Selasa, 05 November 2013

Temu

“Hei, di sini....”
Di antara kerumunan orang-orang, gadis itu melambaikan tangan dan dengan gerakannya aku bisa mengetahui ke mana aku akan masuk.
“Ah,” reaksiku seraya menggosok-gosok tangan karena cuaca di luar sangat dingin.
Sebuah kafe kecil tepat di sebuah kampus kami kini berada. Terduduk simpul serupa orang Jepang yang sedang menunggu hidangan makanan tersaji. Aku mengedar pandangan ke sekitar, lalu sedikit tercengang ketika mendapati hanya aku lelaki satu-satunya di ruangan ini. Aku hanya berpikir lalu bertanya-tanya, tempat apa ini? Namun jawabannya tak begitu penting.
“Silakan,” katanya, menggeser buku menu ke arahku.
Aku meraih dan melihat-lihat menu apa yang menjadi andalan sehingga dia memilih kafe terpencil yang jaraknya cukup jauh dari pusat kota. Riuh para gadis di sekitar membuat atmosfir dingin mulai kabur, lalu tergantikan dengan kehangatan di tengah percakapan mereka yang kacau. Rupanya di belahan bumi mana pun wanita sama saja seperti ini jika tengah berkumpul dengan sekawanannya. Ibarat partikel suara dengan nada sumbang yang kemudian disatukan.
“Aku pesan ini,” kutunjuk dua menu makanan sekaligus minuman.
Aku membuka sebagian kancing jaket yang kukenakan, lalu kudapati gadis di depanku memberengut. “Dasar rakus.” Lemparnya dan membuatku menyunggingkan senyum.
Dia beranjak, memesan makanan yang sebenarnya tak terlalu kuharapkan segera tersaji karena aku menginginkan hal lebih dalam pertemuan ini. Ya, obrolan yang hangat antara dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu.
Tak lama setelah itu, muncullah sepasang belia yang berjalan saling menautkan tangan mereka seolah jika terpisah, dunia akan akan ikut terbelah. Mereka duduk tepat di sebelah kami, terhalang jeda untuk pelayan yang akan mengantar makanan atau lalu lalang lainnya.
“Tepat setahun yang lalu aku ke sini, tapi sepertinya aku tidak pernah melihat tempat ini.”
Gadis di depanku berdesis, “Hei, setahun bukan waktu yang sebentar.”
Dan dalam waktu itu, bukan hal mudah untuk melupakan seseorang yang hadirnya pernah menorehkan warna di kehidupan kita, bukan?
Tak sadar, minuman yang kami pesan telah tersaji di atas meja. Namun itu bukanlah sesuatu yang menarik.
“Coba kau tengok ke samping!” serunya dan dengan repleks aku mengikuti perintahnya seolah terhipnotis.
Sepasang belia tadi tengah menikmati satu minuman dalam gelas yang sama. Responku hanya tersenyum ketika kembali membalikkan wajah ke arah gadis di depanku. Dia menyunggingkan senyum serupa ke arahku.
“Penolakan rasanya sangat menyakitkan, ya...,” tiba-tiba saja gadis di depanku menggumamkan kalimat yang tidak sinkron dengan pemandangan manis yang baru saja kami lihat. “Tentu kau juga merasakannya, bukan?” sambungnya, kali ini dengan nada menuduh.
“Kau tahu sendiri cerita terakhirku seperti apa,” responku dengan nada malas. Tetapi tiba-tiba saja aku teringat sesuatu yang bisa kusampaikan pada gadis yang masih menyimpan kecewa atas sebuah penolakan. “Tuhan memberi apa yang kita butuh, bukan kita ingin. Peribahasa klasik, saking klasiknya kita tidak pernah sadar dan realita yang membawa kita pada kesadaran itu.”
“Maksudmu?” kedua alisnya bertaut ketika mengatakan itu, membuat wajah bulatnya tampak konyol.
“Selepas itu, aku jadi lebih mengetahui seperti apa karakternya, melalui percakapan-percakapan mereka di sosial media, dan dari sana aku cukup disadarkan, dia bukan tipikal gadis yang kubutuhkan.” Kuraih minuman hangat beraroma lemon di depanku, kemudian mulai menikmatinya.
Gelenyar hangat menyeruak dalam tubuhku, seperti obrolan hangat yang tak tahu sampai di mana cerita ini akan berakhir.
“Oh...,” dia mengangguk seraya membentuk bulatan pada bibirnya yang tipis. “Omong-omong, gadis itu menolakmu dengan alasan apa, kupikir kau sempurna sebagai seorang lelaki.”
Kuletakkan cangkir di tanganku ke atas meja. “Katanya, aku terlalu menjaga sikap sebagai seorang lelaki, terlalu kaku..., dan tertutup.”
“Bukankah itu yang membuat lelaki tampak berwibawa?”
“Entahlah,” aku meresponnya dengan mengangkat bahu. “Ah, sekarang giliranmu. Kenapa kau menolak sahabatku? Kumohon, berikan jawaban yang paling masuk di akal. Tampan, ya. Kaya, bisa dibilang..., dan dia baik, kau juga mengakuinya, bukan?”
Reaksinya saat menerima pertanyaanku adalah mengambil cangkir di depannya, kemudian menyesapnya dengan gerakan santai. Padahal, begitu gemas aku menunggu responnya. Sebenarnya apa yang diinginkan banyak wanita dalam kehidupannya, apa yang hadir di benaknya tentang banyak lelaki dan tentang lelaki yang dipilihnya.
Makanan yang kami pesan datang. Setelah tersaji di atas meja, kami mengabaikannya tanpa menarik minat secuil pun.
“Aku merasa tak nyambung jika mengobrol dengannya.”
Sesederhana itu? Gila! Apalagi yang dibutuhkan wanita dari sosok sahabatku itu. Tampan, kaya, baik, dan...
“Jika kau pikir dengan uangnya aku bisa membeli banyak hal, kau salah. Ada satu hal yang tak akan bisa kubeli kelak.”
“Apa?”
“Kenyamanan.”
Tubuhku membeku ketika mendapati jawaban tersebut. Seperti makanan yang tersaji di hadapanku.


Dion Sagirang
Kota Garut, pada suatu senja

2 komentar: