Minggu, 24 November 2013

Reuni Singkat


Setiap malam kita melakukan ritual kecil berupa obrolan ringan. Tema percakapan kita tak beranjak dari orang-orang yang pernah menoreh warna di kehidupan kita, dan anehnya tak sedikit pun kita dihinggapi rasa bosan. Meski tema serupa, tapi nyaris tak pernah jenuh karena setiap malam yang kita lewati akan terasa menyenangkan. Kadang kala, cerita kita diakhiri dengan derai tawa yang menyadarkan kita, telah banyak bungkus makanan yang telah tandas. Atau, dulu kita pernah mengakhiri percakapan dengan tangis terisak yang membuat orang tua kita saling menaruh curiga, ‘kau apakan anakku?’. Lalu dengan berat esoknya kita saling menjelaskan perihal yang terjadi kemarin malam.
Keadaan kita memang begitu. Tak jarang kita lupa waktu, lalu disadarkan oleh teriakan orang tuaku dari ambang pintu dan tentu saja orang tuamu yang mengutus adikmu untuk mengingatkan kita kalau malam sudah semakin beranjak jauh, menyeruakkan sunyi dalam gelap. Hari esok telah menunggu kita dengan cantik. Begitu kau bilang. Sebagai kalimat perpisahan untuk malam itu.
Namun kali ini, kau mengajakku menjelmakan kehidupan. Sebenarnya, aku tak mengerti maksudmu. Tapi, baiklah kita coba. “Mmm... apa, ya?” Aku berpikir cukup lama. Mencari ide dalam nikotin yang kusesap. Sementara kau menikmati kukicha hangatmu yang juga mengepulkan asap, menebarkan aroma tenang dalam cangkir yang kaudekap di kedua tanganmu. Malam ini terasa sangat dingin, makanya tak tampak satu pun bintang yang berpendar. Meski tanpa bintang, tapi percakapan kita di beranda rumah akan tetap seru, seperti malam-malam sebelumnya. Bukankah begitu?
Awalnya, kau tidak percaya kalau kita hidup dalam sekat. Sekali lagi kuyakinkan. “Sekat itu ada, namun tampak kasat.”
Kau memanyunkan mulutmu hingga terlihat sangat buruk. Haha... aku bercanda. “Baiklah, tak perlu kau merajuk begitu, jangan biarkan orang-orang tahu, tak ada kelebihan lain di wajahmu selain senyummu itu.” Kau merasa aku sedang menggombal? “Untuk percakapan kita malam ini, kau berpura-pura saja percaya kalau hidup kita bersekat, titik. Mari kita lanjutkan!”
Kau mengangguk. Kemudian bersiap mendengarkan ocehanku selanjutnya. Namun kau kembali menginterupsi ketika aku menyebut selain bersekat, kita juga hidup bertingkat. “Ya, kita hidup dalam tingkatan yang berbeda-beda, padahak kita menginjak tanah yang sama.”
“Benarkah?” tanyamu tak percaya.
Sungguh aku tidak tahu, apa kau benar-benar tak mengetahuinya atau sedang mengetes kemampuanku. Kemudian aku bertanya padamu, “Hidupmu berada dalam tingkatan sosial yang mana, bawah, menengah atau atas?”
Kadang alasan konyol ini yang membuat tanganku gatal untuk menjitakmu, tapi yang membuatku suka, kau hanya meringis seraya memelototkan mata kecilmu dan mengusap-usap keningmu yang memerah. Tetapi karena aku sahabat yang baik, mari kita ber-reuni singkat. Sejenak saja, jangan kau pikir kita akan bercerita tentang bagaimana kau mendapat cinta pertamamu. Bisa-bisa obrolan kita menjadi basi.
Kita mengenal satu teman semasa SMA yang mengalami perubahan total dalam hidupnya. Ya, dia mengalami lonjakan sosial yang sangat drastis. Saat itu, dia berada pada tingkatan tertinggi secara strata sosial. Perubahan terjadi pula pada fisiknya yang semakin cantik, barangkali karena pakaian, perhiasan yang dia kenakan. Juga pada mobil keluaran teranyar yang mengantarnya kesana-kemari layaknya setrikaan.
Kau menderai tawa, padahal tidak ada yang lucu. “Hei, simak dengan baik karena sebenarnya ini inti percakapan kita!”
Kau mengangguk, kemudian mengusap cangkir di tanganmu.
“Strata sosialnya melonjak, tetapi tak serta merta dengan kepribadian level terbawah yang masih belum bisa dilepasnya. Ini bagian yang sangat disayangkan karena apa yang dia pakai dan dia lakukan, tanpa mengubah cita rasa pribadinya, rasanya dia tetap temanku yang urakan. Padahal dulu—karena aku mengenalnya—aku sering menyarankan dia supaya memantaskan diri, menyesuaikan dengan level tertinggi yang telah diraihnya.”
“Lalu?” tanyamu, mulai beraksi atas ceritaku.
“Rupanya dia bebal. Tak sedikit pun mendengarkan saranku. Ya, sepertimu. Bedanya, ketika itu aku tak berani menjitaknya. Bisa-bisa diperkarakan ke meja hijau.”
Kau menyungging senyum, kemudian menyesap teh di tanganmu dengan nikmat.
“Meski tampak mengilat, batu itu tetaplah benda kotor yang ditemukan dari sungai. Ironinya seperti itu.”
Aku hanya tersenyum simpul ketika kau bertanya, “Apakah ada peribahasa yang lebih halus, semisal rumput liar yang tumbuh di padang golf?”
“Nah, barangkali itu sebutan yang paling cocok untuknya. Kadang-kadang kau pintar meresponku saat aku membicarakan hal-hal tentang dirimu.”
Kau mengumpat, “Sial!”
Sekarang aku berani menjitakmu, karena kau telah kembali ke rumahmu yang dulu. Rumah yang letaknya hanya beberapa langkah dari teras rumahku. Dalam dukamu karena bisnis ayahmu yang baru seumur jagung itu telah bangkrut, aku tersenyum dan bahagia. Dengan begitu, kau kembali membumi. Lebih terlihat seperti manusia, seperti seseorang yang pernah kukenal.
Kemudian obrolan tentangmu telah selesai. “Sekarang kau percaya dengan apa yang telah kukatakan tadi?”
Kau mengangguk pasrah.
“Sekarang giliranmu, apa yang ingin kau ceritakan. Aku akan mendengarnya.” Aku menyesap rokok di tanganku, mengembuskan asap ke udara yang secepat kilat tersapu angin.
Kau bercerita tentang temanmu yang selama sekolah sangat pintar dalam pelajaran hingga sering mendapat peringkat satu. Selama itu, kau tidak pernah iri kepadanya. Aku bertanya, “kenapa?” Alih-alih menjawabku, kau melanjutkan ceritamu, berpura-pura tak menghiraukan.
“Dia teman yang pintar, namun sekaligus teman yang membosankan.” Mulutku yang gatal tak segan melayangkan pertanyaan serupa. Karena sepertinya aku juga mengenal teman dalam ceritamu itu. Untungnya, kali ini kau menjawab.
“Acapkali dia membicarakan segala tetek bengek tentang kekasihnya.”
Untuk pertama kalinya kau mengaku kalau itu cukup menyenangkan saat mendengar ceritanya. Ketika dia mengenal seorang lelaki yang baik, humoris dan menyenangkan. Tetapi kebosanan menyertaimu karena cerita itu terus bergulir seiring pertemuanmu yang intens dengannya. “Dia terus membicarakan kekasihnya seolah dunia tak memiliki cerita lain. Demi Tuhan, aku mulai muak.” Air mukamu berubah, seperti tengah berusaha muntah di mulutmu.
“Ya, bisa jadi dunia mengakui kalau Rendang adalah makanan terlezat di dunia. Tetapi ketika harus menyicipinya setiap hari, aku yakin, bisa-bisa kau muntah.” Lanjutmu seraya mendelik.
Kali ini giliran aku yang menggelak tawa. Bagaimana bisa seseorang begitu bangga dengan kekasihnya sehingga acapkali berbicara tentangnya. Lambat-laun, aku dibuat penasaran pada temanmu itu. “Siapa dia?”
Kau menggeleng. Mengembang senyum penuh muslihat.
Ah, kau tak asik karena tak mau memberitahunya. Karena cerita temanmu yang sangat konyol itu, aku tak dapat menahan tawa.
Kau mengerutkan kening, seolah respon tawaku sangat berlebihan. Barangkali kau berang melihat tingkahku, maka kau pun menjawab pertanyaanku yang tadi kau abaikan.
“Sepertinya kau begitu puas menertawakan kekasihmu sendiri, padahal dia sangat bangga terhadapmu.”
Dalam diam, aku memerhatikan tubuhmu yang beranjak dan masuk ke dalam rumahmu sementara aku masih terpaku atas jawabanmu.
Ya, dan kehidupan pun bergulir. Kali ini giliran aku yang mengumpat. “Sial!”

2 komentar:

  1. Hehehe

    Ini di steiap paragraf dibatasi pakai enter coba Rang. Pasti lebih bisa bernapas tulisannya, tidak mefet-mefet begini

    BalasHapus
  2. NJ speeds online gambling legal in New Jersey - KTNV
    As 사천 출장샵 online 안성 출장안마 gambling in 김포 출장샵 New Jersey grows 상주 출장마사지 statewide, NJ casino operators and operators will see their online gambling options expand Casinos in Atlantic City, New Jersey. 이천 출장마사지

    BalasHapus