pernah berbagi tawa bersamaku telah menjelma sosok yang tidak kukenali. Ada sorot benci yang sulit kuejawantahkan saat dia menatapku, dan tatapan itu seperti cara seseorang menatap musuh. Padahal, gadis itu adalah adikku.
Sekarang, saat hidupnya didera banyak masalah, apa aku masih punya alasan untuk tetap peduli?