Minggu, 01 Juni 2014

Diwawancarai Imajiner oleh Hadi Kentang




        Ceritanya, pada libur akhir pekan yang cukup panjang, saya memutuskan untuk rehat dari segala aktivitas, kemudian memilih Pantai Kuta untuk menenangkan diri sambil riset kecil-kecilan buat naskah novel yang sedang ditulis, eh diedit maksudnya. Mau percaya atau tidak, yang jelas saya tidak sedang serius, lho.
        Jadi, saat itu saya sedang berjemur di tepi pantai, menikmati cahaya matahari yang lagi terik-teriknya. Intinya sih lagi tan gratisan. Tetapi tiba-tiba saja saya diganggu oleh suara dehaman seseorang yang tidak hanya satu dua kali, lebih lah. Ada empat kali. Lalu, saya membuka mata dan mendapati kawan lama saya yang sekarang sudah beralih profesi menjadi wartawan infotainment. Dari tivi dan acara apa, dia malah merahasiakannya. Saya sempat ragu, jangan-jangan ini sejenis liputan investigasi, which is, suara saya nanti jadi mirip orang bengek dan wajah saya juga kena sensor.

        Tapi bayangan itu musnah, katanya Kentang ini wartawan majalah remaja dan dewasa muda. Syukurlah... semoga dia nggak kirim tautan aneh-aneh lagi ke inbox, sejenis tawaran main film biru, seperti tempo lalu.
        “Halo, Deng... lo apa kabar?” tanya Kentang, terkesan basa-basi banget.
        Tapi sebagai keturunan priyai yang ramah, saya membalas. “Hai, Tang. Kabar baik. Sebaliknya?” nadanya, ya agak-agak males gimana gitu. Orang lagi berjemur, malah diganggu.
        “Berdasar kabar angin, katanya lo mau launching novel ketiga, nih?”
        Saya hanya mengangguk.
        “Ngomong-ngomong, gimana perasaan lo?”
        Ada pertanyaan lagi tidak, sih? “Gini deh, Tang, kamu nemenin istri kamuyang lagi lahiran. Terus sebelumnya kamu udah USG dan calon anakmu itu cowok. Sebelumnya dua anakmu cewek dan kamu kurang begitu antusias karena anak cewek nggak bisa kamuajak jumatan. Gimana perasaan kamu?” Nah lho, kok malah saya yang balik tanya, ini gimana sih?
        Tak mengindahkan jawaban saya, kentang malah kembali bertanya. “Sebelumnya lo punya mimpi apa sih?”
       Saya memilih diam beberapa jenak, menikmati angin yang berembus cukup keras siang itu, menerbangkan anak rambut saya yang liar. “Kaya raya.” Jawab saya mantap. “Enggak salah dong kita punya mimpi itu? Tapi nggak pake mimpi segala sih, menulis bagisaya udah kayak kebutuhan psikologis yang bakal ngerasa nyesel semaleman kalau sampai sehari enggak nulis. Dalam bentuk apa pun itu, meski nulis di tembok jalanan.” Saya tertawa hambar, emang nggak lucu sih, sebenarnya.
Tuh kan, Kentang aja nggak ketawa. Dia malah nanya lagi. “Ada nggak orang yang berperan penting dalam pembuatan novel ini?”
Aduh, kok saya mulai terpancing gitu ya sama pertanyaan dia? Saya segera beranjak, ikutan duduk seperti yang Kentang lakukan. Saya menjawab, “Ada lah... ada nggak sih anak yang lahir tanpa ibu bapak—selain Isa Almasih?—tentu saja editor yang ngasih deadline, Kak Riana Dewi yang jadi First Reader sekaligus ngoreksi ini-itu dan tentu saja orangtuasaya yang sudah sangat perhatian. Temen-temen juga penting banget, lah.”
Syukurlah... setelah itu, Kentang diam. Mungkin kehabisan akal buat melayangkan lagi pertanyaan. Tapi sedetik kemudian, mulutnya kembali mangap. “Ngomong-ngomong, Deng, apa sih judulnya?” dan pertanyaan itu terlontar dengan nada begitu datar. Gini deh, kalau kamu punya list teman yang cocok dikremasi sebelum mati, maka saya akan memasukkan Kentang ke dalam list-nya.
“Astaga, Tang. Jadi kamu wawancara, dan belum tahu judul buku yang mau sayarelease bulan ini? Yakin...?” kedua alis saya bertaut. Karena ingin jelas melihat ekspresi wajah lawan bicara saya, saya membuka kacamata hitam yang bertengger di hidung.Tenggorokan saya kering, beneran. Saya meraih jus jeruk di atas meja di samping saya dan menenggaknya hingga menyisakan seperempatnya. “Judulnya Beautiful Regret... versisaya sih artinya ‘Penyesalan yang Indah’. Emang ada...? Ya entar kamu baca aja deh bukunya teruskamu bakal tahu jawabannya. Kalau PO di saya, ada tanda tangannya, lho.”
“Cita-cita lo waktu kecil apa sih?”
Damn! Pertanyaan macam apa itu? “Jujur saya kayaknya nggak punya cita-cita deh. Bagi saya, jadi pilot, dokter, guru, dll itu mainstream banget ya, jadi selain waktu kecil saya udah ganteng bawaan sejak lahir, saya nggak punya kelebihan lainnya, termasuk punya mimpi selangit.”
Kentang angguk-angguk kayak geng Yossi dkk di Project Pop.
“Gini, Deng, Lo kudu banyak cerita tentang proses pembuatan tuh novel, deh. Apa yang ada di pikiran lo dari awal sampe akhir?”
Saya menelan ludah. Kalau bisa sih, saya ingin menelan makhluk di samping saya. Tetapi apa daya, namanya juga diwawancarai, ya, terpaksa saya jawab. “Ada di posting blog gratisan saya, kamu entar link aja biar pembaca kamu juga maen ke sana. Jadi, pas awal-awal sayakepengin memperlihatkan bahwa hidup dalam kebencian hanya akan menciptakan sebuah penyesalan yang perih. Tapi kalau kita berusaha buat memaafkan diri sendiri, kayaknya enggak bakal ada kebencian, dan juga penyesalan. Saya nulis Beautiful Regret selama tiga bulan dan puji syukur, udah mau terbit lagi. Lengkapnya, tengok di blog saya aja.”
Tiba-tiba saja Kentang nge-ciye-in. “Ciye, sekarang novelis ya. Senang dengan julukan tersebut?”
Heck, maksudnya apa coba? Ya sudah, saya ciye-in lagi. “Ciye... kamu sekarang jadi orang, ya? Seneng dengan sebutan itu?” saya mencebik. “Saya seneng kalau ada yang baca dan suka karya saya. Itu sih yang paling penting, terlepas siapa saya sekarang. Tapi saya tetap putra Bapak Endira, lho...”
Lagi-lagi Kentang memakai gayanya project pop. Lalu, dia memandang tubuh saya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki dengan tatapan penuh hasrat. Haha... eh, itu bohong. Lucu aja kalau emang iya...
“Sebutin deh, berapa cangkir kopi atau berapa kilo camilan yang lo abisin cuma buat nemenin lo nulis? Kayaknya lo gendutan!”
Jadi itu maksud tatapannya? Saya kembali mencebik, karena bagi saya, berat badan itu bagian paling sensitif untuk dibicarakan di dunia ini. “Sehari dua kali, pagi dan malam. Saya sensitif banget sama kafein, misal kalau semalem abis dua gelas, yakin, kamu dan yang lainnya bakal saya teror di whatsapp dan BBM karena saya nggak bisa tidur dan... sebagai single, saya kesepian. Saya nggak bisa mikir tanpa kopi, tapi enggak bisa tidur karena enggak ada cewek (?) Camilan...? saya nggak suka ngemil. Cukup kopi aja, rokok kali-kali, sisanya enggak.” Jawab saya, eh, lumayan panjang, ya?Lalu saya berdeham, malu banget kalau harus mengakui ini, kayak ngakuin udah ngebuntingin anak perawan orang. “Dan saya benci akuin BB saya nambah. Makanya sekarang lagi program, work out di rumah aja dulu, biar badan saya kayak Taylor Lautner lah.”
Kali ini Kentang tidak niru gaya project pop, tapi niruin gaya Omas. “Apa reaksi lo kalau ditanya kapan kawin? Atau udah?”
“Kalau ditanya, kapan nikahin anak gadis orang? Entar lah kalau saya udah dewasa finansial dan pola pikir. Gitu kan jawaban Sophia Mueller juga, padahal doi udah punya Eva Lesmana yang seumuran saya.” Lalu saya tertawa, tidak begitu hambar kalau yang ini.
“Sophia Latjuba maksud lo?”
“Iyalah... masa Sophia Martin.” Eh keceplosan, saya nyebutin merk. Tapi tidak apa, di bagian editing nanti pasti disensor dengan suara ‘Beep’. Dan kami berdua tertawa garing.
“Eh Deng, berapa kali revisi sebelum naik cetak?”
Saya mengembuskan napas dengan sangat lega. “Saya menantikan pertanyaan ini, kamu lama-lama kayak infotainment gosip beneran yang ngelantur dari tema obrolan!” cibir saya.“Kalau revisi enggak ada sih. Paling koreksi penyesuaian standar baku dengan penerbit. Kan beda penerbit beda juga kebijakannya.”
“Yang ini gendre apa?” dia langsung nyerobot aja, mirip Komeng bawa motornya.
“Genre, bro! Kamu orang Palembang tapi medhok ya...” Saya tertawa, hambar lagi sih. Dan Kentang agak manyun. “Yang ini masih romance, sih, romance dengan tempo romance. Bersetting Korea Selatan dan bercerita tentang seorang pelukis muda dan seorang penyanyi.”
“Ada enggak gendre yang pengin banget lo tulis tapi belum pernah kesampean?”
“Genre, bro... G-E-N-R-E!” saya langsung motong dengan penuh semangat karena sudah cukup puas bully dia.“Apa ya? Misteri paling... atau genre dewasa yang hot... huhh...”
Kentang merenung. Apa mungkin dia membayangkan genre dewasa hot yang saya maksud? Astaga, jika iya, pasti di otaknya sekarang omes banget.
Tapi tiba-tiba dia berkata. “Kayaknya gue pengin nulis teenlit nih, menurut lo apa aja yang perlu gue siapin?”
“Menurutmu, apa aja yang dibutuhin koki buat masak? Yang pasti, kamu harus rajin baca novel teenlit, bukan buku kamasutra. Dan komitmen sih kalau menurut saya.” Saya menjawab agak ketus.
“Lo udah bisa disebut sukses karena lo usaha, gitu kan? Iya ini pertanyaan...” Katanya, merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri.
Iya, itu pertanyaan aneh! “Sukses itu bertahap, kalau sukses menerbitkan buku, bisa dibilang ya. Tapi sukses lainnya, masih dicapai. Doain aja...” saya beranjak dan berdiri, meregangkan otot-otot tubuh yang tidak butuh lama lagi bakal mirip Taylor Lautner.
Kentang ikutan berdiri, dia mengambil kamera DSLR miliknya, kemudian mengambil gambar gumpalan ombak di depan kami. “Ceritain pengalaman tergetir yang pernah lo alamin, dong?”
“Getir...?” kening saya membentuk lipatan.“Enggak ada deh kayaknya. Ya, kalau misal dikhianati cewek bisa masuk kegetiran, berarti itu pengalaman paling getir.”
“Pernah nangis gegara cewek?” kali itu, dia mengarahkan kameranya ke arah saya dan mengambil beberapa gambar dengan sembarang.
Damn it! “Demi Tuhan, saya benci ngakuin ini. Tapi ya, begitulah. Air mata kan gunanya buat dibuang, bukan buat ditabung.” Lagi-lagi saya mencoba untuk tertawa, namun yang keluar hanya tawa hambar yang tidak ada rasa atau pun aroma.
Pick one,” katanya,“cowok atau cewek?”
“Hah, maksudmu?”
“Pesan apa yang mau lo sampaikan di buku baru lo?”
Nah gitu, dong. Balik lagi ke soal buku. Ini baru wawancara menarik.
“Apa ya...? ada di halaman awal-awal yang bunyinya gini, “Novel ini saya persembahkan kepada orang-orang yang pernah hidup dalam penyesalan, kemudian terlampau sulit membuka hati untuk sekadar mengakui perasaannya.”
“Ngomong-ngomong, apa nih rencana lo ke depan? Nulis novel atau skenario?”
Saya menarik napas, lalu mengembuskannya. “Lulus kuliah kali ya, orangtua gue lebih mengharapkan gue pake toga dan tersenyum ala iklan pasta gigi di foto keluarga deh, ketimbang mengharapkan calon mantu secakep Alexia Fast gitu. Atau Dion junior yang cakepnya enggak bakal jauh-jauh amat dari ayahnya.”
Kali ini Kentang ketawa. Astaga, puas sekali sepertinya dia dengan jawaban saya barusan.
“Gimana cara lo berpromosi nantinya?”
Saya mulai lelah dan males jawabin pertanyaan dia. “Promosi medsos paling, sisanya, gue biasa promosi tikus. Tahu-tahu orang-orang udah beli buku gue gitu. Enggak magis, hanya strategi sendiri aja.”
“Lo pasti kenal nama-nama Alvi Syahrin, Alfian Danier, Haris Firmansyah, Koko Ferdi, Kamal Agusta, oh iya yang mirip Vivi itu Hardy Zhu, Vivi juga, Aida dll, mereka kan bisa dibilang saingan. Apa pendapat lo?”
“Mereka siapa, ya?” saya ketawa dan lagi-lagi hambar, ah, yang ini terkesan garing. “Sedikit banyak kenal lah. Malah beberapa diantaranya suka sharing soal kepenulisan. Pesaing? Lo kencing...?” Saya ketawa lagi yang langsung dihardik Kentang, “Itu mah pesing!”
“Selama ini saya anggap mereka pemacu buat berkarya. Jadi kalau mereka release buku, saya jadi semangat buat ngedit. Gitu aja sih.”
“Eh, Deng,” tiba-tiba aja Kentang deketin saya, setengah berbisik dia berkata. “Gue udah cocok jadi host di sebuah acara talkshow belum sih?”
Saya menyeringai senyum, mungkin ini balasan saya. “Lebih cocok jadi juru tulis di kantor camat, sih. Pick one; juru tulis atau infotainment gosip?”
Kentang bingung, akhirnya dia tidak menjawab.
“Pernah diundang di radio-radio lokal gitu belum sih lo? Ceritain coba...!”
Maksa banget ya dia? “Ada... dan untuk novel ini, udah ada schedule buat promo di radio di Bandung. Tunggu aja ya entar, semoga terbius dengan suara saya.”
“Nikmat nggak jadi penulis?”
“Yakin itu pertanyaan?” saya mencibir lagi.“Yang pasti, kamungejalanin apa yang kamu suka? Sampe mati kayaknya nggak bakalan bosen.”
“Oke deh Deng, satu pertanyaan terakhir. Kalau misalnya besok lo mati, kalimat apa yang bakal lo bagi buat orang-orang supaya bisa nerusin perjuangan lo menjadi penulis?”
Pliis ya Tang, jangan bawa-bawa soal kematian. Serem, tahu! Tapi sepenuh kekuatan saya menjawab. “Sampai jumpa di surga... jadi penulis, ya, royaltinya lumayan bisa beli apartemen di Gateway lho... follow twitter saya juga ya, @dionsagirang”
        “Oke deng, makasih buat waktunya. Eh, kayaknya tubuh sixpack lo bentar lagi kayak, artis hollywood itu lho, Taylor...” dia mikir. Saya udah ada firasat dia nyebutin Taylor Lautner. “Taylor Swift, ya?”
        Saya menggeram, kemudian sadar dengan kemarahan saya, buru-buru kentang pamit. “Deng, gue mau wawancara lagi. Katanya Sophia Mueller lagi liburan bareng Ariel. Gue cari dia dulu ya....” Dan sebelum beranjak, dia mengambil gelas berisi jus jeruk milik saya. “Haus, euy saya teh.” Dengan bahasa sunda yang maksa, dia menenggak minuman saya hingga tandas.

*Wawancara imajiner bareng Hadi Kurniawan Sudjatman a.k.a Kentang a.k.a Hadi Tangken




Tidak ada komentar:

Posting Komentar