Senin, 04 November 2013

Isyarat


Isyarat
-Hal romantis apa yang ingin kau lakukan terhadap seseorang yang kau cintai?
+Menonton konsernya tanpa memberitahu bahwa aku datang ke sana. Setelah itu aku akan mendatangi back stage seraya memberikan sebuah pujian terhadapnya, ‘malam ini penampilanmu begitu sempurna...’
Suatu hari aku menjawab kuisioner yang dituliskan seseorang, dan itu hanya sekadar iseng ketika mengisinya. Namun siapa sangka, semuanya berawal dari sana...
Bukan tempat yang layak, memang. Tempat yang didesain seadanya dengan penerangan yang buruk. Semburat kekuningan yang membuat mataku tak bisa menatap dengan jelas ke bawah, tempat panggung itu digelar. Namun tempat ini sengaja kupilih. Bukan karena masalah tak mampu membeli tiket VIP atau apa, aku hanya ingin menatapnya dari sini, dari tempat yang dia tak akan menyadari satu hal; aku menunaikan janjik, sebagai lelaki.
Sebuah analogi dengan basa-basi, sudah jela itu berbeda. Analogi adalah sebuah pengibaratan sama sifat sementara basa-basi adalah pengibaratan yang bisa jadi kebalikan atau kebohongan. Dan aku menunggu basa-basi yang dilontarkan kedua orang di atas panggung itu selesai dan kuharap segera memasuki acara inti. Bukankah kehadiran disela sibukku untuk itu, bukan mendengar cengkrama yang sama sekali tidak menarik.
Maka tibalah apa yang selama bermenit-menit kunantikan. Rasanya bukan perjuangan sia-sia saat harus mengorbankan banyak hal untuk melihatnya berdiri di atas panggung sana. Satu persatu, mereka memasuki panggung. Dan pada saat itu, aku merasakan gelenyar aneh yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku menggerak-gerakkan kedua tanganku untuk mengusir perasaan yang benar-benar aneh; gugup. Padahal aku tidak sedang berada di atas panggung sana.
Aku melihat puluhan orang yang berdiri di sana. Di antara teman-temannya, aku terus mencari. Seorang Master Ceremony juga tak terdengar menyebutkan namanya dengan lengkap. Namun tak juga kutemukan. Pada saat itu aku merutuki diri sendiri karena tidak memilih kursi VIP. Dengan begitu aku bisa leluasa melihatnya berdiri di atas panggung. Namun dengan satu resiko, dia akan mengetahui keberadaanku.
Ekor mataku terus mencari keberadaannya, dan pada satu titik aku menemukannya. Sangat anggun. Kaca mata yang biasa bertengger  tak lagi dikenakannya. Dan dialah yang menjadi alasan aku untuk bertahan di tempat yang dikelilingi debu kotor ini. Meski  hanya bisa melihatnya dari arah samping, mataku terus mengekori posisinya, melantunkan lagu-lagu yang tidak terlalu jelas untuk ukuran konser. Peralatan yang kurang mendukung menjadi penyebabnya. Tapi itu tidak masalah selama aku masih bisa menatapnya dari sini. Melihat ukiran senyumnya yang sempurna.
Mataku seakan tak berkedip. Lagu-lagu itu pun berhenti. Rasanya baru beberapa saat aku mendengarnya. Ayolah, ulangi, atau dia saja yang berdiri di panggung, menyanyikan sebuah lagu untukku. Hanya untukku. Atau, satu bait saja, aku mohon...
However  far away I will always love you
However long I stay I will always love you
Whatever words I say I will always love you
I will always love you...
Itu lagu favoritku saat menjalani banyak hari bersamanya. Namun aku kembali tersadar. Persembahannya telah selesai. Yang tertangkap mataku kini dua orang yang sama sekali tak kudengarkan. Bayanganku pun mulai mengabur...
Aku merasa gelisah. Sungguh, ini kadar gelisah paling tinggi yang pernah kurasakan. Sebenarnya aku menunggu momen ini saat aku harus mengatakan, ‘malam ini penampilanmu begitu sempurna’ dan saat langkahku hendak memutuskan untuk menemuinya di balik panggung. Aku bergeming.
Gadis itu tengah berfoto—dan sebagiannya hanya tertangkap samar di mataku. Lagi-lagi aku mengutuk lampu samar di ruangan tersebut. Membuat mataku tak bisa menangkap  atas apa yang dilakukan olehnya di sana. Kutajamkan penglihatanku dan seharusnya dari sana aku mulai sadar. Itu lebih dari sekadar isyarat bagiku.
Ada setangkai bunga di tangannya. Kemudian yang kutangkap adalah cahaya blitz yang dihasilkan dari sebuah kamera. Dia tidak sendiri di sana. Bersama seseorang yang tak kunali. Senyumnya tampak lepas. Barangkali senyum seperti itu yang tak pernah kutemui saat dia bersamaku.
Aku turun menapaki anak tangga, tetapi bukan untuk menunaikan janjiku mengatakan itu. Aku memilih jalan keluar. Meninggalkan tempat itu dengan satu kesadaran. Karena dia telah memilih jalannya sendiri.

Suatu ketika di 22 Mei...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar