Kamis, 28 November 2013

Pengumuman Pemenang FF #DiaryJombloDarurat


“Deng, buku lo apakabarnya?”
Tanya Kentang—a.k.a Hadi Tang a.k.a Hadi Sujatman—suatu ketika. Entah pertanyaan tersebut murni datang dari hatinya, menanyakan novel pertama saya, atau serupa sindiran dengan redaksi kalimat seperti ini, sebenarnya, ‘Deng, buku lo laku nggak sih?’ dan saya pikir itu maksud Kentang sebenarnya. Hanya saja dia mencoba berbasa-basi dengan cantik.
“Baik,” saya menjawabnya tak acuh. Memangnya apa yang bisa lelaki gingsul itu lakukan, hah? Menyemangati saya buat terus berpromosi ria ala SPG (Bukan Sales Promotion Gay)? Ah, dia aja selalu nggak pedean dengan karyanya, mana bisa mede-medein orang lain. Halah...
“Gimana kalau gue bantuin promo, euh... sebenernya ini sejenis kerja sama.” Katanya kemudian.
Saya yang awalnya enggan merespon pesan instan melalui whatsapp, merasa tertarik dengan tawarannya. Karena sebelumnya, Kentang pernah didaulat sebagai host acara debut penulis di salah satu penerbit. Baiklah, saya pikir ini cukup keren. Ah, niat saya sebenarnya bukan untuk promosi, melainkan berbagi kesenangan saja.
Ya, saya senang menulis. Alangkah kerennya kalau kesenangan saya juga dirasakan teman-teman.
“Gimana kalau ....!@#$%^&*()_...” tawarku pada Kentang yang lagi mangkir dari kerjaannya di kantor TU.
“Ah, kayaknya keribetan. Ntar kalo nggak ada yang ikutan gimana?”
“Bagaimana kalau gini...!@#$%^&*(...”
Kentang kembali menyela. “Ribet bingit itu Kakak.”
Padahal niat saya begini, kemudian saya jelaskan. “Saya ingin orang-orang yang awalnya malu-malu menulis mulai memiliki kepercayaan diri buat menulis, ya, kita mulai dengan cara sederhana. Masalah banyak atau nggak yang ikut, biarkan itu berjalan semana mestinya.” Ah, kenapa saya jadi sok-sok-an bijak kayak gitu.
Maka terciptalah kerja sama yang sangat elegan ini...

Setelah opening yang cukup melelahkan, saya kira. Mari kita ke acara inti. Saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman atas atensinya, mengikuti tantangan menulis FF dengan tema ‘Jomblo’ versi kalian masing-masing. Mohon maaf pengumumannya terlambat lantaran saya harus menunaikan kewajiban saya terlebih dahulu sebagai... jomblo. Ah, salah fokus. Sebagai Mahasiswa yang cukup taat pada dosen. Selain alasan itu, ada alasan yang lebih krusial lagi, di tempat saya didera mati lampu seharian.
Sebenarnya, tulisan teman-teman sangat keren. Dan semoga saja setelah ini, Chingu (sebutan untuk teman versi saya), bisa terus menulis. Ya, minimal untuk kesenangan Chingu sendiri ya, selebihnya semoga saja bisa menyenangkan orang lain. Aih, pekerjaan yang mulia itu.
Tetapi karena ini bisa disebut kompetisi, tentu saja dengan skala paling kecil, maka saya pilihkan satu pemenang yang akan menerima 1 eksemplar Novel Diary Jomblo Darurat edisi bertanda tangan. Ketika membaca FF Chingu semua—termasuk punya Om Kentang—saya sempat syok, karena diceritakan Adeng adalah seorang cewek cantik. Saya jadi pengen rebonding rambut dan beli rok mini. #salahfokus Tetapi saya beneran bingung karena kisah kalian sangat keren dan inspiratif.
Yang terpilih, tetap hanya satu dan yang beruntung mendapatkannya adalah...
@argalitha-Kisah Kepada Juwita
Selamat, kepada pemenang beruntung, sila kirim nama lengkap+Alamat jelas+nomor telpon ke DM @HadiSujatman
Baiklah, saya ucapkan thanks buat Chingu saya, Kentang—a.k.a Hadi Tang a.k.a Hadi Sujatman—yang sangat agresif dalam menjalankan acara ini. Juga kepada Chingu lainnya, mari terus berkarya.
Salam,

Dion Sagirang

Minggu, 24 November 2013

Reuni Singkat


Setiap malam kita melakukan ritual kecil berupa obrolan ringan. Tema percakapan kita tak beranjak dari orang-orang yang pernah menoreh warna di kehidupan kita, dan anehnya tak sedikit pun kita dihinggapi rasa bosan. Meski tema serupa, tapi nyaris tak pernah jenuh karena setiap malam yang kita lewati akan terasa menyenangkan. Kadang kala, cerita kita diakhiri dengan derai tawa yang menyadarkan kita, telah banyak bungkus makanan yang telah tandas. Atau, dulu kita pernah mengakhiri percakapan dengan tangis terisak yang membuat orang tua kita saling menaruh curiga, ‘kau apakan anakku?’. Lalu dengan berat esoknya kita saling menjelaskan perihal yang terjadi kemarin malam.
Keadaan kita memang begitu. Tak jarang kita lupa waktu, lalu disadarkan oleh teriakan orang tuaku dari ambang pintu dan tentu saja orang tuamu yang mengutus adikmu untuk mengingatkan kita kalau malam sudah semakin beranjak jauh, menyeruakkan sunyi dalam gelap. Hari esok telah menunggu kita dengan cantik. Begitu kau bilang. Sebagai kalimat perpisahan untuk malam itu.
Namun kali ini, kau mengajakku menjelmakan kehidupan. Sebenarnya, aku tak mengerti maksudmu. Tapi, baiklah kita coba. “Mmm... apa, ya?” Aku berpikir cukup lama. Mencari ide dalam nikotin yang kusesap. Sementara kau menikmati kukicha hangatmu yang juga mengepulkan asap, menebarkan aroma tenang dalam cangkir yang kaudekap di kedua tanganmu. Malam ini terasa sangat dingin, makanya tak tampak satu pun bintang yang berpendar. Meski tanpa bintang, tapi percakapan kita di beranda rumah akan tetap seru, seperti malam-malam sebelumnya. Bukankah begitu?
Awalnya, kau tidak percaya kalau kita hidup dalam sekat. Sekali lagi kuyakinkan. “Sekat itu ada, namun tampak kasat.”
Kau memanyunkan mulutmu hingga terlihat sangat buruk. Haha... aku bercanda. “Baiklah, tak perlu kau merajuk begitu, jangan biarkan orang-orang tahu, tak ada kelebihan lain di wajahmu selain senyummu itu.” Kau merasa aku sedang menggombal? “Untuk percakapan kita malam ini, kau berpura-pura saja percaya kalau hidup kita bersekat, titik. Mari kita lanjutkan!”
Kau mengangguk. Kemudian bersiap mendengarkan ocehanku selanjutnya. Namun kau kembali menginterupsi ketika aku menyebut selain bersekat, kita juga hidup bertingkat. “Ya, kita hidup dalam tingkatan yang berbeda-beda, padahak kita menginjak tanah yang sama.”
“Benarkah?” tanyamu tak percaya.
Sungguh aku tidak tahu, apa kau benar-benar tak mengetahuinya atau sedang mengetes kemampuanku. Kemudian aku bertanya padamu, “Hidupmu berada dalam tingkatan sosial yang mana, bawah, menengah atau atas?”
Kadang alasan konyol ini yang membuat tanganku gatal untuk menjitakmu, tapi yang membuatku suka, kau hanya meringis seraya memelototkan mata kecilmu dan mengusap-usap keningmu yang memerah. Tetapi karena aku sahabat yang baik, mari kita ber-reuni singkat. Sejenak saja, jangan kau pikir kita akan bercerita tentang bagaimana kau mendapat cinta pertamamu. Bisa-bisa obrolan kita menjadi basi.
Kita mengenal satu teman semasa SMA yang mengalami perubahan total dalam hidupnya. Ya, dia mengalami lonjakan sosial yang sangat drastis. Saat itu, dia berada pada tingkatan tertinggi secara strata sosial. Perubahan terjadi pula pada fisiknya yang semakin cantik, barangkali karena pakaian, perhiasan yang dia kenakan. Juga pada mobil keluaran teranyar yang mengantarnya kesana-kemari layaknya setrikaan.
Kau menderai tawa, padahal tidak ada yang lucu. “Hei, simak dengan baik karena sebenarnya ini inti percakapan kita!”
Kau mengangguk, kemudian mengusap cangkir di tanganmu.
“Strata sosialnya melonjak, tetapi tak serta merta dengan kepribadian level terbawah yang masih belum bisa dilepasnya. Ini bagian yang sangat disayangkan karena apa yang dia pakai dan dia lakukan, tanpa mengubah cita rasa pribadinya, rasanya dia tetap temanku yang urakan. Padahal dulu—karena aku mengenalnya—aku sering menyarankan dia supaya memantaskan diri, menyesuaikan dengan level tertinggi yang telah diraihnya.”
“Lalu?” tanyamu, mulai beraksi atas ceritaku.
“Rupanya dia bebal. Tak sedikit pun mendengarkan saranku. Ya, sepertimu. Bedanya, ketika itu aku tak berani menjitaknya. Bisa-bisa diperkarakan ke meja hijau.”
Kau menyungging senyum, kemudian menyesap teh di tanganmu dengan nikmat.
“Meski tampak mengilat, batu itu tetaplah benda kotor yang ditemukan dari sungai. Ironinya seperti itu.”
Aku hanya tersenyum simpul ketika kau bertanya, “Apakah ada peribahasa yang lebih halus, semisal rumput liar yang tumbuh di padang golf?”
“Nah, barangkali itu sebutan yang paling cocok untuknya. Kadang-kadang kau pintar meresponku saat aku membicarakan hal-hal tentang dirimu.”
Kau mengumpat, “Sial!”
Sekarang aku berani menjitakmu, karena kau telah kembali ke rumahmu yang dulu. Rumah yang letaknya hanya beberapa langkah dari teras rumahku. Dalam dukamu karena bisnis ayahmu yang baru seumur jagung itu telah bangkrut, aku tersenyum dan bahagia. Dengan begitu, kau kembali membumi. Lebih terlihat seperti manusia, seperti seseorang yang pernah kukenal.
Kemudian obrolan tentangmu telah selesai. “Sekarang kau percaya dengan apa yang telah kukatakan tadi?”
Kau mengangguk pasrah.
“Sekarang giliranmu, apa yang ingin kau ceritakan. Aku akan mendengarnya.” Aku menyesap rokok di tanganku, mengembuskan asap ke udara yang secepat kilat tersapu angin.
Kau bercerita tentang temanmu yang selama sekolah sangat pintar dalam pelajaran hingga sering mendapat peringkat satu. Selama itu, kau tidak pernah iri kepadanya. Aku bertanya, “kenapa?” Alih-alih menjawabku, kau melanjutkan ceritamu, berpura-pura tak menghiraukan.
“Dia teman yang pintar, namun sekaligus teman yang membosankan.” Mulutku yang gatal tak segan melayangkan pertanyaan serupa. Karena sepertinya aku juga mengenal teman dalam ceritamu itu. Untungnya, kali ini kau menjawab.
“Acapkali dia membicarakan segala tetek bengek tentang kekasihnya.”
Untuk pertama kalinya kau mengaku kalau itu cukup menyenangkan saat mendengar ceritanya. Ketika dia mengenal seorang lelaki yang baik, humoris dan menyenangkan. Tetapi kebosanan menyertaimu karena cerita itu terus bergulir seiring pertemuanmu yang intens dengannya. “Dia terus membicarakan kekasihnya seolah dunia tak memiliki cerita lain. Demi Tuhan, aku mulai muak.” Air mukamu berubah, seperti tengah berusaha muntah di mulutmu.
“Ya, bisa jadi dunia mengakui kalau Rendang adalah makanan terlezat di dunia. Tetapi ketika harus menyicipinya setiap hari, aku yakin, bisa-bisa kau muntah.” Lanjutmu seraya mendelik.
Kali ini giliran aku yang menggelak tawa. Bagaimana bisa seseorang begitu bangga dengan kekasihnya sehingga acapkali berbicara tentangnya. Lambat-laun, aku dibuat penasaran pada temanmu itu. “Siapa dia?”
Kau menggeleng. Mengembang senyum penuh muslihat.
Ah, kau tak asik karena tak mau memberitahunya. Karena cerita temanmu yang sangat konyol itu, aku tak dapat menahan tawa.
Kau mengerutkan kening, seolah respon tawaku sangat berlebihan. Barangkali kau berang melihat tingkahku, maka kau pun menjawab pertanyaanku yang tadi kau abaikan.
“Sepertinya kau begitu puas menertawakan kekasihmu sendiri, padahal dia sangat bangga terhadapmu.”
Dalam diam, aku memerhatikan tubuhmu yang beranjak dan masuk ke dalam rumahmu sementara aku masih terpaku atas jawabanmu.
Ya, dan kehidupan pun bergulir. Kali ini giliran aku yang mengumpat. “Sial!”

Kamis, 07 November 2013

Jatuh Tanpa Cinta


Akui saja, kau mengenalnya saat menghadiri acara sosial yang diadakan oleh ikatan SMA di kotamu saat itu. Bogor adalah kota yang indah, namun tak ada yang lebih indah dari sosoknya. Itukan katamu? Gombal benar kau. Lalu diam-diam kau mengaguminya, dan dalam diam pula, lamat-lamat sesuatu tumbuh dalam dirimu. Kau masih berani mangkir, kalau itu cinta? Ya, cinta.... 

Gadis itu cantik. Garis wajahnya tegas, dagunya yang lancip terbelah dua dan kulitnya yang putih bersinar tatkala cahaya matahari yang menerpa; diam-diam dia juga ingin merasakan lembut kulitnya. Sialan, kau kalah cepat dengannya. Rambutnya yang lurus tergerai. Beberapa helainya menari liar di udara ketika angin yang nakal membelainya. Kau lihat, angin pun begitu asik menggodanya. Namun apa yang kau lakukan, hanya menatapnya dari kejauhan. Lalu kau hanya berdalih; aku menyukai senyumnya yang damai, karya agung yang sempurna. 

Cih! Kau hanya berani memujinya, itu pun kau lakukan di belakangnya. Apa kau bilang? “Kehadirannya menghampar teduh, meski matahari bersinar terik siang itu.” Dasar pembual. Lihat saja keringat yang mulai membanjiri tubuhmu, seiring dengan beberapa pohon yang berhasil kautanam. Kau terdiam sejenak, melerai rasa lelah yang mulai mendera. Kausandarkan tubuhmu pada pohon besar di dekatmu. 

Angin siang itu kaurasakan seperti tertiup dari arah surga, dengan bidadari yang masih berkutat dengan pekerjaannyanya. Jarakmu dengannya terhalang oleh beberapa kelompok siswa yang hadir dari banyak sekolah itu. Tapi kau masih bisa mengintip senyum indah yang tersungging darinya. 

Tak lama, kau kembali berjibaku dengan pekerjaan sosial untuk mengurangi dampak polusi yang berefek pada pemanasan global itu. Kau membantu kelompok lain yang belum menyelesaikan tugasnya karena pekerjaanmu telah selesai. Haha... kau cerdik juga. Hal itu kau lakukan semata karena gadis itu. Kau hanya ingin berlama-lama dengannya, bukan? 

Kau tersenyum ketika mendapati wajah putih gadis itu mulai dibanjiri keringat. Pipinya yang mulus terciprati tanah lumpur. Terbesit dalam pikiranmu untuk menghampirinya, lalu memberikan memberikan sapu tanganmu untuk melap sisa lumpur di wajahnya. Kau mulai berpikir untuk mencuri cakap dengannya, sekadar mengetahui nama atau alamat rumahnya yang kau harap bisa berlanjut dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Dengan segenap keberanian, kau mengambil langkah untuk mendekatinya. Namun urung karena nyalimu kembali menciut. 

“Aku tahu apa yang menghinggapi benakmu kali ini,” ucap Jose, sahabatmu yang berdarah campuran itu seraya menepuk pundakmu. Semoga saja laki-laki berkulit merah terbakar matahari itu tidak mengetahui gugup yang sedang kau rasakan.
“Haha...” Kau tertawa hambar, “apa?” dan kau mulai salah tingkah.
Sahabatmu terdiam sejenak, matanya yang biru laut menunjuk bidadari yang sejak tadi tak lepas dari pandanganmu yang malu-malu. Kemudian Jose mengernyitkan dahi sehingga kedua alisnya yang memiliki warna keemasan itu tampak menyatu. Kau bisa membaca bahasa tubuhnya. Kira-kira seperti ini; Tunggu apalagi, come on! 

“Dia cantik, kan?” Tanyamu tak melepas sedikit pun pandanganmu darinya, dari tubuh gadis yang masih berjibaku dengan tanah lumpur yang bisa saja membuat tangannya yang halus itu menjadi kasar.
“Apakah ada jawaban lain selain ‘ya’, dan kau jatuh cinta kepadanya?”
Kerongkonganmu tersedak, lalu memicingkan mata pada bule di depanmu.
“Apa aku terlihat memiliki jawaban lain?” Kau membalas dengan ucapan serupa.
“Kau tidak takut mencintainya? Semua wanita cantik itu sama, Dra...” Jose mengedarkan pandangannya. Angin bertiup kencang, membuat rambut jagungnya bergoyang. “Tak perlu jauh membandingkan, lihat saja dirimu sendiri. Katakanlah kau ini tampan, sempurna, hampir semua gadis menggilaimu dan apa yang kau lakukan selama ini, memacari banyak gadis itu.” 

“Haha...” Kau menderai tawa dan dalam tawamu terdengar peng-iya-an pernyataan sahabatmu. “Tapi itu dulu, aku sudah berubah.” Kau mulai mencari alasan untuk menyangkal.
“Oh ya, lalu Sherly?” 

“Dia hanya teman biasa, jadi percayalah!” Ucapmu mantap. Padahal, kau yang lebih tahu kalau selama berbulan-bulan ini kau mendekati gadis itu. 

Hatimu mulai berontak, dan diammu malah membuat perasaanmu menjadi tak keruan. Kau merasa pengecut bila hanya berdiam diri. Akhirnya, terkumpul sudah kekuatan untuk menatap senyum itu lebih dekat. Yiha.. akhirnya kau mengambil langkah, berjalan pasti ke arahnya. Jantungmu berdetak tak beraturan dan kau merasakan keringat sebesar biji jagung melintas di pelipismu. 

Tinggal beberapa langkah lagi kau bisa menatapnya tanpa jarak. Angan-angan yang sejak tadi mengerumuti pikiranmu kini akan menjadi kenyataan. Kau bisa menikmati senyumnya lebih puas. 

Namun apa yang terjadi, Tuhan seolah tak merestui keinginanmu. Kau merasakan tubuhmu limbung saat tak sadar menginjak temali sepatumu dan kau terjatuh pada kubangan lumpur. Persis hanya berjarak beberapa langkah dari posisi gadis itu berada. Semua mata menatapmu, tapi tak sedikit pun kau peduli. Pikiranmu hanya fokus pada satu titik. 

Kemudian kau sadar, gadis itu menatapmu iba. Dia segera membersihkan kedua tangannya dengan air, kemudian beranjak menghampirimu. Dia membantumu berdiri. Sebentar, bukankah itu permulaan yang bagus? Seolah gadis itu menangkap sinyal yang telah kau pancarkan. Ya, ceritamu akan berjalan mulus jika seandainya aku tak menciptakan tokoh lain. Laki-laki seusiamu menghampirimu, lebih tepatnya menghampiri gadis di dekatmu. Seraya mengangsurkan minuman dalam kemasan, laki-laki itu berkata pada gadis itu.
“Kasih dia minum, Beib!”

Pada 2011

Selasa, 05 November 2013

Temu

“Hei, di sini....”
Di antara kerumunan orang-orang, gadis itu melambaikan tangan dan dengan gerakannya aku bisa mengetahui ke mana aku akan masuk.
“Ah,” reaksiku seraya menggosok-gosok tangan karena cuaca di luar sangat dingin.
Sebuah kafe kecil tepat di sebuah kampus kami kini berada. Terduduk simpul serupa orang Jepang yang sedang menunggu hidangan makanan tersaji. Aku mengedar pandangan ke sekitar, lalu sedikit tercengang ketika mendapati hanya aku lelaki satu-satunya di ruangan ini. Aku hanya berpikir lalu bertanya-tanya, tempat apa ini? Namun jawabannya tak begitu penting.
“Silakan,” katanya, menggeser buku menu ke arahku.
Aku meraih dan melihat-lihat menu apa yang menjadi andalan sehingga dia memilih kafe terpencil yang jaraknya cukup jauh dari pusat kota. Riuh para gadis di sekitar membuat atmosfir dingin mulai kabur, lalu tergantikan dengan kehangatan di tengah percakapan mereka yang kacau. Rupanya di belahan bumi mana pun wanita sama saja seperti ini jika tengah berkumpul dengan sekawanannya. Ibarat partikel suara dengan nada sumbang yang kemudian disatukan.
“Aku pesan ini,” kutunjuk dua menu makanan sekaligus minuman.
Aku membuka sebagian kancing jaket yang kukenakan, lalu kudapati gadis di depanku memberengut. “Dasar rakus.” Lemparnya dan membuatku menyunggingkan senyum.
Dia beranjak, memesan makanan yang sebenarnya tak terlalu kuharapkan segera tersaji karena aku menginginkan hal lebih dalam pertemuan ini. Ya, obrolan yang hangat antara dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu.
Tak lama setelah itu, muncullah sepasang belia yang berjalan saling menautkan tangan mereka seolah jika terpisah, dunia akan akan ikut terbelah. Mereka duduk tepat di sebelah kami, terhalang jeda untuk pelayan yang akan mengantar makanan atau lalu lalang lainnya.
“Tepat setahun yang lalu aku ke sini, tapi sepertinya aku tidak pernah melihat tempat ini.”
Gadis di depanku berdesis, “Hei, setahun bukan waktu yang sebentar.”
Dan dalam waktu itu, bukan hal mudah untuk melupakan seseorang yang hadirnya pernah menorehkan warna di kehidupan kita, bukan?
Tak sadar, minuman yang kami pesan telah tersaji di atas meja. Namun itu bukanlah sesuatu yang menarik.
“Coba kau tengok ke samping!” serunya dan dengan repleks aku mengikuti perintahnya seolah terhipnotis.
Sepasang belia tadi tengah menikmati satu minuman dalam gelas yang sama. Responku hanya tersenyum ketika kembali membalikkan wajah ke arah gadis di depanku. Dia menyunggingkan senyum serupa ke arahku.
“Penolakan rasanya sangat menyakitkan, ya...,” tiba-tiba saja gadis di depanku menggumamkan kalimat yang tidak sinkron dengan pemandangan manis yang baru saja kami lihat. “Tentu kau juga merasakannya, bukan?” sambungnya, kali ini dengan nada menuduh.
“Kau tahu sendiri cerita terakhirku seperti apa,” responku dengan nada malas. Tetapi tiba-tiba saja aku teringat sesuatu yang bisa kusampaikan pada gadis yang masih menyimpan kecewa atas sebuah penolakan. “Tuhan memberi apa yang kita butuh, bukan kita ingin. Peribahasa klasik, saking klasiknya kita tidak pernah sadar dan realita yang membawa kita pada kesadaran itu.”
“Maksudmu?” kedua alisnya bertaut ketika mengatakan itu, membuat wajah bulatnya tampak konyol.
“Selepas itu, aku jadi lebih mengetahui seperti apa karakternya, melalui percakapan-percakapan mereka di sosial media, dan dari sana aku cukup disadarkan, dia bukan tipikal gadis yang kubutuhkan.” Kuraih minuman hangat beraroma lemon di depanku, kemudian mulai menikmatinya.
Gelenyar hangat menyeruak dalam tubuhku, seperti obrolan hangat yang tak tahu sampai di mana cerita ini akan berakhir.
“Oh...,” dia mengangguk seraya membentuk bulatan pada bibirnya yang tipis. “Omong-omong, gadis itu menolakmu dengan alasan apa, kupikir kau sempurna sebagai seorang lelaki.”
Kuletakkan cangkir di tanganku ke atas meja. “Katanya, aku terlalu menjaga sikap sebagai seorang lelaki, terlalu kaku..., dan tertutup.”
“Bukankah itu yang membuat lelaki tampak berwibawa?”
“Entahlah,” aku meresponnya dengan mengangkat bahu. “Ah, sekarang giliranmu. Kenapa kau menolak sahabatku? Kumohon, berikan jawaban yang paling masuk di akal. Tampan, ya. Kaya, bisa dibilang..., dan dia baik, kau juga mengakuinya, bukan?”
Reaksinya saat menerima pertanyaanku adalah mengambil cangkir di depannya, kemudian menyesapnya dengan gerakan santai. Padahal, begitu gemas aku menunggu responnya. Sebenarnya apa yang diinginkan banyak wanita dalam kehidupannya, apa yang hadir di benaknya tentang banyak lelaki dan tentang lelaki yang dipilihnya.
Makanan yang kami pesan datang. Setelah tersaji di atas meja, kami mengabaikannya tanpa menarik minat secuil pun.
“Aku merasa tak nyambung jika mengobrol dengannya.”
Sesederhana itu? Gila! Apalagi yang dibutuhkan wanita dari sosok sahabatku itu. Tampan, kaya, baik, dan...
“Jika kau pikir dengan uangnya aku bisa membeli banyak hal, kau salah. Ada satu hal yang tak akan bisa kubeli kelak.”
“Apa?”
“Kenyamanan.”
Tubuhku membeku ketika mendapati jawaban tersebut. Seperti makanan yang tersaji di hadapanku.


Dion Sagirang
Kota Garut, pada suatu senja

Senin, 04 November 2013

Isyarat


Isyarat
-Hal romantis apa yang ingin kau lakukan terhadap seseorang yang kau cintai?
+Menonton konsernya tanpa memberitahu bahwa aku datang ke sana. Setelah itu aku akan mendatangi back stage seraya memberikan sebuah pujian terhadapnya, ‘malam ini penampilanmu begitu sempurna...’
Suatu hari aku menjawab kuisioner yang dituliskan seseorang, dan itu hanya sekadar iseng ketika mengisinya. Namun siapa sangka, semuanya berawal dari sana...
Bukan tempat yang layak, memang. Tempat yang didesain seadanya dengan penerangan yang buruk. Semburat kekuningan yang membuat mataku tak bisa menatap dengan jelas ke bawah, tempat panggung itu digelar. Namun tempat ini sengaja kupilih. Bukan karena masalah tak mampu membeli tiket VIP atau apa, aku hanya ingin menatapnya dari sini, dari tempat yang dia tak akan menyadari satu hal; aku menunaikan janjik, sebagai lelaki.
Sebuah analogi dengan basa-basi, sudah jela itu berbeda. Analogi adalah sebuah pengibaratan sama sifat sementara basa-basi adalah pengibaratan yang bisa jadi kebalikan atau kebohongan. Dan aku menunggu basa-basi yang dilontarkan kedua orang di atas panggung itu selesai dan kuharap segera memasuki acara inti. Bukankah kehadiran disela sibukku untuk itu, bukan mendengar cengkrama yang sama sekali tidak menarik.
Maka tibalah apa yang selama bermenit-menit kunantikan. Rasanya bukan perjuangan sia-sia saat harus mengorbankan banyak hal untuk melihatnya berdiri di atas panggung sana. Satu persatu, mereka memasuki panggung. Dan pada saat itu, aku merasakan gelenyar aneh yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku menggerak-gerakkan kedua tanganku untuk mengusir perasaan yang benar-benar aneh; gugup. Padahal aku tidak sedang berada di atas panggung sana.
Aku melihat puluhan orang yang berdiri di sana. Di antara teman-temannya, aku terus mencari. Seorang Master Ceremony juga tak terdengar menyebutkan namanya dengan lengkap. Namun tak juga kutemukan. Pada saat itu aku merutuki diri sendiri karena tidak memilih kursi VIP. Dengan begitu aku bisa leluasa melihatnya berdiri di atas panggung. Namun dengan satu resiko, dia akan mengetahui keberadaanku.
Ekor mataku terus mencari keberadaannya, dan pada satu titik aku menemukannya. Sangat anggun. Kaca mata yang biasa bertengger  tak lagi dikenakannya. Dan dialah yang menjadi alasan aku untuk bertahan di tempat yang dikelilingi debu kotor ini. Meski  hanya bisa melihatnya dari arah samping, mataku terus mengekori posisinya, melantunkan lagu-lagu yang tidak terlalu jelas untuk ukuran konser. Peralatan yang kurang mendukung menjadi penyebabnya. Tapi itu tidak masalah selama aku masih bisa menatapnya dari sini. Melihat ukiran senyumnya yang sempurna.
Mataku seakan tak berkedip. Lagu-lagu itu pun berhenti. Rasanya baru beberapa saat aku mendengarnya. Ayolah, ulangi, atau dia saja yang berdiri di panggung, menyanyikan sebuah lagu untukku. Hanya untukku. Atau, satu bait saja, aku mohon...
However  far away I will always love you
However long I stay I will always love you
Whatever words I say I will always love you
I will always love you...
Itu lagu favoritku saat menjalani banyak hari bersamanya. Namun aku kembali tersadar. Persembahannya telah selesai. Yang tertangkap mataku kini dua orang yang sama sekali tak kudengarkan. Bayanganku pun mulai mengabur...
Aku merasa gelisah. Sungguh, ini kadar gelisah paling tinggi yang pernah kurasakan. Sebenarnya aku menunggu momen ini saat aku harus mengatakan, ‘malam ini penampilanmu begitu sempurna’ dan saat langkahku hendak memutuskan untuk menemuinya di balik panggung. Aku bergeming.
Gadis itu tengah berfoto—dan sebagiannya hanya tertangkap samar di mataku. Lagi-lagi aku mengutuk lampu samar di ruangan tersebut. Membuat mataku tak bisa menangkap  atas apa yang dilakukan olehnya di sana. Kutajamkan penglihatanku dan seharusnya dari sana aku mulai sadar. Itu lebih dari sekadar isyarat bagiku.
Ada setangkai bunga di tangannya. Kemudian yang kutangkap adalah cahaya blitz yang dihasilkan dari sebuah kamera. Dia tidak sendiri di sana. Bersama seseorang yang tak kunali. Senyumnya tampak lepas. Barangkali senyum seperti itu yang tak pernah kutemui saat dia bersamaku.
Aku turun menapaki anak tangga, tetapi bukan untuk menunaikan janjiku mengatakan itu. Aku memilih jalan keluar. Meninggalkan tempat itu dengan satu kesadaran. Karena dia telah memilih jalannya sendiri.

Suatu ketika di 22 Mei...