Minggu, 18 Mei 2014

The Shabanas Family


Episode 2
Meet Dennis
The Shabanas Family
Me, My brorther, My Uncle, My Pet and My Parents...

            Sekolahnya Shasha sama Nenes itu letaknya berada di antara dua jalan, eh tiga kali ya. Tapi katanya salah...! Ada empat, kira-kira. Aduh rada bingung juga menjelaskannya. Jadi, sekolahnya itu dikitari jalanan besar yang cukup lengang, di tepinya terdapat pohon besar nan menjulang tinggi. Membuat daerah sekitar jadi sejuk.
Bangunan yang berdiri megah itu sudah agak tua, tapi belum setua Albert Einstein. Kalau kata mamang yang jualan es cingcau di sekitar, gedung bertingkat itu dibangun pas jaman Belanda. Dan menurut bibi penjual lotek di dekat taman, bangunannya agak-agak horor gitu. Tapi ya udahlah, Shasha dan Nenes sekolahnya kan cuma siang hari, itu pun sampe jam 12 teng.Jadi kepala sekolah ngasih jaminan enggak bakalan serem, deh.
            Buktinya, Shasha sama Nenes betah-betah aja. Sebelumnya, Negara juga alumnus SMA sana. Tapi, dia hampir aja enggak mengecap predikat alumnus, artinya, masih betah jadi dedengkot sekolah sana. Jadi begini ceritanya... dulu, menjelang pelaksanaan ujian nasional, Negara terkena DBD dan harus dilarikan ke rumah sakit. Pada saat itu, mami syok banget. Lebih syok ketika dia enggak berhasil dapetin baju lucu yang sudah di PO di Ci Oliv[1] gara-gara kelupaan transfer.
            Pas dikabari Negara pingsan sebelum mengisi soal-soal UN, mami langsung ngibrit aja dari kantornya di jalan Asia Afrika. Dengan wajah yang pucat pasi kayak habis dibanjur formalin sebaskom, mami langsung masuk kelas dan berniat bantu ngebuletin lembar jawaban Negara. Tapi saat itu panitia langsung menggiring mami buat masuk ke ruang UKS. Karena panik, dia langsung aja bawa Negara ke rumah sakit dan selama dua minggu Negara enggak bisa melakukan aktivitas apa-apa. Sekadar maen game di iPad pun dia minta tolong ke suster supaya bisa masuk ke season selanjutnya.
            Lalu, perjuangan mami selanjutnya adalah, bagaimana supaya Negara bisa ikut ujian nasional. Dia kerja keras banget, lho... kesian ya mami. Tapi syukur, karena setelah berdiskusi dengan kepala sekolah, pihak sekolah memberikan kesempatan kepada Negara untuk ikut ujian susulan dan syukur lagi, dia bisa lulus. Ya, meski nilainya enggak memuaskan, mami sih udah enggak berharap. Asal Negara lulus dan dia enggak dicibir ibu-ibu komplek saat arisan mingguan, mami mah udah bersyukur banget pokoknya lah....
***
            Siang itu, Shasha sama Nenes jalan bergandengan. Mereka enggak merasa risih lagi dengan tatapan teman-temannya yang memandangnya agak sinis, dulu malah pernah ada yang komen gini juga lho, “Kembar sih kembar, tapi enggak perlu kemana-mana bareng juga kali.” Shasha sempet down pas dikatain gitu sama kakak kelas. Dia enggak mau sekolah lagi di sana. Langsung kepengen Home Schooling.Mami jelas enggak setuju. Dia ingin putra-putrinya merasakan masa mudanya dengan bahagia. Untungnya, Nenes kasih semangat, kalau di sekolah umum mereka bakal dapetin pacar yang cakep kayak Kakak Rangga di film AADC dan setelah itu, Shasha balik lagi sekolah. Hore...
            Mereka berdua berjalan menuju gedung serbaguna. Mau nemuin best friend forever, sahabat sehidup enggak semati mereka yang lagi latihan karate. Namanya Inayah Nurhasan, biasa dipanggil Inay. Rumahnya di daerah Rajawali yang cukup terkenal. Hampir semua warga sekolah tahu, karena Inay suka naik angkot ataupun damriyang di jendelanya tertulis jurusan Rajawali-Elang. Eh sekarang nama daerah itu agak elit karena tertempel di bus Trans Metro Bandung, lho. Beruntung banget. Inay harus segera berterima kasih sama Bapak Ridwan Kamil.
            Setelah masuk, Shasha dan Nenes liat Inay lagi pasang kuda-kuda dan latihan meninju, menendang, meninju, menendang dan terus gitu-gitu aja sampai Inay lelah dan duduk di lantai. Waktu istirahat Inay itu, Shasha sama Nenes gunakan untuk menghampirinya. Mereka tadi ngeliat dari jarak jauh, sekadar jaga jarak aja. Inay kalau latihan enggak pakai kacamata. Dia kan minus berapa gitu, ya, jadi mereka berdua takut kena tinju gitu.
            “Inay haus?” tanya Shasha.
            Inay melihat kedatangan Shasha sama Nenes dengan kening berkerut. Dia kan enggak pakai kacamata, jadi agak sulit mengenali orang. Lalu setelah mengetahui, dua gadis yang berdiri di depannya adalah sahabatnya, dia masang wajah ingin membunuh.
            “Ya iyalah haus, masa pengen pipis...” Jawab Inay, nadanya ketus banget.
            “Ya udah, ini, Nenes bawain air.” Nenes langsung aja ngasihin tumbler di tangannya ke Inay yang langsung menenggaknya sampai habis.
            “Tumben kalian baik,” nada Inay skeptis, “Ini enggak diracun, kan?”
            “Enggak kok Inay,” Nenes langsung motong. “Mana mungkin ada racunnya, kecuali...” Nenes enggak melanjutkan. Dia malah menatap Shasha seolah memberi kode, menyerahkan hak menjelaskan kepada kakaknya.
            “Kecuali kalau ada yang niat ngeracunin guru satu sekolahan, Inay...” Shasha melanjutkan penjelasan Nenes.
            “Jadi... kalian...” mata Inay melotot.
            “Iya, kami ambil airnya di ruang guru. Enggak apa-apa kok, siapa tau kamu makin pinter.”
            “Enggak ngaruh kali!” Inay mendengus, enggak rela banget kayaknya. “Sudah kuduga.”
            Lalu Shasha sama Nenes mengempaskan tubuhnya ke lantai, ikut-ikutan Inay yang sedang melepas lelah. Gedung serbaguna sudah lengang, enggak ada lagi siswa yang latihan atau sekadar jalan-jalan doang karena pada akhirnya mereka semua sadar, ini bukan mal.
            Shasha sama Nenes sikut-sikutan. Niatan mereka menemui Inay adalah buat curhat. Tadi di kelas enggak sempet karena kalau curhat di kelas, mereka berdua suka enggak sadar mereka curhat ke semua orang, padahal niatan curhatnya cuma ke Inay doang. Mereka lagi-lagi berbicara dengan batinnya, menunjuk siapa yang akan bilang ke Inay.
            Akhirnya, Nenes yang bilang. “Inay, mami mau nikah lagi. Aduh gimana ya nasib kami entar...”
            “Serius?” mata Inay langsung melotot. “Mami mau nikah sama siapa?”
            “Enggak tau. Soalnya mami mah enggak pernah bawa laki-laki ke rumah. Jadi kami bener-bener enggak tau.” Shasha menarik napas, seolah masalah yang dihadapinya sangatlah berat sehingga pemerintah juga harus ikut andil menyelesaikannya.
            “Mmm..” Inay tampak mikir. Bagaimanapun, dia udah kayak tong sampah yang suka mendaur ulang sampahnya secara otomatis. Dia suka langsung ngasih solusi buat si kembar. “Jangan-jangan, mami mau nikah lagi sama perempuan? Aduh ini gawat!” lalu mendapati tatapan si kembar kayak mau membunuh balik, Inay langsung takut dan mulai serius.
Kata Inay, “Ada dua kabar yang harus kalian terima atas rencana mami kalian. Mau enggak mau kalian harus denger, itu mutlak.” Tangannya mengibas-ibas ke wajahnya karena kepanasan. Padahal enggak ngaruh banyak sih.
            Shasha sama Nenes langsung nyimak dengan serius.
            “Kabar pertamanya, kalian harus bersyukur, karena mami kalian masih laku.”
            “Ih, perempuan secantik mami mah enggak mungkin ada yang nolak kali, Inay.” Shasha enggak terima.
            Nenes ikutan. “Iya Inay, mami kan pernah jadi Mojang Bandung dulu. Lagian, bahasa inggrisnya mami lancar banget.”
            “Enggak nyambung deh, Nes jodoh sama bahasa inggris!” Inay langsung sewot lalu memberi kabar selanjutnya. “Nah yang kedua, kalian harus hati-hati. Aduh, ini gimana ya ngomongnya. Aku agak-agak enggak tega...”
            “Ihh... apaan Inay?” Shasha masang wajah penasaran. Nenes juga. Ya, namanya juga anak kembar.
            “Gini, kalian pernah denger cerita kalau ibu tiri itu sangat jahat?”
            “Bawang Putih disiksa sama ibu tirinya dan juga Bawang Merah.” Sahut Nenes langsung keingetan dongeng itu.
            “Putri tidur juga, dia disiksa ibu tirinya.” Inay kasih referensi lain.
            “Sangkuriang juga mau nikahin ibunya.” Nenes kembali kasih referensi yang langsung direspons Inay dengan pelototan.
            “Itu mah enggak nyambung, Nenes!”
            “Terus apa kesimpulan dari obrolannya, Inay?” Shasha yang sejak awal enggak ngerti lalu protes.
            “Jadi gini, kita udah pada tahu, kalau ibu tiri itu jahat. Nah, ibu tiri aja jahat, gimana ayah tiri? Hei, kalian tau kan, ayah itu pemimpin di rumah kita. Jadi, kalian mau apa dipimpin sama orang jahat? Ih, aku mah sih enggak mau.” Premis Inay kayaknya langsung ditelan mentah-mentah oleh Shasha dan Ines.
            Lalu hening...
            “Gimana dong, Kak?” Nenes tanya ke Shasha.
            Shasha Cuma geleng-geleng sambil berkata, “Padahal kita berdua udah setuju. Cuma Kak Gara aja yang enggak. Tapi dia mah mudah dipengaruhi.”
            Inay langsung mencibir sambil membuang pandangan, “Kayak kalian enggak aja...”
            “Apa Inay, kamu ngomong apa barusan?” Shasha mencium aroma kejahatan di diri sahabatnya itu.
            “Oh enggak kok, enggak ngomong apa-apa.” Inay jelas-jelas ngeles. “Jadi, gimana keputusan kalian?”
            Shasha sama Nenes menggeleng barengan.
            Tuh kan labil, bisik Inay dalam hati. “Mending kalian pikir-pikir lagi, deh. Jangan sampai hidup kalian diatur-atur sama orang yang jahat...”
            Shasha dan Nenes lalu mikir.
***
            Shasha sama Nenes masih mikir. Enggak tahu sampai kapan, kalau enggak disadarkan dengan beberapa orang yang masuk gedung serbaguna tempat mereka bertiga duduk-duduk santai kayak di balkon rumah sendiri. Ada lima murid laki-laki yang masih mengenakan celana abu-abu, sedangkan atasannya pake kaus. Ada tiga murid perempuan yang masih lengkap pakai seragam. Dua murid laki-laki bawa gitar. Satu murid perempuan bawa biola. Sisanya, mereka bawa diri masing-masing aja.
            “Eh eh, kayaknya gedungnya mau dipake latihan deh,” Nenes angkat bicara. Merasa diri mereka harus segera hengkang dari sana.
            “Emangnya kenapa?” Inay langsung sewot aja.
            “Iya, kita keluar yuk. Sambil nunggu Mang Adun, kita makan mi ayam dulu di depan.” Shasha sekarang udah punya inisiatif sendiri menghadapi sopirnya yang suka telat jemput itu.
            “Tenang dulu aja, aku masih capek, tau!” bentak Inay, “Lagian, ini kan fasilitas umum, siapa aja boleh diem di sini, asal jangan dibawa ke rumah aja, kan?”
            Enggak mau kena tinju Inay yang sangar, Shasha sama Nenes langsung ngangguk. Agak enggak ikhlas. Tapi bodo ah, Inay enggak peduli. Yang jelas, dia pengen santai-santai aja dulu di sana.
            “KALIAN NGAPAIN MASIH DI SINI?” ucap seseorang dari arah samping.
            Kontan, Inay, Shasha sama Nenes berbalik ke arah suara. Mendapati sosok... aduh, sebutin aja ya, ganteng dengan mata sayu, kulit putih, rambut lurus, alis tebal, hidung mancung, telinga ukuran sedang, lubang hidung bulat sederhana. Dia pakai kaus warna putih dan cocok banget di badannya.
            “Kami mau latihan, dan enggak mau didenger orang lain. Jadi, kalian kalau memang menggemari puitisasi kami, nonton aja di acara Pensi entar. Enggak perlu bayar kok.” Ucap pemuda itu dengan nada sinis, seolah berkata gini, “Kalian enggak bakal mampu kalau ada tiket masuk!”
            Aduh ya, pemuda itu bikin Inay marah. Tangannya udah gatel pengen ninju wajahnya. Lantas dia berdiri, “Eh kamu ngomong apa barusan? Apa maksudnya?” dan tinju Inay langsung melayang, mendarat di pipi pemuda itu.
            Pemuda itu langsung memekik, memegangi pipinya yang kena bogem Inay.
            Melihat itu, Shasha sama Nenes langsung berdiri, memegangi Inay supaya kemarahannya enggak sampai membabi buta. Dan mereka cukup berhasil.
            “Inay, udah, tahan. Kamu enggak mau dipanggil Pak Dadang ke ruang BP, kan?”
            “Bodo, yang penting aku puas. Apa-apaan dia, berani-beraninya ngusir. Enggak tau apa, aku putrinya Bapak Hasan.” Inay mencoba melepas pegangan Shasha sama Nenes.
            “Apa yang kamu lakuin barusan, memukulku?” pemuda itu menatap Inay tajam, tapi lebih ke meringis, sih. Ngilu mungkin.
            “Bukan! Mencium dengan ini,” Inay mengacungkan tinjunya lagi, membuat pemuda itu mundur selangkah.
            Dari arah kumpulan teman-teman pemuda itu, salah seorang berteriak. “Dennis... ada apa?” lalu mereka berlari ke arah Inay, Shasha dan Nenes, dan pemuda itu juga, seolah mereka mau tawuran.
            Tiga lawan delapan, ya tetep kalah tiga lah. Shasha tumben mikir itu, ya? jadi dia milih meminta maaf sama pemuda yang dipanggil Dennis itu. Sekompak mungkin, dia sama Nenes narik tangan Inay supaya keluar dari gedung itu.
“Dasar cewek barbar. Keturunan tarsan kali!” sebelum keluar, Inay sempat dengar pemuda itu menggerutu. Inay masih belum puas, tapi Shasha sama Nenes narik tangannya kayak dia lagi narik sekarung sampah. Dia akhirnya bisa keluar juga. Lalu marahnya berpindah sama si kembar. Tapi buru-buru Shasha sama Nenes traktir dia es cendol. Inay jadi enggak marah lagi, deh.
***
Keterangan:
The Shabanas Family ini adalah tulisan iseng yang akan saya posting setiap saya punya mood buat nulis dan minta Hadi Kentang buat mempostingnya. Spoiler dikit, di episode 3 dengan judul “Keluarga Tante Ning” kamu bakal balik lagi ke rumah Mami, ketiga anaknya, mamang Akim dan Miw-miw yang masih ngebet ngawinin kucing anggora punya tetangga. Kata Dennis, keluarga mereka aneh banget. Enggak setuju lah, Pak Pida menikahi perempuan dengan keluarga aneh macam mereka! Apalagi, di rumah itu ada kucing setengah anggora yang... Dennis takut sama kucing. Geli dan jijik! Enyah kamu kucing bandel!




[1] Pemilik onlensop yang suka nge-PINK!!! Mami di jam dua belas malem buat nawarin koleksi baju-baju terbarunya yang lucu-lucu. Konon, Ci Oliv udah mulai menjaring Shasha sama Nenes juga lho, buat beli koleksi pakaian dia. Katanya, buat si kembar mah cocok baju-baju ala Korea dan mereka langsung tergoda aja buat beli. Tapi sumpah, itu PING!!! Di jam segitu suka ganggu banget deh. Kalau dia nge-PING!!! Negara, udah pasti Negara bakal delkon dia. Tapi mereka mah enggak temenan.

Sabtu, 10 Mei 2014

The Shabanas Family


Me, My brorther, My Uncle, My Pet and My Parents...



Episode 1
Rencana Pernikahan Mami
            Pada suatu malam di salah satu rumah dua lantai dengan enam kamar di sebuah perumahan bernama Perumahan Batu Nunggal, Bandung, Jawa Barat, Indonesia, Bumi.
Shasha dan Nenes saling berpelukan, tapi enggak mesra karena mereka hanyalah sepasang adik kakak yang pernah berbagi tali pusar bareng di dalam kandungan maminya. Kedua gadis berusia enam belas tahun itu berpelukan sambil menangis sesenggukan, seolah mereka sekeluarga besok akan ikutan gabung dalampeperangan which is merekahanya dibekaliperalatan bambu runcing dan ketapelseadanya.
            Belum lama banget sih mereka nangis, baru tiga puluh menit setelah maminya mengabarkan, bahwa dia akan segera menikah lagi. Mengisi lembaran baru untuk hidupnya yang hampa setelah ditinggal papinya yang meninggal di medan perang. Intinya sih, maminya itu kesepian. Seenggaknya, Negara yang bisa menyimpulkan hal itu, karena semenjak maminya mengutarakan keinginan yang selama ini dipendamnya, pemuda yang kuliah di jurusan listrik itu hanya terdiam, menundukkan kepalanya dan sesekali membalas Blackberry Messanger yang masuk di iPad mininya. Eh, sesekali dia cengar-cengir juga pas ada chat yang masuk.
            “Kok kalian malah nangis...?” Mami bertanya heran, satu alis tatonya terangkat dengan cantik.
            “Mami kok tega, ngekhianatin Papi gitu aja sih?” protes Nenes dengan nada merajuk, mewakili pertanyaan kakaknya yang masih sesenggukan dalam pelukannya.
            Mendengar itu, mami malah tersenyum lebar. “Bukannya gitu, sayang,” lalu diam, memikirkan kalimat yang layak diucapkan. “Kita semua tinggal di rumah ini ibarat berada pada sebuah kapal yang sedang berlayar. Untuk sampai di tempat tujuan berlabuh, kita membutuhkan kapten di dalamnya.” Penjelasan mami sangat diplomatis.
           “Serius, Mi? Jadi, sebenarnya rumah kita ini kapal?” kali ini Shasha yang berkomentar dan sebelum itu, dia segera mengusap air mata plus ingusnya dengan punggung tangan.
            “Ish, Kak Shasha apaan sih, enggak nyambung banget!” Nenes menyikut perut Shasha. Sebenarnya, dia ingin sekali mencubitnya pakai capit kepiting. Tapi urung karena mereka berdua alergi dengan makhluk yang cara jalannya abnormal itu.
            “Iya kan, Mi?” Shashaenggak mengacuhkan protes adiknya, dia malah mempertegas pertanyaannya pada maminya yang masih tersenyum selebar daun kelor.
            “Maksud Mami, kita perlu pemimpin laki-laki di rumah ini.” Jelas mami, masih dengan nada yang sangat tenang, setenang air di dalam galon.
            Shasha menatap Nenes dengan ekspresi kecewa karena bayangannya terempas begitu saja, jadi rumahnya bukan kapal sungguhan!Enggak disangka, Nenes juga memperlihatkan hal serupa. Dia berkata lirih ke telinga Shasha, “Yah..., kirain bener ya, Kak. Nenes pikir, kita bakal kayak di komik One Piece gitu.L
            “Eh itu komik kan punya si Mamang rental, belum kamu balikin?”
            Nenes menggeleng, takut dimarahi kakaknya karena sesuai janji, komik yang Shasha pinjam dan dibaca bersama, maka Nenes yang harus balikin ke mamang rental. Kalau Nenes yang minjem, berarti Shasha yang ngembaliin. Nah, kalau dua-duanya yang minjem, mereka suka iseng nyuruh mamang pengantar galon yang ngembaliin ke mamang rental. Tapi ngomong-ngomong, ini hari ke sembilan dari jadwal pengembalian komik. Jadi, siap-siap aja Shasha kena marah si mamang tukang rental komik yang punya rambut plontos kayak Samuel Rizal itu. Eh, enggak marah juga, deng, paling kena tegur sama denda aja sembilan ribu perak.
            Diskusi si kembar sifat itu seketika terhenti ketika mendapati abang mereka yang dikiranya autis karena begitu asik dengan gadget di tangannya, lagi BBM-an sama pacar baru kayaknya, mulai bersuara. Tapi sebelumnya berdeham-deham dulu, karena ada dahak mungkin di tenggorokannya.
            “Di rumah kita kan ada Mamang, Mi.” Ucap Negara dengan nada parau. Dia sama sekali enggak mengangkat wajahnya yang cukup digemari geng para jerawat itu. “Mamang juga laki-laki, kan?” nadanya protes, tapi protesnya enggak sampai sebrutal para pendemo di gedung sate.
            Mami menghela napas berat, seolah beban terberat dalam hidupnya selain telah menjadi single parent selama satu setengah tahun, adalah memiliki putra putri seperti mereka. Beberapa kali dia beristighfar, semoga apa yang menimpa anak-anaknya itu bukan sebuah kutukan dari Tuhan gara-gara selama hamil, dia jarang banget mengucapkan, ‘amit-amit’ dan ‘ampun paralun’ sambil ngelus perut buncitnya.
            “Bukan gitu, Gara, maksudnya Mami—” ucapan mami kepotong gara-gara dari arah dapur, Akim datang dengan membawa piring di tangannya.
            “Ladies and gentleman... kita hentikan talkshow kita dan jeda dengan beberapa gorengan Midog berikut.” Mamang Akim menyimpan piring di tangannya yang berisi dengan beberapa potong Midog[1] yang dipotong ala pizza dan juga seiprit saus pedas di sisi piring. Setelah itu, dia ikutan duduk di sofa. Tangannya enggak bisa diam banget. Dia langsung bergelirya, mengambil satu potong Midog dengan tangan kanannya dan tangan yang lain mengambil remot di sampingnya, menyalakan televisi plasma dan langsung memilih saluran gosip.
           Mami sih maklum aja dengan kelakuan adik tirinya yang berasal dari kampung Bayongbong, Garut itu. sebenarnya kadang dia muak dengan kelakuannya, tapi ketika melihat ibunya mamang yang merupakan ibu tirinya mami yang meminta dia merawat mamang semana dia menyayangi ‘Miw-miw’, kucing peranakan anggora yang merupakan hewan peliharaan mereka. Ya udahlah, mami juga sayang mamang kok, kayaknya.
            “Mamang, kapan skripsinya selesai?” Mami tiba-tiba aja keingetan soal itu dan langsung menanyakannya. Mamang ini sudah masuk tahun ke tujuh kuliahnya, tapi belum ada tanda-tanda dia bakal wisuda. Meskipun adik tiri, ya tetap aja dia merasa terbebani dengan amanat ibu tirinya di Garut yang selalu mengirim chocodot dan brodol setiap awal bulan. Kalau mau marah, mami suka luruh sama sogokan dua makanan itu. Marah suka enggak jadi, deh.
            “Mmm... mmm... mmm...” Mamang Akimtergeragap. Lalu, dia mengalihkan kembali tatapannya ke layar televisi. “Aduh itu info si vokalis band yang liburan bareng janda ke Bali. Ah, ini pasti agenda setting, supaya bisa ngangkat nama janda itu. Padahal dia udah enggak beken lagi.” Celotehnya, seolah perkataan mami di telinganya hanya sebuah teriakan dari tukang sayur langganan yang berjualan pada saat adzan zuhur udah lewat lima belas menit.
            Kali ini mami mengembuskan napas, hampir menyerah menghadapi orang-orang yang tinggal di rumahnya itu. Tapi, sejak lahir, dia sudah ditakdirkan untuk menjadi perempuan setrong. Buktinya, selama ini dia bisa menjalani kehidupannya, mengurus tiga anak, satu adik tiri, satu pembantu, satu tukang kebun, satu sopir dan satu kucing setengah anggora yang suka kelayaban mencari kucing betina milik tetangga.
            “Pokoknya, Gara enggak setuju, Mi... apapun yang terjadi.” Setelah mengucapkan itu, Negara berdiri dan meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya di ruang atas.
            Mami menatap kepergian putra pertamanya yang agak keras kepala seperti mendiang papinya. Begitu juga Shasha dan Nenes yang ikutan menatap abangnya. Kalau mamang Akim sih masih mantengin gosip vocalis band dan janda cantik di infotainment.
            Mendapati raut sedih di wajah mami, Shasha dan Nenes saling memandang, dan enggak lama kemudian mereka saling mengangguk. Anak kembar itu seolah berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang cuma dia dan anak-anak kembar sedunia yang tahu. Mereka berdua lalu beranjak, menghampiri mami dan memeluknya seraya berkata dengan kompak.
            “Kita setuju, kok Mi... asal Mami seneng, kita juga bakal seneng.”
            Mami sungguh bahagia luar biasa, senang dunia akhirat karena pada akhirnya dia punya kubu yang mendukung dan pastinya bakalan jadi tim sukses. Kedua tangannya terangkat, mengusap lembut rambut panjang kedua putrinya yang sekarang sudah tumbuh besar, sudah enggak kutuan lagi dan mereka sudah naik kelas XI di SMA negeri favorit di Bandung.
            “Eh Mi, itu Abang Gara balik lagi,” bisik Nenes ke telinga maminya.
            “Iya, kayaknya Abang juga setuju deh.” Shasha ikutan berbisik dan ketiganya sudah siap berpelukan bareng-bareng.
            Negara yang mendengar bisik-bisik adiknya langsung menyela, “Eh apa coba, orang cuma mau ngambil iPad doang.” Benar, diacuma mengambil iPad-nya yang tertinggal di sofa, lalu kembali berbalik menuju kamarnya buat ngelanjutin chattingbareng pacarnya yang merupakan anak kelas sebelah itu. Enggak tahu sih namanya siapa, dan enggak perlu tahu juga lah ya.
            Ketiga orang itu pun menatapnya dengan kecewa.
            “Eh Ceuceu coba lihat, ini ada berita tentang pengacara yang mulutnya ember itu mau bercerai... katanya, sekarang mereka lagi masalahin harta gono-gini.”
            Sejak lahir, Mamang Akim emang udah ditakdirkan salah, kayaknya. Dia adalah orang yang salah, dan tinggal dengan orang-orang yang salah juga. Dan atas kesalahannya itu, tiga orang perempuan di dekatnya kini menatapnya dengan tajam, kayak Miw-Miw yang pengen dilepas karena sudah enggak kuat pengen ngawiniwinin kucing anggora punya tetangga.
***
Keterangan:
The Shabanas Family ini adalah tulisan iseng yang akan saya posting setiap saya punya mood buat nulis dan minta Hadi Kentang buat mempostingnya. Spoiler dikit, di episode selanjutnya, Shasha dan Nenes bakal curhat soal maminya ke Inay yang merupakan sahabatnya di sekolah. Kira-kira, gimana ya respons Inay akan rencana pernikahan maminya si kembar itu? Ah, kayaknya enggak penting juga sih tahu responsnya si Inay. Karena di espisode 2 dengan judul ‘Ketemu Dennis’, kamu bakal ketemu cowok ganteng yang jago main gitar dan bikin puisi. Sesuai namanya, cowok itu berkarakter agak peDENdam dan sedikit siNIS.



[1] Sejenis makanan halal, terbuat dari mie yang dicampur dengan telur, lalu digoreng. Biasanya disantap pada saat akhir bulan, karena cuma dua bahan makanan itu yang tersedia di dalam kulkas yang sudah agak bau-bau gitu. Paling pas ditemani dengan air putih aja.

Prolog dalam Beautiful Regret


Prolog
MALAM itu langit tanpa pendar bintang. Benar-benar gelap dan sunyi. Salju yang turun sore tadi masih menyisakan rasa dingin yang menyecapi kulit. Meski sudah memakai jaket wol yang cukup tebal, tetap saja, pemuda yang sedang duduk di bangku selter bus itu terpaksa menautkan kedua telapak tangannya. Lalu digosok-gosokkannya untuk mengusir rasa dingin yang mendera.
Malam semakin larut, tetapi pemuda itu masih termangu di tempat itu. Entah kenapa, bus yang ditunggunya tak kunjung datang. Apakah tumpukan salju menghalangi laju bus? Rasanya tidak mungkin karena salju turun tak begitu lebat. Tetapi bagaimanapun juga, ia harus menunggu bus terakhir ketimbang harus menggunakan taksi yang bayarannya bisa berkali-kali lipat.
Udara dingin semakin menyerang tubuhnya, membuatnya sedikit tergigil. Ia merutuki dirinya sendiri karena tak mendengarkan saran ibunya untuk membawa jaket cadangan. Kali ini ia tak bisa lagi melawan rasa dinginnya. Kemudian dimasukkan kedua tangannya pada saku mantel. Meski pikirannya mulai tidak fokus, tetapi telinganya masih bisa menangkap sebuah suara.
Suara teriakan seorang perempuan yang meminta tolong!
Pemuda itu berdiri. Kepalanya menoleh ke arah kiri dan kanan,mencari sumber suara itu berasal.
Seorang gadis berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dua orang pria yang tengah mengganggunya. Keduanya terlihat sedang mabuk. Aroma alkohol menguar dari mulut mereka. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman dua orang bertubuh besar itu selain berteriak.
Sekuat tenaga gadis itu melakukannya, berharap siapa pun yang masih berkeliaran di area selter bus segera menolongnya. Meski rasanya mustahil karena tempat tersebut sudah sangat sepi, tetapi harapan masih tertumpu di benaknya.
Menyaksikan hal tersebut, pemuda itu kalap. Setengah berlari, ia keluar. Mencari sesuatu di sekitarnya yang bisa digunakan untuk melawan kedua pria itu. Ditemukannya potongan kayu yang tergeletak tak jauh dari sana. Bersama pikirannya yang kalut, ia mengambilnya, dan...
“Bukkk!!!”
Satu pukulan langsung melayang pada pundak pria berperawakan tinggi besar yang sedang mendekapkan tangannya pada bahu gadis itu. Seketika pria itu meraba pundaknya, dan kesempatan itu digunakan gadis itu untuk melepaskan diri. Pukulan kedua dan ketiga pun dilayangkan hingga tubuh besarnya langsung terhuyung dan terjatuh menahan sakit.
Rupanya pemuda itu lengah. Pria satunya yang bertubuh pendek namun berbadan besar langsung mendaratkanpukulan ke wajahnya, membuatnya sedikit terpental. Namun ia kembali siaga dan balik memukul lawannya dengan sembarang. Memukul ke perut, wajah dan bagian tubuh lainnya. Karena mereka sedang mabuk, maka tidak banyak perlawanan. Beberapa saat setelah banyak pukulan dilayangkan dengan sembarang, kedua pria itu pun tersungkur pada longgokan salju di tepi jalan.
Pemuda itu berjalan menghampiri gadis yang masih terlihat syok. Ia mengulurkan tangan, dan dengan gemetar, gadis itu meraihnya. Keduanya kini dalam posisi saling berhadapan. Pemuda itu sempat mencium aroma alkohol yang menyengat dari mulut gadis di hadapannya, kemudian pemuda itu mengajaknya berlari meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di selter tempat tadi ia menunggu bus, tubuh gadis itu seketika ambruk.
“Ya1! Agassi2... apa yang terjadi denganmu?” pemuda itu tampak panik. Ia langsung mendudukkan gadis itu di bangku.
Pemuda itu turut duduk di sebelahnya. Napasnya terengah-engah. Butir keringat mengalir dari keningnya. Setidaknya, melawan dua pria tadi bisa membuat tubuhnya yang gigil sedikit mengeluarkan keringat dingin. Namun yang menjadi permasalahannya kini adalah, apa yang harus ia lakukan terhadap gadis yang tengah tertidur di bangku itu.
Ia berpikir keras.
Tanpa sadar, ia mencermati wajah gadis di sampingnya.
1. Kata seruan
2. Nona
“Sepertinya, aku pernah melihatnya. Tapi di mana...?” gumamnya. Tetapi ia segera menepisnya. Pikirnya, itu bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal tersebut.
Ya! Bangun...!” berkali-kali ia menepuk-nepuk pipi gadis itu, namun tak membuahkan hasil.
Gadis itu tetap tak sadarkan diri. “Sepertinya gadis ini terlalu banyak mengonsumsi alkohol!” tebaknya.
Karena tidak mungkin meninggalkannya sendirian di selter yang sudah sepi, sebersit ide muncul di benaknya. Tidak ada pilihan lain baginya, selain membawa gadis itu ke rumahnya.
Tidak lama kemudian, seberkas cahaya menyilaukan pandangannya. Bersamaan dengan suara deru mesin yang mendekat. Pemuda itu tahu bahwa bus yang ditunggunya telah datang. Dengan sedikit kepayahan, ia menggandeng gadis itu dan membawanya masuk ke dalam bus. Kebetulan di dalam tidak banyak penumpang. Hanya terlihat seorang kakek di kursi depan dan dua laki-laki yang tampak asik dengan perbincangan mereka.
Sambil memikirkan apa yang akan ia lakukan nanti, pemuda itu menyandarkan kepalanya pada sandaran di belakangnya. Seiring bus yang melaju meninggalkan selter, matanya mulai merayapi kota Seoul yang sudah mulai sepi.
❀❀❀


 Ket: Prolog dalam Beautiful Regret

Blurb Beatiful Regret

Mengenangmu serupa menyesap luka yang manis...
Han Seon Mi jengah dengan obesesi Han Tae Ra yang hanya menjadikannya mesin penghasil uang. Pikirnya, dengan kabur ia bisa terbebas dari sangkar emas yang diciptakan kakaknya itu, lalu mendapatkan kehidupan yang diinginkannya. Namun dugaannya salah! Setelah malam itu, ia terjebak dalam situasi pelik yang mengharuskannya mengambil keputusan.
Kesalahan terbesar yang membuat seumur hidupnya dirundung penyesalan.
Shin Yong Hee tak tahu kalau niat tulusnya malam itu akan berbuntut pahit. Pemuda itu gagal mengikuti pameran lukisan yang selama ini dicita-citakannya, kemudian Drop Out dari kampusnya. Tidak berhenti di sana. Gadis yang telah diselamatkannya itu mengandaskan impiannya, menghancurkannya dengan fitnah yang keji!
Anehnya, tak sedikit pun Shin Yong Hee menyesalinya. Malah, kebenciannya pada Han Seon Mi perlahan luruh dan mulai tergantikan dengan perasaan lain. Mungkinkah ia telah jatuh cinta pada gadis itu?
❀❀❀
Tidak akan lama lagi, saya akan berjumpa dengan bentuk utuh novel ini setiap saya jenuh dengan rutinitas dan memilih melarikan diri ke toko buku. Menurut keterangan editor via chatting di Blackberry Messanger, Beautiful Regret sudah tersebar di toko buku mulai tanggal 19 Mei 2014. Itu kabar yang membahagiakan, dan patut dirayakan.
            Perjuangan saya selama ini cukup terbayar. Sebelum masuk tahap proof-reading, beberapa kali saya dihubungi Mbak Anin Patrajuangga yang menawarkan beberapa alternatif kaver. Terhitung ada tiga kaver yang dia sodorkan dan saya adalah orang yang tidak bisa memilih. Maka saya mulai vote ke beberapa teman. Saya belum berani publish ke media sosial, maka hanya dilakukan dari obrolan demi obrolan di media chatting.
            Dari ketiga alternatif yang saya tawarkan, tidak ada satu pun yang unggul. Semuanya sama rata, menambah kebingungan di benak saya. Kemudian saya membicarakan kembali dengan editor dan pada akhirnya, saya dibebaskan dalam pengonsepan kaver. Editor langsung menunjuk Jang Shan yang sebelumnya juga pernah membuat kaver untuk novel-novel terbitan Grasindo.Dan... Jang Shan adalah teman baik saya, itu kabar baiknya. Dan chat via Whatsapp dan BBM pun dipenuhi dengan gambar dan gagasan-gagasan saya yang barangkali bikin Jang Shan ingin meninju saya.
            Awalnya, saya ingin membuat tiga konsep untuk diajukan ke editor, namun ditengah kesibukkan Jang Shan dan deadline novel yang sudah dikejar jadwal terbit, maka Jang Shan hanya berhasil membuat satu saja dan, puji syukur, saya cukup puas.
            Selain itu, saya membuat blurb novel ini dengan sangat sederhana, bukan kalimat-kalimat puitis yang kadang tidak ada kaitannya dengan isi. Saya tidak sedang menjual pepesan kosong. Harapannya, semoga empat paragraf di atas bisa mewakili isi novel dan tentu saja, menarik minat calon pembaca.
            Baiklah, kita hentikan keluh kesahnya dan mari rayakan dengan satu kata...

Cheers...

@dionsagirang