Kamis, 07 November 2013

Jatuh Tanpa Cinta


Akui saja, kau mengenalnya saat menghadiri acara sosial yang diadakan oleh ikatan SMA di kotamu saat itu. Bogor adalah kota yang indah, namun tak ada yang lebih indah dari sosoknya. Itukan katamu? Gombal benar kau. Lalu diam-diam kau mengaguminya, dan dalam diam pula, lamat-lamat sesuatu tumbuh dalam dirimu. Kau masih berani mangkir, kalau itu cinta? Ya, cinta.... 

Gadis itu cantik. Garis wajahnya tegas, dagunya yang lancip terbelah dua dan kulitnya yang putih bersinar tatkala cahaya matahari yang menerpa; diam-diam dia juga ingin merasakan lembut kulitnya. Sialan, kau kalah cepat dengannya. Rambutnya yang lurus tergerai. Beberapa helainya menari liar di udara ketika angin yang nakal membelainya. Kau lihat, angin pun begitu asik menggodanya. Namun apa yang kau lakukan, hanya menatapnya dari kejauhan. Lalu kau hanya berdalih; aku menyukai senyumnya yang damai, karya agung yang sempurna. 

Cih! Kau hanya berani memujinya, itu pun kau lakukan di belakangnya. Apa kau bilang? “Kehadirannya menghampar teduh, meski matahari bersinar terik siang itu.” Dasar pembual. Lihat saja keringat yang mulai membanjiri tubuhmu, seiring dengan beberapa pohon yang berhasil kautanam. Kau terdiam sejenak, melerai rasa lelah yang mulai mendera. Kausandarkan tubuhmu pada pohon besar di dekatmu. 

Angin siang itu kaurasakan seperti tertiup dari arah surga, dengan bidadari yang masih berkutat dengan pekerjaannyanya. Jarakmu dengannya terhalang oleh beberapa kelompok siswa yang hadir dari banyak sekolah itu. Tapi kau masih bisa mengintip senyum indah yang tersungging darinya. 

Tak lama, kau kembali berjibaku dengan pekerjaan sosial untuk mengurangi dampak polusi yang berefek pada pemanasan global itu. Kau membantu kelompok lain yang belum menyelesaikan tugasnya karena pekerjaanmu telah selesai. Haha... kau cerdik juga. Hal itu kau lakukan semata karena gadis itu. Kau hanya ingin berlama-lama dengannya, bukan? 

Kau tersenyum ketika mendapati wajah putih gadis itu mulai dibanjiri keringat. Pipinya yang mulus terciprati tanah lumpur. Terbesit dalam pikiranmu untuk menghampirinya, lalu memberikan memberikan sapu tanganmu untuk melap sisa lumpur di wajahnya. Kau mulai berpikir untuk mencuri cakap dengannya, sekadar mengetahui nama atau alamat rumahnya yang kau harap bisa berlanjut dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Dengan segenap keberanian, kau mengambil langkah untuk mendekatinya. Namun urung karena nyalimu kembali menciut. 

“Aku tahu apa yang menghinggapi benakmu kali ini,” ucap Jose, sahabatmu yang berdarah campuran itu seraya menepuk pundakmu. Semoga saja laki-laki berkulit merah terbakar matahari itu tidak mengetahui gugup yang sedang kau rasakan.
“Haha...” Kau tertawa hambar, “apa?” dan kau mulai salah tingkah.
Sahabatmu terdiam sejenak, matanya yang biru laut menunjuk bidadari yang sejak tadi tak lepas dari pandanganmu yang malu-malu. Kemudian Jose mengernyitkan dahi sehingga kedua alisnya yang memiliki warna keemasan itu tampak menyatu. Kau bisa membaca bahasa tubuhnya. Kira-kira seperti ini; Tunggu apalagi, come on! 

“Dia cantik, kan?” Tanyamu tak melepas sedikit pun pandanganmu darinya, dari tubuh gadis yang masih berjibaku dengan tanah lumpur yang bisa saja membuat tangannya yang halus itu menjadi kasar.
“Apakah ada jawaban lain selain ‘ya’, dan kau jatuh cinta kepadanya?”
Kerongkonganmu tersedak, lalu memicingkan mata pada bule di depanmu.
“Apa aku terlihat memiliki jawaban lain?” Kau membalas dengan ucapan serupa.
“Kau tidak takut mencintainya? Semua wanita cantik itu sama, Dra...” Jose mengedarkan pandangannya. Angin bertiup kencang, membuat rambut jagungnya bergoyang. “Tak perlu jauh membandingkan, lihat saja dirimu sendiri. Katakanlah kau ini tampan, sempurna, hampir semua gadis menggilaimu dan apa yang kau lakukan selama ini, memacari banyak gadis itu.” 

“Haha...” Kau menderai tawa dan dalam tawamu terdengar peng-iya-an pernyataan sahabatmu. “Tapi itu dulu, aku sudah berubah.” Kau mulai mencari alasan untuk menyangkal.
“Oh ya, lalu Sherly?” 

“Dia hanya teman biasa, jadi percayalah!” Ucapmu mantap. Padahal, kau yang lebih tahu kalau selama berbulan-bulan ini kau mendekati gadis itu. 

Hatimu mulai berontak, dan diammu malah membuat perasaanmu menjadi tak keruan. Kau merasa pengecut bila hanya berdiam diri. Akhirnya, terkumpul sudah kekuatan untuk menatap senyum itu lebih dekat. Yiha.. akhirnya kau mengambil langkah, berjalan pasti ke arahnya. Jantungmu berdetak tak beraturan dan kau merasakan keringat sebesar biji jagung melintas di pelipismu. 

Tinggal beberapa langkah lagi kau bisa menatapnya tanpa jarak. Angan-angan yang sejak tadi mengerumuti pikiranmu kini akan menjadi kenyataan. Kau bisa menikmati senyumnya lebih puas. 

Namun apa yang terjadi, Tuhan seolah tak merestui keinginanmu. Kau merasakan tubuhmu limbung saat tak sadar menginjak temali sepatumu dan kau terjatuh pada kubangan lumpur. Persis hanya berjarak beberapa langkah dari posisi gadis itu berada. Semua mata menatapmu, tapi tak sedikit pun kau peduli. Pikiranmu hanya fokus pada satu titik. 

Kemudian kau sadar, gadis itu menatapmu iba. Dia segera membersihkan kedua tangannya dengan air, kemudian beranjak menghampirimu. Dia membantumu berdiri. Sebentar, bukankah itu permulaan yang bagus? Seolah gadis itu menangkap sinyal yang telah kau pancarkan. Ya, ceritamu akan berjalan mulus jika seandainya aku tak menciptakan tokoh lain. Laki-laki seusiamu menghampirimu, lebih tepatnya menghampiri gadis di dekatmu. Seraya mengangsurkan minuman dalam kemasan, laki-laki itu berkata pada gadis itu.
“Kasih dia minum, Beib!”

Pada 2011

2 komentar: