Selasa, 16 September 2014

Selamat Berpisah, Selamat Bertemu di Satu Tahun Kemudian

Dan, hening... Percakapan kita kali ini didominasi dengan saling diam. Menjadi kaku. Entah sejak kapan, aku tidak tahu tepatnya. Seingatku, sejak kita tak lagi meniti di jalan yang sama. Kamu telah menentukan pilihan, dan aku tidak menjadi pilihanmu. Kamu tengah bersama dengan yang lain, sementara aku masih sendiri. Aku hanya mencoba melangkah ke jalan lain, mengikuti pilihanmu. Terpaksa. Mau tidak mau. Namun, selalu tidak berhasil. Melupakanmu akan menjadi nomor ke sekian, menghindarimu adalah hal tersulit. Barusan aku sedang berbicara kenyataan, terserah kamu mau memandang bagaimana. Atau, barangkali kamu memiliki jawaban lain? Kamu lalu mengiyakan dengan tegas. Mengatakan bahwa semua hal yang terjadi berawal dari beberapa buah kesalahan. Kesalahanku, kesalahanmu dan kesalahan kita. Kita, menyadari itu berbarengan. Aku tidak mencoba memungkiri, aku tidak akan mengelak atau memberikan pembelaan atas kenyataan itu. Kuakui. Dan kemudian aku berterima kasih kepada masa lalu, kepada sang waktu. Dia memang ajaib. Dia datang dan mengubah banyak hal di dunia ini. Perlahan dia mengubah cara pikirku, serta merta mengobati luka yang tak kunjung sembuh. Setidaknya, waktu juga tidak memberikan penghakiman tentang pilihanmu. Benar atau salah, itu tidak penting lagi. Hanya saja, aku memiliki pandangan yang tidak sama lagi tentang kita. Aku dan kamu. Hah, apa? “Aku tidak menyangka bahwa ini akan terjadi,” katamu memecah hening. Suaramu serak dan agak tersendat. Sebelumnya kamu bilang sedang sakit tenggorokan, dan sudah diobati, tetapi masih belum juga sembuh. Sejenak pikiran nyelenehku menggumam, ‘Diobati saja tidak cepat-cepat sembuh, apa kabar lukaku?’ tapi tidak sampai kusuarakan. Tidak penting juga. Oh ya, kalau saja aku bisa meramalkan itu, tentu saja aku akan mencegahnya. Sekuat tenaga, aku akan berusaha. Bila perlu, aku akan mengorbankan yang lainnya, demi kita. Memangnya, di dunia ini siapa orang yang siap dengan perpisahan? Termasuk aku. Kujawab dengan suara serupa, “Aku juga,” tetapi suaraku tidak serak. Tenggorokanku tidak sedang sakit, hanya bagian yang lain saja yang sakit. Sudah lama, tidak perlu dibahas. Tidak penting juga. Kemudian aku mengulas senyum. Kamu bisa melihat senyumku yang kecut kalau saja barusan kamu menatapku, sayangnya tidak. Sebenarnya, selama ini yang lebih tak kusangka lagi adalah, aku bisa menjalani hidupku sendiri, tanpa kamu. Sejauh ini, aku bisa menghadapinya. Sendirian. Hei, tepuk tangan dong! Lalu kata-kata kembali hilang tertelan hening. Cukup lama, hingga yang kudengar saat itu hanya embusan napasmu yang berat. Aku tidak bisa lagi berkata-kata. Kamu juga begitu. Kita seolah kehabisan bahan obrolan. Tapi kemudian aku berpikir, banyak hal yang ingin kutanyakan, tetapi kemudian aku sadar. Kita telah berbeda. Tak ada lagi kita. Yang tertinggal sekarang hanya kamu, dan aku; Seorang gadis yang memilih jalannya sendiri, dan seorang pemuda yang mengikuti pilihan gadis itu untuk menempuh jalannya yang lain. Oke, jujur saja, aku tidak nyaman jika obrolan yang langka ini hanya diisi dengan hening. Aku terus berpikir, menyinkronkan otakku dengan lidahku. Tapi tidak bisa. Dalam keadaan normal, mungkin aku bisa berceloteh, melontarkan humor-humor yang garing—dan biasanya kamu tertawa karena itu. Karena garing, maksudku—Kadang aku bisa memberikan petuah-petuah yang hanya kau tanggapi dengan sebuah anggukan manis, atau cerita-cerita tidak penting tapi menjadi penting untuk sekadar membumihanguskan keadaan saling diam. Aku telah kehilangan kemampuanku untuk berkata-kata, atau barangkali karena tubuhku yang lelah. Kamu juga begitu, tidak? Atau, kamu malah punya jawaban lain, aku tidak tahu. Sudah kubilang, aku bukan peramal. Tetapi aku bisa menebak. Oke, kutebak, barangkali inilah yang membedakan obrolan-obrolan aku dan kamu di bulan-bulan yang lalu. Sebuah perbedaan yang membuat ketidakbersamaan kita semakin kentara. Tidak ada pilihan. Mau sampai kapan kita akan terbelenggu oleh kebisuan? Aku tidak mau. Obrolan ini... sangat berharga. Maka, aku bercerita tentang perasaanku. Juga tentang orang-orang yang dengan gamblangnya menyerukan, “Obat patah hati adalah dengan mencari hati yang baru!” Hei, memangnya jatuh cinta itu ibarat mendatangi kedai makanan cepat saji kala sedang lapar, hah? Kamu datang, kamu duduk, kamu memesan, kemudian makanan dihidangkan, dan kamu makan dengan lahap hingga perutmu kenyang. Sesederhana itu, kamu yakin? Kamu memilih tidak menjawab. Maka, kulanjutkan lagi ceritaku. Tentang ketidakmampuanku untuk melupa. Ketidakbisaanku melepaskan dan ketidakbecusanku membuka hati yang baru. Tidak sepertimu, bukan? “Tidak seperti itu,” tukasmu dengan cepat. “Lalu, bagaimana cerita yang sebenarnya?” kutanya kamu, mungkin nadaku barusan seperti seorang penyelidik. Maafkan aku, sedikit terpancing soalnya. Kamu kemudian bercerita. Tentang separuh hatimu yang lain. Kamu membaginya seolah hatimu adalah secangkir minuman hangat di tengah hujan yang mengguyur. Aku sebenarnya tidak bertanya, tidak mau menanyakan, tepatnya. Aku sudah menemukan jawabannya sendiri. Sangat gamblang. Bodoh saja bila aku tidak bisa tahu. Apa yang menjadi ketidakbisaanku, malah menjadi hal yang mudah untukmu. Kamu melakukan semua itu dengan baik. Lalu? Tidak ada lagi suara. Hening kembali merasuki percakapan kita. Setelah itu, kamu bertanya tentang hal yang tidak kusuka darimu. Aku tidak ingin menjawab, sebenarnya. Segala hal yang ada dalam dirimu, aku suka. Aku tidak mungkin mengatakan hal minus dalam dirimu, karena aku menerima semua yang ada dalam dirimu, tanpa iming-iming lain. Karena kupikir, seperti itulah kerja cinta. Jika sebelumnya kamu berpikir bahwa cinta membutakan, aku malah percaya bahwa cinta akan menyinari ruang yang gelap, menuntun langkah kita pada jalan yang tepat. Ini yang paling kusayangkan. Kita tidak lagi berada pada jalan yang sama. Aku tidak dapat menerangimu, begitu juga sebaliknya. Tetapi kemudian aku memilih mengatakannya, melanggar janjiku. Kudengar embusan napasmu setelah itu, dan tidak ada lagi suara lain. “Jam berapa sekarang?” kutanya kamu dengan suara berat. Sedikit berbasa-basi, sekadar mengusir hening. Aku sudah tahu pukul berapa saat itu. Ayam milik tetanggaku sudah berkokok tiga jam yang lalu. “Setengah empat,” jawabmu dengan suara berat yang sama. Sudah saatnya obrolan antara aku dan kamu berakhir. Dini hari, tidak baik kalau didengar orang. Padahal, aku pura-pura. Aku tidak mengantuk, aku tidak sedang ingin tidur, apalagi dengan bayang-bayangmu yang tidak serta merta enyah dari pikiranku. Suaramu yang lirih yang sampai detik ini masih bisa membuat dadaku bergetar tidak karuan itu masih terngiang-ngiang saja di telingaku. “Selamat tidur,” ucapmu. “Selamat tidur juga,” ucapku, “Selamat ulang tahun, omong-omong. Sampai berjumpa lagi di ulang tahun berikutnya.” Aku mengakhiri dan setelah itu, perasaanku menjadi tenang, sekaligus semakin tidak karuan. Aku tidak sedang jatuh cinta, aku juga tidak sedang patah hati. Aku tidak sedang apa-apa, seharusnya. Hanya saja, aku sedang merasakan dua hal yang bertolak belakang secara bersamaan. Aku senang, sekaligus sedih. Bagaimana denganmu? -04 Sep. 14 Pada malam yang sudah sangat-sangat larut.

Minggu, 01 Juni 2014

Diwawancarai Imajiner oleh Hadi Kentang




        Ceritanya, pada libur akhir pekan yang cukup panjang, saya memutuskan untuk rehat dari segala aktivitas, kemudian memilih Pantai Kuta untuk menenangkan diri sambil riset kecil-kecilan buat naskah novel yang sedang ditulis, eh diedit maksudnya. Mau percaya atau tidak, yang jelas saya tidak sedang serius, lho.
        Jadi, saat itu saya sedang berjemur di tepi pantai, menikmati cahaya matahari yang lagi terik-teriknya. Intinya sih lagi tan gratisan. Tetapi tiba-tiba saja saya diganggu oleh suara dehaman seseorang yang tidak hanya satu dua kali, lebih lah. Ada empat kali. Lalu, saya membuka mata dan mendapati kawan lama saya yang sekarang sudah beralih profesi menjadi wartawan infotainment. Dari tivi dan acara apa, dia malah merahasiakannya. Saya sempat ragu, jangan-jangan ini sejenis liputan investigasi, which is, suara saya nanti jadi mirip orang bengek dan wajah saya juga kena sensor.

Minggu, 18 Mei 2014

The Shabanas Family


Episode 2
Meet Dennis
The Shabanas Family
Me, My brorther, My Uncle, My Pet and My Parents...

            Sekolahnya Shasha sama Nenes itu letaknya berada di antara dua jalan, eh tiga kali ya. Tapi katanya salah...! Ada empat, kira-kira. Aduh rada bingung juga menjelaskannya. Jadi, sekolahnya itu dikitari jalanan besar yang cukup lengang, di tepinya terdapat pohon besar nan menjulang tinggi. Membuat daerah sekitar jadi sejuk.
Bangunan yang berdiri megah itu sudah agak tua, tapi belum setua Albert Einstein. Kalau kata mamang yang jualan es cingcau di sekitar, gedung bertingkat itu dibangun pas jaman Belanda. Dan menurut bibi penjual lotek di dekat taman, bangunannya agak-agak horor gitu. Tapi ya udahlah, Shasha dan Nenes sekolahnya kan cuma siang hari, itu pun sampe jam 12 teng.Jadi kepala sekolah ngasih jaminan enggak bakalan serem, deh.
            Buktinya, Shasha sama Nenes betah-betah aja. Sebelumnya, Negara juga alumnus SMA sana. Tapi, dia hampir aja enggak mengecap predikat alumnus, artinya, masih betah jadi dedengkot sekolah sana. Jadi begini ceritanya... dulu, menjelang pelaksanaan ujian nasional, Negara terkena DBD dan harus dilarikan ke rumah sakit. Pada saat itu, mami syok banget. Lebih syok ketika dia enggak berhasil dapetin baju lucu yang sudah di PO di Ci Oliv[1] gara-gara kelupaan transfer.
            Pas dikabari Negara pingsan sebelum mengisi soal-soal UN, mami langsung ngibrit aja dari kantornya di jalan Asia Afrika. Dengan wajah yang pucat pasi kayak habis dibanjur formalin sebaskom, mami langsung masuk kelas dan berniat bantu ngebuletin lembar jawaban Negara. Tapi saat itu panitia langsung menggiring mami buat masuk ke ruang UKS. Karena panik, dia langsung aja bawa Negara ke rumah sakit dan selama dua minggu Negara enggak bisa melakukan aktivitas apa-apa. Sekadar maen game di iPad pun dia minta tolong ke suster supaya bisa masuk ke season selanjutnya.
            Lalu, perjuangan mami selanjutnya adalah, bagaimana supaya Negara bisa ikut ujian nasional. Dia kerja keras banget, lho... kesian ya mami. Tapi syukur, karena setelah berdiskusi dengan kepala sekolah, pihak sekolah memberikan kesempatan kepada Negara untuk ikut ujian susulan dan syukur lagi, dia bisa lulus. Ya, meski nilainya enggak memuaskan, mami sih udah enggak berharap. Asal Negara lulus dan dia enggak dicibir ibu-ibu komplek saat arisan mingguan, mami mah udah bersyukur banget pokoknya lah....
***
            Siang itu, Shasha sama Nenes jalan bergandengan. Mereka enggak merasa risih lagi dengan tatapan teman-temannya yang memandangnya agak sinis, dulu malah pernah ada yang komen gini juga lho, “Kembar sih kembar, tapi enggak perlu kemana-mana bareng juga kali.” Shasha sempet down pas dikatain gitu sama kakak kelas. Dia enggak mau sekolah lagi di sana. Langsung kepengen Home Schooling.Mami jelas enggak setuju. Dia ingin putra-putrinya merasakan masa mudanya dengan bahagia. Untungnya, Nenes kasih semangat, kalau di sekolah umum mereka bakal dapetin pacar yang cakep kayak Kakak Rangga di film AADC dan setelah itu, Shasha balik lagi sekolah. Hore...
            Mereka berdua berjalan menuju gedung serbaguna. Mau nemuin best friend forever, sahabat sehidup enggak semati mereka yang lagi latihan karate. Namanya Inayah Nurhasan, biasa dipanggil Inay. Rumahnya di daerah Rajawali yang cukup terkenal. Hampir semua warga sekolah tahu, karena Inay suka naik angkot ataupun damriyang di jendelanya tertulis jurusan Rajawali-Elang. Eh sekarang nama daerah itu agak elit karena tertempel di bus Trans Metro Bandung, lho. Beruntung banget. Inay harus segera berterima kasih sama Bapak Ridwan Kamil.
            Setelah masuk, Shasha dan Nenes liat Inay lagi pasang kuda-kuda dan latihan meninju, menendang, meninju, menendang dan terus gitu-gitu aja sampai Inay lelah dan duduk di lantai. Waktu istirahat Inay itu, Shasha sama Nenes gunakan untuk menghampirinya. Mereka tadi ngeliat dari jarak jauh, sekadar jaga jarak aja. Inay kalau latihan enggak pakai kacamata. Dia kan minus berapa gitu, ya, jadi mereka berdua takut kena tinju gitu.
            “Inay haus?” tanya Shasha.
            Inay melihat kedatangan Shasha sama Nenes dengan kening berkerut. Dia kan enggak pakai kacamata, jadi agak sulit mengenali orang. Lalu setelah mengetahui, dua gadis yang berdiri di depannya adalah sahabatnya, dia masang wajah ingin membunuh.
            “Ya iyalah haus, masa pengen pipis...” Jawab Inay, nadanya ketus banget.
            “Ya udah, ini, Nenes bawain air.” Nenes langsung aja ngasihin tumbler di tangannya ke Inay yang langsung menenggaknya sampai habis.
            “Tumben kalian baik,” nada Inay skeptis, “Ini enggak diracun, kan?”
            “Enggak kok Inay,” Nenes langsung motong. “Mana mungkin ada racunnya, kecuali...” Nenes enggak melanjutkan. Dia malah menatap Shasha seolah memberi kode, menyerahkan hak menjelaskan kepada kakaknya.
            “Kecuali kalau ada yang niat ngeracunin guru satu sekolahan, Inay...” Shasha melanjutkan penjelasan Nenes.
            “Jadi... kalian...” mata Inay melotot.
            “Iya, kami ambil airnya di ruang guru. Enggak apa-apa kok, siapa tau kamu makin pinter.”
            “Enggak ngaruh kali!” Inay mendengus, enggak rela banget kayaknya. “Sudah kuduga.”
            Lalu Shasha sama Nenes mengempaskan tubuhnya ke lantai, ikut-ikutan Inay yang sedang melepas lelah. Gedung serbaguna sudah lengang, enggak ada lagi siswa yang latihan atau sekadar jalan-jalan doang karena pada akhirnya mereka semua sadar, ini bukan mal.
            Shasha sama Nenes sikut-sikutan. Niatan mereka menemui Inay adalah buat curhat. Tadi di kelas enggak sempet karena kalau curhat di kelas, mereka berdua suka enggak sadar mereka curhat ke semua orang, padahal niatan curhatnya cuma ke Inay doang. Mereka lagi-lagi berbicara dengan batinnya, menunjuk siapa yang akan bilang ke Inay.
            Akhirnya, Nenes yang bilang. “Inay, mami mau nikah lagi. Aduh gimana ya nasib kami entar...”
            “Serius?” mata Inay langsung melotot. “Mami mau nikah sama siapa?”
            “Enggak tau. Soalnya mami mah enggak pernah bawa laki-laki ke rumah. Jadi kami bener-bener enggak tau.” Shasha menarik napas, seolah masalah yang dihadapinya sangatlah berat sehingga pemerintah juga harus ikut andil menyelesaikannya.
            “Mmm..” Inay tampak mikir. Bagaimanapun, dia udah kayak tong sampah yang suka mendaur ulang sampahnya secara otomatis. Dia suka langsung ngasih solusi buat si kembar. “Jangan-jangan, mami mau nikah lagi sama perempuan? Aduh ini gawat!” lalu mendapati tatapan si kembar kayak mau membunuh balik, Inay langsung takut dan mulai serius.
Kata Inay, “Ada dua kabar yang harus kalian terima atas rencana mami kalian. Mau enggak mau kalian harus denger, itu mutlak.” Tangannya mengibas-ibas ke wajahnya karena kepanasan. Padahal enggak ngaruh banyak sih.
            Shasha sama Nenes langsung nyimak dengan serius.
            “Kabar pertamanya, kalian harus bersyukur, karena mami kalian masih laku.”
            “Ih, perempuan secantik mami mah enggak mungkin ada yang nolak kali, Inay.” Shasha enggak terima.
            Nenes ikutan. “Iya Inay, mami kan pernah jadi Mojang Bandung dulu. Lagian, bahasa inggrisnya mami lancar banget.”
            “Enggak nyambung deh, Nes jodoh sama bahasa inggris!” Inay langsung sewot lalu memberi kabar selanjutnya. “Nah yang kedua, kalian harus hati-hati. Aduh, ini gimana ya ngomongnya. Aku agak-agak enggak tega...”
            “Ihh... apaan Inay?” Shasha masang wajah penasaran. Nenes juga. Ya, namanya juga anak kembar.
            “Gini, kalian pernah denger cerita kalau ibu tiri itu sangat jahat?”
            “Bawang Putih disiksa sama ibu tirinya dan juga Bawang Merah.” Sahut Nenes langsung keingetan dongeng itu.
            “Putri tidur juga, dia disiksa ibu tirinya.” Inay kasih referensi lain.
            “Sangkuriang juga mau nikahin ibunya.” Nenes kembali kasih referensi yang langsung direspons Inay dengan pelototan.
            “Itu mah enggak nyambung, Nenes!”
            “Terus apa kesimpulan dari obrolannya, Inay?” Shasha yang sejak awal enggak ngerti lalu protes.
            “Jadi gini, kita udah pada tahu, kalau ibu tiri itu jahat. Nah, ibu tiri aja jahat, gimana ayah tiri? Hei, kalian tau kan, ayah itu pemimpin di rumah kita. Jadi, kalian mau apa dipimpin sama orang jahat? Ih, aku mah sih enggak mau.” Premis Inay kayaknya langsung ditelan mentah-mentah oleh Shasha dan Ines.
            Lalu hening...
            “Gimana dong, Kak?” Nenes tanya ke Shasha.
            Shasha Cuma geleng-geleng sambil berkata, “Padahal kita berdua udah setuju. Cuma Kak Gara aja yang enggak. Tapi dia mah mudah dipengaruhi.”
            Inay langsung mencibir sambil membuang pandangan, “Kayak kalian enggak aja...”
            “Apa Inay, kamu ngomong apa barusan?” Shasha mencium aroma kejahatan di diri sahabatnya itu.
            “Oh enggak kok, enggak ngomong apa-apa.” Inay jelas-jelas ngeles. “Jadi, gimana keputusan kalian?”
            Shasha sama Nenes menggeleng barengan.
            Tuh kan labil, bisik Inay dalam hati. “Mending kalian pikir-pikir lagi, deh. Jangan sampai hidup kalian diatur-atur sama orang yang jahat...”
            Shasha dan Nenes lalu mikir.
***
            Shasha sama Nenes masih mikir. Enggak tahu sampai kapan, kalau enggak disadarkan dengan beberapa orang yang masuk gedung serbaguna tempat mereka bertiga duduk-duduk santai kayak di balkon rumah sendiri. Ada lima murid laki-laki yang masih mengenakan celana abu-abu, sedangkan atasannya pake kaus. Ada tiga murid perempuan yang masih lengkap pakai seragam. Dua murid laki-laki bawa gitar. Satu murid perempuan bawa biola. Sisanya, mereka bawa diri masing-masing aja.
            “Eh eh, kayaknya gedungnya mau dipake latihan deh,” Nenes angkat bicara. Merasa diri mereka harus segera hengkang dari sana.
            “Emangnya kenapa?” Inay langsung sewot aja.
            “Iya, kita keluar yuk. Sambil nunggu Mang Adun, kita makan mi ayam dulu di depan.” Shasha sekarang udah punya inisiatif sendiri menghadapi sopirnya yang suka telat jemput itu.
            “Tenang dulu aja, aku masih capek, tau!” bentak Inay, “Lagian, ini kan fasilitas umum, siapa aja boleh diem di sini, asal jangan dibawa ke rumah aja, kan?”
            Enggak mau kena tinju Inay yang sangar, Shasha sama Nenes langsung ngangguk. Agak enggak ikhlas. Tapi bodo ah, Inay enggak peduli. Yang jelas, dia pengen santai-santai aja dulu di sana.
            “KALIAN NGAPAIN MASIH DI SINI?” ucap seseorang dari arah samping.
            Kontan, Inay, Shasha sama Nenes berbalik ke arah suara. Mendapati sosok... aduh, sebutin aja ya, ganteng dengan mata sayu, kulit putih, rambut lurus, alis tebal, hidung mancung, telinga ukuran sedang, lubang hidung bulat sederhana. Dia pakai kaus warna putih dan cocok banget di badannya.
            “Kami mau latihan, dan enggak mau didenger orang lain. Jadi, kalian kalau memang menggemari puitisasi kami, nonton aja di acara Pensi entar. Enggak perlu bayar kok.” Ucap pemuda itu dengan nada sinis, seolah berkata gini, “Kalian enggak bakal mampu kalau ada tiket masuk!”
            Aduh ya, pemuda itu bikin Inay marah. Tangannya udah gatel pengen ninju wajahnya. Lantas dia berdiri, “Eh kamu ngomong apa barusan? Apa maksudnya?” dan tinju Inay langsung melayang, mendarat di pipi pemuda itu.
            Pemuda itu langsung memekik, memegangi pipinya yang kena bogem Inay.
            Melihat itu, Shasha sama Nenes langsung berdiri, memegangi Inay supaya kemarahannya enggak sampai membabi buta. Dan mereka cukup berhasil.
            “Inay, udah, tahan. Kamu enggak mau dipanggil Pak Dadang ke ruang BP, kan?”
            “Bodo, yang penting aku puas. Apa-apaan dia, berani-beraninya ngusir. Enggak tau apa, aku putrinya Bapak Hasan.” Inay mencoba melepas pegangan Shasha sama Nenes.
            “Apa yang kamu lakuin barusan, memukulku?” pemuda itu menatap Inay tajam, tapi lebih ke meringis, sih. Ngilu mungkin.
            “Bukan! Mencium dengan ini,” Inay mengacungkan tinjunya lagi, membuat pemuda itu mundur selangkah.
            Dari arah kumpulan teman-teman pemuda itu, salah seorang berteriak. “Dennis... ada apa?” lalu mereka berlari ke arah Inay, Shasha dan Nenes, dan pemuda itu juga, seolah mereka mau tawuran.
            Tiga lawan delapan, ya tetep kalah tiga lah. Shasha tumben mikir itu, ya? jadi dia milih meminta maaf sama pemuda yang dipanggil Dennis itu. Sekompak mungkin, dia sama Nenes narik tangan Inay supaya keluar dari gedung itu.
“Dasar cewek barbar. Keturunan tarsan kali!” sebelum keluar, Inay sempat dengar pemuda itu menggerutu. Inay masih belum puas, tapi Shasha sama Nenes narik tangannya kayak dia lagi narik sekarung sampah. Dia akhirnya bisa keluar juga. Lalu marahnya berpindah sama si kembar. Tapi buru-buru Shasha sama Nenes traktir dia es cendol. Inay jadi enggak marah lagi, deh.
***
Keterangan:
The Shabanas Family ini adalah tulisan iseng yang akan saya posting setiap saya punya mood buat nulis dan minta Hadi Kentang buat mempostingnya. Spoiler dikit, di episode 3 dengan judul “Keluarga Tante Ning” kamu bakal balik lagi ke rumah Mami, ketiga anaknya, mamang Akim dan Miw-miw yang masih ngebet ngawinin kucing anggora punya tetangga. Kata Dennis, keluarga mereka aneh banget. Enggak setuju lah, Pak Pida menikahi perempuan dengan keluarga aneh macam mereka! Apalagi, di rumah itu ada kucing setengah anggora yang... Dennis takut sama kucing. Geli dan jijik! Enyah kamu kucing bandel!




[1] Pemilik onlensop yang suka nge-PINK!!! Mami di jam dua belas malem buat nawarin koleksi baju-baju terbarunya yang lucu-lucu. Konon, Ci Oliv udah mulai menjaring Shasha sama Nenes juga lho, buat beli koleksi pakaian dia. Katanya, buat si kembar mah cocok baju-baju ala Korea dan mereka langsung tergoda aja buat beli. Tapi sumpah, itu PING!!! Di jam segitu suka ganggu banget deh. Kalau dia nge-PING!!! Negara, udah pasti Negara bakal delkon dia. Tapi mereka mah enggak temenan.

Sabtu, 10 Mei 2014

The Shabanas Family


Me, My brorther, My Uncle, My Pet and My Parents...



Episode 1
Rencana Pernikahan Mami
            Pada suatu malam di salah satu rumah dua lantai dengan enam kamar di sebuah perumahan bernama Perumahan Batu Nunggal, Bandung, Jawa Barat, Indonesia, Bumi.
Shasha dan Nenes saling berpelukan, tapi enggak mesra karena mereka hanyalah sepasang adik kakak yang pernah berbagi tali pusar bareng di dalam kandungan maminya. Kedua gadis berusia enam belas tahun itu berpelukan sambil menangis sesenggukan, seolah mereka sekeluarga besok akan ikutan gabung dalampeperangan which is merekahanya dibekaliperalatan bambu runcing dan ketapelseadanya.
            Belum lama banget sih mereka nangis, baru tiga puluh menit setelah maminya mengabarkan, bahwa dia akan segera menikah lagi. Mengisi lembaran baru untuk hidupnya yang hampa setelah ditinggal papinya yang meninggal di medan perang. Intinya sih, maminya itu kesepian. Seenggaknya, Negara yang bisa menyimpulkan hal itu, karena semenjak maminya mengutarakan keinginan yang selama ini dipendamnya, pemuda yang kuliah di jurusan listrik itu hanya terdiam, menundukkan kepalanya dan sesekali membalas Blackberry Messanger yang masuk di iPad mininya. Eh, sesekali dia cengar-cengir juga pas ada chat yang masuk.
            “Kok kalian malah nangis...?” Mami bertanya heran, satu alis tatonya terangkat dengan cantik.
            “Mami kok tega, ngekhianatin Papi gitu aja sih?” protes Nenes dengan nada merajuk, mewakili pertanyaan kakaknya yang masih sesenggukan dalam pelukannya.
            Mendengar itu, mami malah tersenyum lebar. “Bukannya gitu, sayang,” lalu diam, memikirkan kalimat yang layak diucapkan. “Kita semua tinggal di rumah ini ibarat berada pada sebuah kapal yang sedang berlayar. Untuk sampai di tempat tujuan berlabuh, kita membutuhkan kapten di dalamnya.” Penjelasan mami sangat diplomatis.
           “Serius, Mi? Jadi, sebenarnya rumah kita ini kapal?” kali ini Shasha yang berkomentar dan sebelum itu, dia segera mengusap air mata plus ingusnya dengan punggung tangan.
            “Ish, Kak Shasha apaan sih, enggak nyambung banget!” Nenes menyikut perut Shasha. Sebenarnya, dia ingin sekali mencubitnya pakai capit kepiting. Tapi urung karena mereka berdua alergi dengan makhluk yang cara jalannya abnormal itu.
            “Iya kan, Mi?” Shashaenggak mengacuhkan protes adiknya, dia malah mempertegas pertanyaannya pada maminya yang masih tersenyum selebar daun kelor.
            “Maksud Mami, kita perlu pemimpin laki-laki di rumah ini.” Jelas mami, masih dengan nada yang sangat tenang, setenang air di dalam galon.
            Shasha menatap Nenes dengan ekspresi kecewa karena bayangannya terempas begitu saja, jadi rumahnya bukan kapal sungguhan!Enggak disangka, Nenes juga memperlihatkan hal serupa. Dia berkata lirih ke telinga Shasha, “Yah..., kirain bener ya, Kak. Nenes pikir, kita bakal kayak di komik One Piece gitu.L
            “Eh itu komik kan punya si Mamang rental, belum kamu balikin?”
            Nenes menggeleng, takut dimarahi kakaknya karena sesuai janji, komik yang Shasha pinjam dan dibaca bersama, maka Nenes yang harus balikin ke mamang rental. Kalau Nenes yang minjem, berarti Shasha yang ngembaliin. Nah, kalau dua-duanya yang minjem, mereka suka iseng nyuruh mamang pengantar galon yang ngembaliin ke mamang rental. Tapi ngomong-ngomong, ini hari ke sembilan dari jadwal pengembalian komik. Jadi, siap-siap aja Shasha kena marah si mamang tukang rental komik yang punya rambut plontos kayak Samuel Rizal itu. Eh, enggak marah juga, deng, paling kena tegur sama denda aja sembilan ribu perak.
            Diskusi si kembar sifat itu seketika terhenti ketika mendapati abang mereka yang dikiranya autis karena begitu asik dengan gadget di tangannya, lagi BBM-an sama pacar baru kayaknya, mulai bersuara. Tapi sebelumnya berdeham-deham dulu, karena ada dahak mungkin di tenggorokannya.
            “Di rumah kita kan ada Mamang, Mi.” Ucap Negara dengan nada parau. Dia sama sekali enggak mengangkat wajahnya yang cukup digemari geng para jerawat itu. “Mamang juga laki-laki, kan?” nadanya protes, tapi protesnya enggak sampai sebrutal para pendemo di gedung sate.
            Mami menghela napas berat, seolah beban terberat dalam hidupnya selain telah menjadi single parent selama satu setengah tahun, adalah memiliki putra putri seperti mereka. Beberapa kali dia beristighfar, semoga apa yang menimpa anak-anaknya itu bukan sebuah kutukan dari Tuhan gara-gara selama hamil, dia jarang banget mengucapkan, ‘amit-amit’ dan ‘ampun paralun’ sambil ngelus perut buncitnya.
            “Bukan gitu, Gara, maksudnya Mami—” ucapan mami kepotong gara-gara dari arah dapur, Akim datang dengan membawa piring di tangannya.
            “Ladies and gentleman... kita hentikan talkshow kita dan jeda dengan beberapa gorengan Midog berikut.” Mamang Akim menyimpan piring di tangannya yang berisi dengan beberapa potong Midog[1] yang dipotong ala pizza dan juga seiprit saus pedas di sisi piring. Setelah itu, dia ikutan duduk di sofa. Tangannya enggak bisa diam banget. Dia langsung bergelirya, mengambil satu potong Midog dengan tangan kanannya dan tangan yang lain mengambil remot di sampingnya, menyalakan televisi plasma dan langsung memilih saluran gosip.
           Mami sih maklum aja dengan kelakuan adik tirinya yang berasal dari kampung Bayongbong, Garut itu. sebenarnya kadang dia muak dengan kelakuannya, tapi ketika melihat ibunya mamang yang merupakan ibu tirinya mami yang meminta dia merawat mamang semana dia menyayangi ‘Miw-miw’, kucing peranakan anggora yang merupakan hewan peliharaan mereka. Ya udahlah, mami juga sayang mamang kok, kayaknya.
            “Mamang, kapan skripsinya selesai?” Mami tiba-tiba aja keingetan soal itu dan langsung menanyakannya. Mamang ini sudah masuk tahun ke tujuh kuliahnya, tapi belum ada tanda-tanda dia bakal wisuda. Meskipun adik tiri, ya tetap aja dia merasa terbebani dengan amanat ibu tirinya di Garut yang selalu mengirim chocodot dan brodol setiap awal bulan. Kalau mau marah, mami suka luruh sama sogokan dua makanan itu. Marah suka enggak jadi, deh.
            “Mmm... mmm... mmm...” Mamang Akimtergeragap. Lalu, dia mengalihkan kembali tatapannya ke layar televisi. “Aduh itu info si vokalis band yang liburan bareng janda ke Bali. Ah, ini pasti agenda setting, supaya bisa ngangkat nama janda itu. Padahal dia udah enggak beken lagi.” Celotehnya, seolah perkataan mami di telinganya hanya sebuah teriakan dari tukang sayur langganan yang berjualan pada saat adzan zuhur udah lewat lima belas menit.
            Kali ini mami mengembuskan napas, hampir menyerah menghadapi orang-orang yang tinggal di rumahnya itu. Tapi, sejak lahir, dia sudah ditakdirkan untuk menjadi perempuan setrong. Buktinya, selama ini dia bisa menjalani kehidupannya, mengurus tiga anak, satu adik tiri, satu pembantu, satu tukang kebun, satu sopir dan satu kucing setengah anggora yang suka kelayaban mencari kucing betina milik tetangga.
            “Pokoknya, Gara enggak setuju, Mi... apapun yang terjadi.” Setelah mengucapkan itu, Negara berdiri dan meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya di ruang atas.
            Mami menatap kepergian putra pertamanya yang agak keras kepala seperti mendiang papinya. Begitu juga Shasha dan Nenes yang ikutan menatap abangnya. Kalau mamang Akim sih masih mantengin gosip vocalis band dan janda cantik di infotainment.
            Mendapati raut sedih di wajah mami, Shasha dan Nenes saling memandang, dan enggak lama kemudian mereka saling mengangguk. Anak kembar itu seolah berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang cuma dia dan anak-anak kembar sedunia yang tahu. Mereka berdua lalu beranjak, menghampiri mami dan memeluknya seraya berkata dengan kompak.
            “Kita setuju, kok Mi... asal Mami seneng, kita juga bakal seneng.”
            Mami sungguh bahagia luar biasa, senang dunia akhirat karena pada akhirnya dia punya kubu yang mendukung dan pastinya bakalan jadi tim sukses. Kedua tangannya terangkat, mengusap lembut rambut panjang kedua putrinya yang sekarang sudah tumbuh besar, sudah enggak kutuan lagi dan mereka sudah naik kelas XI di SMA negeri favorit di Bandung.
            “Eh Mi, itu Abang Gara balik lagi,” bisik Nenes ke telinga maminya.
            “Iya, kayaknya Abang juga setuju deh.” Shasha ikutan berbisik dan ketiganya sudah siap berpelukan bareng-bareng.
            Negara yang mendengar bisik-bisik adiknya langsung menyela, “Eh apa coba, orang cuma mau ngambil iPad doang.” Benar, diacuma mengambil iPad-nya yang tertinggal di sofa, lalu kembali berbalik menuju kamarnya buat ngelanjutin chattingbareng pacarnya yang merupakan anak kelas sebelah itu. Enggak tahu sih namanya siapa, dan enggak perlu tahu juga lah ya.
            Ketiga orang itu pun menatapnya dengan kecewa.
            “Eh Ceuceu coba lihat, ini ada berita tentang pengacara yang mulutnya ember itu mau bercerai... katanya, sekarang mereka lagi masalahin harta gono-gini.”
            Sejak lahir, Mamang Akim emang udah ditakdirkan salah, kayaknya. Dia adalah orang yang salah, dan tinggal dengan orang-orang yang salah juga. Dan atas kesalahannya itu, tiga orang perempuan di dekatnya kini menatapnya dengan tajam, kayak Miw-Miw yang pengen dilepas karena sudah enggak kuat pengen ngawiniwinin kucing anggora punya tetangga.
***
Keterangan:
The Shabanas Family ini adalah tulisan iseng yang akan saya posting setiap saya punya mood buat nulis dan minta Hadi Kentang buat mempostingnya. Spoiler dikit, di episode selanjutnya, Shasha dan Nenes bakal curhat soal maminya ke Inay yang merupakan sahabatnya di sekolah. Kira-kira, gimana ya respons Inay akan rencana pernikahan maminya si kembar itu? Ah, kayaknya enggak penting juga sih tahu responsnya si Inay. Karena di espisode 2 dengan judul ‘Ketemu Dennis’, kamu bakal ketemu cowok ganteng yang jago main gitar dan bikin puisi. Sesuai namanya, cowok itu berkarakter agak peDENdam dan sedikit siNIS.



[1] Sejenis makanan halal, terbuat dari mie yang dicampur dengan telur, lalu digoreng. Biasanya disantap pada saat akhir bulan, karena cuma dua bahan makanan itu yang tersedia di dalam kulkas yang sudah agak bau-bau gitu. Paling pas ditemani dengan air putih aja.

Prolog dalam Beautiful Regret


Prolog
MALAM itu langit tanpa pendar bintang. Benar-benar gelap dan sunyi. Salju yang turun sore tadi masih menyisakan rasa dingin yang menyecapi kulit. Meski sudah memakai jaket wol yang cukup tebal, tetap saja, pemuda yang sedang duduk di bangku selter bus itu terpaksa menautkan kedua telapak tangannya. Lalu digosok-gosokkannya untuk mengusir rasa dingin yang mendera.
Malam semakin larut, tetapi pemuda itu masih termangu di tempat itu. Entah kenapa, bus yang ditunggunya tak kunjung datang. Apakah tumpukan salju menghalangi laju bus? Rasanya tidak mungkin karena salju turun tak begitu lebat. Tetapi bagaimanapun juga, ia harus menunggu bus terakhir ketimbang harus menggunakan taksi yang bayarannya bisa berkali-kali lipat.
Udara dingin semakin menyerang tubuhnya, membuatnya sedikit tergigil. Ia merutuki dirinya sendiri karena tak mendengarkan saran ibunya untuk membawa jaket cadangan. Kali ini ia tak bisa lagi melawan rasa dinginnya. Kemudian dimasukkan kedua tangannya pada saku mantel. Meski pikirannya mulai tidak fokus, tetapi telinganya masih bisa menangkap sebuah suara.
Suara teriakan seorang perempuan yang meminta tolong!
Pemuda itu berdiri. Kepalanya menoleh ke arah kiri dan kanan,mencari sumber suara itu berasal.
Seorang gadis berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dua orang pria yang tengah mengganggunya. Keduanya terlihat sedang mabuk. Aroma alkohol menguar dari mulut mereka. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman dua orang bertubuh besar itu selain berteriak.
Sekuat tenaga gadis itu melakukannya, berharap siapa pun yang masih berkeliaran di area selter bus segera menolongnya. Meski rasanya mustahil karena tempat tersebut sudah sangat sepi, tetapi harapan masih tertumpu di benaknya.
Menyaksikan hal tersebut, pemuda itu kalap. Setengah berlari, ia keluar. Mencari sesuatu di sekitarnya yang bisa digunakan untuk melawan kedua pria itu. Ditemukannya potongan kayu yang tergeletak tak jauh dari sana. Bersama pikirannya yang kalut, ia mengambilnya, dan...
“Bukkk!!!”
Satu pukulan langsung melayang pada pundak pria berperawakan tinggi besar yang sedang mendekapkan tangannya pada bahu gadis itu. Seketika pria itu meraba pundaknya, dan kesempatan itu digunakan gadis itu untuk melepaskan diri. Pukulan kedua dan ketiga pun dilayangkan hingga tubuh besarnya langsung terhuyung dan terjatuh menahan sakit.
Rupanya pemuda itu lengah. Pria satunya yang bertubuh pendek namun berbadan besar langsung mendaratkanpukulan ke wajahnya, membuatnya sedikit terpental. Namun ia kembali siaga dan balik memukul lawannya dengan sembarang. Memukul ke perut, wajah dan bagian tubuh lainnya. Karena mereka sedang mabuk, maka tidak banyak perlawanan. Beberapa saat setelah banyak pukulan dilayangkan dengan sembarang, kedua pria itu pun tersungkur pada longgokan salju di tepi jalan.
Pemuda itu berjalan menghampiri gadis yang masih terlihat syok. Ia mengulurkan tangan, dan dengan gemetar, gadis itu meraihnya. Keduanya kini dalam posisi saling berhadapan. Pemuda itu sempat mencium aroma alkohol yang menyengat dari mulut gadis di hadapannya, kemudian pemuda itu mengajaknya berlari meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di selter tempat tadi ia menunggu bus, tubuh gadis itu seketika ambruk.
“Ya1! Agassi2... apa yang terjadi denganmu?” pemuda itu tampak panik. Ia langsung mendudukkan gadis itu di bangku.
Pemuda itu turut duduk di sebelahnya. Napasnya terengah-engah. Butir keringat mengalir dari keningnya. Setidaknya, melawan dua pria tadi bisa membuat tubuhnya yang gigil sedikit mengeluarkan keringat dingin. Namun yang menjadi permasalahannya kini adalah, apa yang harus ia lakukan terhadap gadis yang tengah tertidur di bangku itu.
Ia berpikir keras.
Tanpa sadar, ia mencermati wajah gadis di sampingnya.
1. Kata seruan
2. Nona
“Sepertinya, aku pernah melihatnya. Tapi di mana...?” gumamnya. Tetapi ia segera menepisnya. Pikirnya, itu bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal tersebut.
Ya! Bangun...!” berkali-kali ia menepuk-nepuk pipi gadis itu, namun tak membuahkan hasil.
Gadis itu tetap tak sadarkan diri. “Sepertinya gadis ini terlalu banyak mengonsumsi alkohol!” tebaknya.
Karena tidak mungkin meninggalkannya sendirian di selter yang sudah sepi, sebersit ide muncul di benaknya. Tidak ada pilihan lain baginya, selain membawa gadis itu ke rumahnya.
Tidak lama kemudian, seberkas cahaya menyilaukan pandangannya. Bersamaan dengan suara deru mesin yang mendekat. Pemuda itu tahu bahwa bus yang ditunggunya telah datang. Dengan sedikit kepayahan, ia menggandeng gadis itu dan membawanya masuk ke dalam bus. Kebetulan di dalam tidak banyak penumpang. Hanya terlihat seorang kakek di kursi depan dan dua laki-laki yang tampak asik dengan perbincangan mereka.
Sambil memikirkan apa yang akan ia lakukan nanti, pemuda itu menyandarkan kepalanya pada sandaran di belakangnya. Seiring bus yang melaju meninggalkan selter, matanya mulai merayapi kota Seoul yang sudah mulai sepi.
❀❀❀


 Ket: Prolog dalam Beautiful Regret

Blurb Beatiful Regret

Mengenangmu serupa menyesap luka yang manis...
Han Seon Mi jengah dengan obesesi Han Tae Ra yang hanya menjadikannya mesin penghasil uang. Pikirnya, dengan kabur ia bisa terbebas dari sangkar emas yang diciptakan kakaknya itu, lalu mendapatkan kehidupan yang diinginkannya. Namun dugaannya salah! Setelah malam itu, ia terjebak dalam situasi pelik yang mengharuskannya mengambil keputusan.
Kesalahan terbesar yang membuat seumur hidupnya dirundung penyesalan.
Shin Yong Hee tak tahu kalau niat tulusnya malam itu akan berbuntut pahit. Pemuda itu gagal mengikuti pameran lukisan yang selama ini dicita-citakannya, kemudian Drop Out dari kampusnya. Tidak berhenti di sana. Gadis yang telah diselamatkannya itu mengandaskan impiannya, menghancurkannya dengan fitnah yang keji!
Anehnya, tak sedikit pun Shin Yong Hee menyesalinya. Malah, kebenciannya pada Han Seon Mi perlahan luruh dan mulai tergantikan dengan perasaan lain. Mungkinkah ia telah jatuh cinta pada gadis itu?
❀❀❀
Tidak akan lama lagi, saya akan berjumpa dengan bentuk utuh novel ini setiap saya jenuh dengan rutinitas dan memilih melarikan diri ke toko buku. Menurut keterangan editor via chatting di Blackberry Messanger, Beautiful Regret sudah tersebar di toko buku mulai tanggal 19 Mei 2014. Itu kabar yang membahagiakan, dan patut dirayakan.
            Perjuangan saya selama ini cukup terbayar. Sebelum masuk tahap proof-reading, beberapa kali saya dihubungi Mbak Anin Patrajuangga yang menawarkan beberapa alternatif kaver. Terhitung ada tiga kaver yang dia sodorkan dan saya adalah orang yang tidak bisa memilih. Maka saya mulai vote ke beberapa teman. Saya belum berani publish ke media sosial, maka hanya dilakukan dari obrolan demi obrolan di media chatting.
            Dari ketiga alternatif yang saya tawarkan, tidak ada satu pun yang unggul. Semuanya sama rata, menambah kebingungan di benak saya. Kemudian saya membicarakan kembali dengan editor dan pada akhirnya, saya dibebaskan dalam pengonsepan kaver. Editor langsung menunjuk Jang Shan yang sebelumnya juga pernah membuat kaver untuk novel-novel terbitan Grasindo.Dan... Jang Shan adalah teman baik saya, itu kabar baiknya. Dan chat via Whatsapp dan BBM pun dipenuhi dengan gambar dan gagasan-gagasan saya yang barangkali bikin Jang Shan ingin meninju saya.
            Awalnya, saya ingin membuat tiga konsep untuk diajukan ke editor, namun ditengah kesibukkan Jang Shan dan deadline novel yang sudah dikejar jadwal terbit, maka Jang Shan hanya berhasil membuat satu saja dan, puji syukur, saya cukup puas.
            Selain itu, saya membuat blurb novel ini dengan sangat sederhana, bukan kalimat-kalimat puitis yang kadang tidak ada kaitannya dengan isi. Saya tidak sedang menjual pepesan kosong. Harapannya, semoga empat paragraf di atas bisa mewakili isi novel dan tentu saja, menarik minat calon pembaca.
            Baiklah, kita hentikan keluh kesahnya dan mari rayakan dengan satu kata...

Cheers...

@dionsagirang


Rabu, 30 April 2014

Di Balik Pandang ‘Si Biru Muda Pudar’




Awal tahun 2013, saya dihadapkan pada euforia penyambutan dua novel terbaru saya yang akan terbit di dua penerbit berbeda. Painful Love hanya tinggal menunggu naik cetak sementara yang ke-3 sudah hampir masuk tahap editing. Sebelumnya, saya mengedit ulang, mengajukan beberapa alternatif blurb yang eyecatching, tentunya, dan tinggal menunggu kabar selanjutnya.
                Tetapi apa yang terjadi, saya berubah pikiran. Saya menyadari betul, kesempurnaan tidak bisa kita raih, tetapi kepuasan...? Saya percaya, kita bisa mendapatkan tahapannya. Saya tidak puas dengan naskah yang awalnya saya beri judul ‘Pendar’ itu. Kemungkinan untuk terbit pada tahun itu saya hempaskan. Setelah berpikir secara matang dan meminta saran beberapa teman, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengirim email kepada editor, dengan alasan ingin ‘memperbaikinya’, lantas saya menarik kembali naskah saya tersebut dan... editor mengijinkan, puji syukur, meski sedikit disesalkan, “Padahal naskah sudah masuk tahap editing.” Katanya.
            Dan setelah itu, saya tidak tahu harus melakukan apa. Naskah Pendar saya simpan dulu, saya disibukkan dengan premis-premis baru yang tak sedikit pun saya matangkan. Selama hampir dua bulan saya duduk di depan laptop tanpa juntrungan. Kemudian samar-samar, saya mendengar percakapan ayah saya dengan Jatnik-abang saya-yang sedikit menyadarkan saya. ‘Moro Julang Ngaleupaskeun Peusing’ Kalimat itu bukan sejenis mantra, tetapi peribahasa sunda yang mengartikan, “Melepaskan sesuatu yang sudah pasti, untuk sesuatu yang tidak pasti.” Saya diskak mat oleh perkataan ayah saya itu.
            Tetapi saya menguatkan diri, saya punya alasan. Ingin naskah saya lebih baik, kenapa tidak? Maka saya mulai menulis ulang Pendar dengan POV orang pertama. Saya berhasil menuliskan lima bab pertama, dan kemudian saya dihubungi editor Grasindo untuk menuliskan naskah ‘Beautiful Regret’ yang sebelumnya berupa outline. Dan mau tidak mau, saya menanggalkan ‘Pendar’ sejenak dan kemudian memfokuskan diri untuk menulis naskah romance berlatar Korea Selatan itu sampai awal desember. Setelah selesai tahap firstreading dan editing, saya segera mengirimkannya ke editor.
            Saya bisa bernapas dengan lega setelah itu. Satu minggu sebelum Natal, saya mulai mematangkan beberapa premis dan mulai mengundi naskah mana yang akan saya tulis berikutnya. Namun saya berlaku curang terhadap diri saya sendiri. Karena pada saat itu, saya tidak memilih naskah undian. Saya membulatkan tekad untuk melanjutkan menulis Pendar. Waktu itu saya berpikir, menuliskannya pada saat itu, atau tidak sama sekali. Pada beberapa hal, kita memang harus tegas dengan diri sendiri, bukan?
            Oke, dari lima bab itu, saya kembali merombaknya. Pendar akan jemu jika ceritanya dikisahkan dari sudut pandang ‘Dillan’ saja. Maka saya kembali mengganti POV ke semula. Saya merombak dan menambahkan banyak bagian untuk naskah Young Adult saya ini dan setelah menikmati liburan-hiking ke gunung tertinggi di Garut-saya mulai menuliskan kisah Dillan, Jeff, Yos, Hannah dan segala kemelutnya.
            Perkembangannya cukup pesat. Terhitung, tiga bulan kurang lebih saya menuliskannya dan... kau tahu, saya menuliskannya hingga 29 bab dari yang awalnya 20 bab. Bagi saya itu serupakegilaan. Saya takut menuliskan sesuatu yang tak penting, tetapi jika dihilangkan, saya takut banyak hal yang hilang. Sementara ini, saya mendiamkan dan mulai menyebarkan naskah ini ke beberapa pembaca pertama saya dengan harapan akan mendapat banyak masukan dari mereka. Dan sekarang, sembari nge-proofreader naskah ‘Beautiful Regret’ yang rencananya akan terbit bulan Mei, saya sedang mengeditnya.
Selama perjalanan menulis, judul berganti menjadi All that Matters. Bagi saya, ini judul yang paling tepat, karena kerumitan konflik yang dialami banyak tokoh dalam naskah ini. Baik itu Dillan, Jeff, Yos ataupun Hannah memiliki bagian yang membuat cerita saling berhubungan. Tolong, jangan anggap ini cerita remaja tentang cinta segitiga, segiempat atau segi-lainnya. Meski tebakanmu hampir mendekati, tetapi inti dari ceritanya bukan terletak di sana. Percayalah....
Drama keluarga menjadi latar cerita ini. Di postingan sebelumnya saya mengatakan, saya menulis apa yang saya suka. Sementara saya sangat menyukai hal-hal tentang keluarga. Dan konflik awal yang saya sajikan sangat klise. Tentang perselingkuhan. Menurut saya, ini bagian yang menarik karena dalam naskah remaja yang saya bidik ini, tidak hanya diceritakan dari sudut pandang anak, tetapi juga orangtua. Karena saya pikir, dalam kasus perceraian, bukan hanya anak yang menjadi korban, tetapi orangtua sendiri adalah korban. Mereka sama-sama korban dalam sudut pandang yang berbeda, tentunya.
Saya tidak tahu naskah ini akan sampai kapan selesai edit, karena saya merasa belum puas dan belum puas. Tetapi saya ada rencana membawa outline dan sinopsisnya terlebih dulu untuk dikonsultasikan dengan editor. Semoga naskah yang paling saya sukai ini akan segera menemui jodohnya, bisa segera berubah wujud dalam bentuk lembar dengan aroma kertas yang khas dan beralih ke tanganmu. Iya, kamu... J

Cheers

Dion Sagirang