Entah sejak kapan, saya mulai
menyukai cerita berlatar keluarga. Banyak film, atau pun novel yang saya cari
dengan latar cerita demikian. Berjam-jam, saya akan dibikin anteng dengan
tontonan tersebut, atau terkadang, saya akan lupa daratan kala saya disuguhi
bacaan dengan tema keluarga.
Saya, amat menyukai hal-hal yang
berhubungan dengan keluarga serta interaksi mereka di dalamnya. Seperti suasana
rikuh yang terjalin antara Hugh Jackman
dan Dakota Goyo, si ayah muda dan bocah yang cerdas dalam film “Real Steel”,
keengganan Miley Cirus berbicara dengan Greg Kinnear yang berperan sebagai
ayahnya dalam “The Last Song”, ketakutan James Franco tentang penyakit pikun
yang diderita John Lithgow, ayahnyadalam “Rise of the Planet Apes”, atau Dwayne
Johnson yang seorang ayah biasa, yang kemudian berusaha mati-matian, menyamar
sebagai DEA untuk menyelamatkan Rafi Gavron, anaknya yang dijebak dalam film
“Snitch”.
Itu hanya sebagian kecil, dan
kesemuanya itu, di mata saya, sangat mengharukan. Lalu, tebersit dalam pikiran
saya, bagaimana kalau saya juga menulis kisah-kisah seperti mereka. Kedekatan
antara ibu-anak-ayah atau, kecanggungan yang terjalin di antara mereka karena
satu lain hal. Tetapi, apakah kesemuanya itu murni terlahir dari keinginan
saya?
Sepertinya tidak juga. Dalam
keluarga, saya adalah tipe orang yang tidak terbuka. Bila terjadi apa-apa, saya
lebih suka menyimpannya sendiri, dan pada awalnya memang tidak ada masalah.
Tetapi, lama kelamaan, satu hal dalam diri saya memberontak, dan pada akhirya
akan ada titik saya meluapkannya, seperti letusan gunung merapi.
Lalu, apa ada hubungannya dengan
tokoh Erash dalam Interval? Tentu ada. Saya membikin karakter Erash yang,
kurang lebih begitu—sedikit seperti saya: selalu menganggap semuanya baik-baik
saja, hingga suatu saat, dia merasa jengah dengan keadaan tersebut. Tidak
selamanya diam adalah emas. Bagaimanapun, manusia adalah makhluk individu
sekaligus makhluk sosial yang perlu bicara. Itu yang saya tekankan dalam novel
keempat saya.
Ada pula Freya dan Danu Sadjana
yang, rupanya, kedua orang dewasa itulah yang memulai semuanya. Membuat suasana
ruang makan menjadi dingin, membuat rumah tidak lagi menjadi surga, termasuk,
keputusan mereka telah membuat Anna, adik Erash, membenci pemuda itu. Sejak
awal, interaksi keduanya memang sangat kaku. Anna dan Erash. Barangkali tidak
seperti sepasang adik-kakak pada umumnya.
Tetapi, terus terang, saya menyukai
mereka. Saya menyukai Erash saat diceritakan dari sudut pandang Anna, lalu saya
juga menyukai Anna ketika diceritakan dari sudut pandang Erash. Pandangan
mereka berdua tentu saja amat subjektif. Seperti pandangan kalian saat
membacanya nanti. Dan, saya tidak tahu, apakah kalian akan sama jatuh cintanya
kepada mereka, seperti saat saya menuliskannya.
Saya selalu berharap begitu. Semoga
nyaman mendiami salah satu ruangan di keluarga Sadjana dalam novel Interval.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar