Selasa, 27 Januari 2015

Tentang “Drama Keluarga” dalam Interval


            Entah sejak kapan, saya mulai menyukai cerita berlatar keluarga. Banyak film, atau pun novel yang saya cari dengan latar cerita demikian. Berjam-jam, saya akan dibikin anteng dengan tontonan tersebut, atau terkadang, saya akan lupa daratan kala saya disuguhi bacaan dengan tema keluarga.
            Saya, amat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan keluarga serta interaksi mereka di dalamnya. Seperti suasana rikuh yang terjalin antara  Hugh Jackman dan Dakota Goyo, si ayah muda dan bocah yang cerdas dalam film “Real Steel”, keengganan Miley Cirus berbicara dengan Greg Kinnear yang berperan sebagai ayahnya dalam “The Last Song”, ketakutan James Franco tentang penyakit pikun yang diderita John Lithgow, ayahnyadalam “Rise of the Planet Apes”, atau Dwayne Johnson yang seorang ayah biasa, yang kemudian berusaha mati-matian, menyamar sebagai DEA untuk menyelamatkan Rafi Gavron, anaknya yang dijebak dalam film “Snitch”.
            Itu hanya sebagian kecil, dan kesemuanya itu, di mata saya, sangat mengharukan. Lalu, tebersit dalam pikiran saya, bagaimana kalau saya juga menulis kisah-kisah seperti mereka. Kedekatan antara ibu-anak-ayah atau, kecanggungan yang terjalin di antara mereka karena satu lain hal. Tetapi, apakah kesemuanya itu murni terlahir dari keinginan saya?
            Sepertinya tidak juga. Dalam keluarga, saya adalah tipe orang yang tidak terbuka. Bila terjadi apa-apa, saya lebih suka menyimpannya sendiri, dan pada awalnya memang tidak ada masalah. Tetapi, lama kelamaan, satu hal dalam diri saya memberontak, dan pada akhirya akan ada titik saya meluapkannya, seperti letusan gunung merapi.
            Lalu, apa ada hubungannya dengan tokoh Erash dalam Interval? Tentu ada. Saya membikin karakter Erash yang, kurang lebih begitu—sedikit seperti saya: selalu menganggap semuanya baik-baik saja, hingga suatu saat, dia merasa jengah dengan keadaan tersebut. Tidak selamanya diam adalah emas. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang perlu bicara. Itu yang saya tekankan dalam novel keempat saya.
            Ada pula Freya dan Danu Sadjana yang, rupanya, kedua orang dewasa itulah yang memulai semuanya. Membuat suasana ruang makan menjadi dingin, membuat rumah tidak lagi menjadi surga, termasuk, keputusan mereka telah membuat Anna, adik Erash, membenci pemuda itu. Sejak awal, interaksi keduanya memang sangat kaku. Anna dan Erash. Barangkali tidak seperti sepasang adik-kakak pada umumnya.
            Tetapi, terus terang, saya menyukai mereka. Saya menyukai Erash saat diceritakan dari sudut pandang Anna, lalu saya juga menyukai Anna ketika diceritakan dari sudut pandang Erash. Pandangan mereka berdua tentu saja amat subjektif. Seperti pandangan kalian saat membacanya nanti. Dan, saya tidak tahu, apakah kalian akan sama jatuh cintanya kepada mereka, seperti saat saya menuliskannya.
            Saya selalu berharap begitu. Semoga nyaman mendiami salah satu ruangan di keluarga Sadjana dalam novel Interval.

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar