Sabtu, 28 Desember 2013

Tinjauan Film Tenggelamnya Kapal Van Deer Wijck


nyolong di google tadi
Saban hari saya pernah nyeletuk, “Saya ingin membuat blog khusus review buku dan film. Blog baru tersebut akan saya namai ‘Bufil’—singkatan buku dan film.” Tetapi saya malah menertawakan keinginan saya sendiri. Sementara blog ini saja, kadang-kadang diurus sama sahabat virtual saya—Hadi Tang, atau Maikel—yang katanya, mereka tak bisa menolak perintah saya yang oportunis ini. What the...?Manner pliis!
            Akhirnya saya memutuskan untuk menyampur-adukkan segala sesuatu yang ingin saya tulis pada blog ini. Yep, termasukreview pertama saya untuk film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
            Sebenarnya, saya sudah ada rencana, di hari terakhir UAS, saya akan menghabiskan waktu tersebut dengan hanya bersenang-senang. Selain alasan di atas, alasan lainnya adalah saya telah menyelesaikan naskah novel sebelum menutup tahun 2013. Sesuatu yang patut dirayakan, sebenarnya. Rencana pertama adalah, saya ingin nonton. Kemudian, saya teringat akan hadiah yang menjadi tahuran saya bersama Honesty—kita singkat saja menjadi Ones—yakni tiket nonton. Dulu, ketika saya mulai mengendus rencana novel Sunshine Becomes You akan difilmkan, saya menginginkan tiket gratis tersebut dialokasikan untuk menonton film itu. Tetapi apa dikata, bahkan sampai detik ini saya belum mengetahui perkembangan film yang diadaptasi dari novelnya Ilanna Tan tersebut.
            Karena takut si gadis asal Cirebon itu lupa akan janjinya, maka saya menagihnya untuk menonton kali itu. Sebenarnya tanpa tiket gratis itu pun, saya akan tetap menonton. Namun karena Ones takut dia kenal sial gara-gara tidak menepati janjinya—seperti tokoh Mia di novel Janji Es Krim—maka dia menepatinya. Yep, barangkali itu berkah natal untuk saya. Terimakasih Tuhan yang baik karena telah membuat Ones gagal move on dan kemenangan mutlak di tangan saya.


            Tidak berhenti di sana. Saya dibuat gamang saat berada di dalam bioskop, memilih antara Edensor atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Waktu penayangan pun menjadi perhitungan saya waktu itu. Pertama, saya bukan penyuka karya Andrea Hirata dan Edensor merupakan sekuel film sebelumnya yang juga tidak saya tonton. Kedua, saya sempat terpengaruhi oleh orang-orang yang menyampah di beranda facebook mengenai teaser film adaptasi novel Buya Hamka tersebut menyerupai Titanic.Oh shit... saya masih bisa tersugesti, pertanda iman saya masih ngawang-ngawang. Lupakan!
            Tetapi saya memiliki prinsif, saya tidak akan memercayai apa pun, sebelum saya melihat atau mengalaminya sendiri. Maka saya memutuskan menunggu beberapa menit untuk mengisi salah satu kursi di ruang yang menayangkan film besutan Soraya Intercine Film itu. Baiklah, kita segera akhiri basa-basinya dan mari kita mulai membedah isi filmnya.
***


Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Produse: Sunil Soraya, Ram Soraya
Sutradara: Sunil Soraya
Cast: Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahardian dll.
Produksi: Soraya Intercine Film

Film ini berkisah tentang Zainudin—diperankan Herjunot Ali—yang berkeinginan merantau ke Minang Kabau. Selain untuk menuntut ilmu, melihat keindahan nusantara, tempat itu juga merupakan tempat kelahiran orangtuanya—entah ayah atau ibu, tepatnya saya lupa. Dia adalah yatim piatu yang dibesarkan oleh pengasuhyang di Makassar. Dan berbekal uang yang diwariskan orangtuanya, yang sebagiannya diberikan pada pengasuh, dia pun bertolak dari Bugis.
Di tempat barunya, dia tinggal bersama seorang kenalan pengasuhnya—diperankan Christine Hakim—dan mulai mengenyam ilmu agama di sana. Pertemuan pertama dengan seorang Hayati—sebut saja kembang desa, diperankan oleh Pevita Pearce—yang elok membuat dia meyakini keberadaan cinta pada pandangan pertama. Diceritakan kalau Hayati ini memiliki nasib serupa dengannya.
Pertemuan selanjutnya dimulai ketika hujan turun sepulang mereka mengaji di sebuah surau, lalu Hayati bersama sepupunya lupa membawa payung. Bersama percakapan yang mengharuskan dua gadis itu bergegas menuju rumahnya, Zainudin lantas memberikan payungnya untuk dipakai Hayati dan sepupunya. Keluarlah percakapan yang agak kaku, khas dua orang asing di antara kedua orang itu. Memperlihatkan bahwa Zaenudin ini selain orang baik, juga berbudi pekerti luhur.
Komunikasi keduanya berlanjut dengan sepucuk surat yang diantarkan anak kecil. Hayati sering menerima surat yang puitis yang dikirmkan Zainudin, sementara dia acapkali bingung karena merasa tak mampu menyeimbangi keindahan kata-kata yang ditulis oleh lelaki penyuka syair itu. Kemudian, tanpa sengaja mereka bertemu di sebuah danau saat Hayati tengah mengambil air, dan Zainudin sedang menulis. Sejenak, mereka mengobrol dengan cara malu-malu.
Kedekatan dua insan yang sedang dilanda cinta itu tercium oleh tetua di sana yang bahkan salah satu darinya menambah-nambah cerita mereka. Sampailah keputusan oleh Datuk—tetua yang merupakan Paman Hayati. Diputuskan, Zainudin untuk tidak tinggal di tempat itu dan bertolak ke Padang. Sebelum pergi, Hayati telah membuat janji kepada Zainudin, bahwa selama apa pun lelaki itu pergi, dia akan tetap menunggu. Bahkan, gadis itu sampai bersumpah membawa nama nenek moyangnya.
Zainudin tinggal di sebuah keluarga seorang perempuan yang baik—diperankan Arzetti Bilbina. Lalu, sepucuk surat yang mengabarkan bahwa tak lama lagi Hayati akan ke tempatnya, bertemu dengan sahabatnya untuk menyaksikan pacuan kuda dan pasar malam. Pelbagai persiapan pun Zainudin lakukan, demi bertemu dengan si jantung hati. Dibantu oleh sahabat barunya, Bang Muluk—diperankan Randy Nidji.
Sementara Hayati telah sampai di rumah sahabatnya, Khadijah. Gadis minang yang telah modern itu berpakaian ala sedikit terbuka kala itu. Diceritakan kalau mereka keluarga yang terpandang. Lalu, pada saat yang sama, kakak Khadijah, Azis—diperankan Reza Rahardian—pulang ke rumah, membawa dua teman Belandanya. Lagi, cinta pada pandangan pertama berkat keelokan rupa terjadi di sini. Azis mengagumi kecantikan Hayati, terlebih ketika penampilannya berhasil diubah oleh adiknya.
Hari itu pun telah tiba. Hari di mana, Hayati dan Zainudin akan bertemu. Tetapi pertemuan dua instan itu tidak semulus yang dibayangkan. Mereka tak bisa melepas kerinduan masing-masing karena Hayati harus ikut bersama Khadijah. Zainduin bukan hanya terkaget oleh perubahan gadis itu, melainkan pertemuan yang telah dijanjikan itu tidak terjadi.
Cerita beralih, menuju musyawarah yang dilakukan Datuk di rumahnya. Dua lelaki melamar Hayati dalam waktu yang sama. Azis melewati salah satu kerabatnya, sementara Zainudin melalui sepucuk surat. Dengan banyak pertimbangan yang terkesan keadatan, maka mereka memutuskan menerima pinangan Azis. Dengan atau tanpa persetujuan Hayati. Pernikahan pun digelar, sepucuk surat diterima Zainudin dengan linangan air mata. Bagaimana bisa, gadis yang telah berikrar sumpah kepadanya, memilih pinangan lelaki lain dengan alasan, Zainudin adalah orang yang tak punya.
Cinta merapuhkan nalar. Cinta mengenyahkan logika dan cinta telah membuat Zainudin serupa gila. Dia terluka, bersama setengah kesadarannya, acapkali lelaki itu melapal nama Hayati. Kemudian seorang dokter menyarankan, untuk mengobati sakitnya, dipertemukanlah lelaki itu dengan Hayati yang datang bersama suaminya. Kemudian, sebuah tanda di lengan Hayati memperlihatkan bahwa dia telah menjadi milik orang lain.
Perlahan, Zainudin mulai bangkit. Bukan berarti serta merta menghapus jejak Hayati di hatinya. Atas saran Bang Muluk, dia pun menyelami kesukaannya terhadap syair, hikayat dan bentuk sastra lainnya. Dia berangkat ke tempat temannya Bang Muluk, lalu mengisi rubrik sastra koran lokal di sana dan seketika, koran tersebut menjadi sangat laku berkat cerita bersambung dengan judul ‘Teroesir’ hasil goebahan: Z. Perlahan, dia mulai bangkit beserta aktivitas barunya. Menyelami hobinya yang menghasilkan uang.
Sebuah tawaran menghampirinya, mengurus surat kabar di Surabaya yang hampir bangkrut. Bersama Bang Muluk, Zainudin pun berangkat. Mulai meniti karirnya dan di kota berjuluk Batavia, dia meraih kesuksesannya sebagai penulis buku, juga sebagai pemimpin surat kabar. Sementara Hayati menjalani kehidupannya sebagai istri dari seorang Azis yang diketahui memiliki perangai yang buruk. Suka berjudi, bermain perempuan dan terkadang melakukan kekerasan kepadanya. Karena urusan pekerjaan, dia bertolak bersama Azis menuju Surabaya dan tinggal di sana.
Takdir membawa kedua orang yang masih menyimpan cinta di dasar hatinya itu pada pertemuan komunitas orang-orang Minang yang menyelenggarakan opera yang diadaptasi dari buku Zainudin. Lelaki itu pula yang mengadakan pertemuan itu seraya mengadakan pesta besar di rumahnya yang megah. Betapa tertohok Azis dan Hayati melihat kesuksesan yang diraih Zainudin, lelaki yang pernah diolok lantaran ketidakpunyaan hartanya.
Pada saat itu, Azis tengah dililit hutang karena judi. Semua hartanya pun disita. Dengan berat hati, dia meminta bantuan kepada Zainudin, menumpang di rumahnya. Zainudin memberi tumpangan dengan syarat, tidak memasuki ruang kerjanya.
Lelaki dengan super egonya. Azis malu, menumpang berlama-lama beserta Hayati, di rumah orang yang telah disakitinya terdahulu. Dia sakit, lalu setelah sembuh dia berencana mencari pekerjaan di tempat lain. Padahal, waktu itu Zainudin memberi saran supaya mereka kembali ke kampung halaman mereka dengan biaya yang ditanggung olehnya.Namun Azis menolak. Dia menitipkan Hayati di rumah Zainudin sementara dia pergi.
Betapa campur aduknya perasaan Hayati, tinggal menumpang di rumah Zainudin. Dia pun hendak melakukan apa yang dibisanya, menyajikan teh hangat untuk sang tuan rumah. Namun Zainudin sedang tak berada di ruangannya, ada Bang Muluk yang melarangnya untuk tidak masuk ke ruang kerja sahabatnya. Hayati pun bertanya, lalu dengan belas kasihnya saat mendengar cerita Hayati, dia membawa perempuan itu ke dalam ruangan.
Tempat yang indah, tetapi kenapa tidak boleh ada yang masuk? Pertanyaan itu Hayati ajukan pada Bang Muluk yang tanpa kata-kata, lelaki berambut kribo itu membuka selembar kain penutup pada lukisan yang melekat di dinding. Terpampang lukisan Hayati yang mengenakan kain penutup kepala, penampilannya pada saat di kampung. Pada detik itu pula, Hayati berlutut dan menangis. Penyesalan yang dirasakannya semakin bertumpuk. Ditambah dengan kabar duka yang datang dari suaminya. Azis menceraikannya, lantas bunuh diri. Sebelum itu, Azis mengirim surat kepada Zainudin, berterima kasih atas kebaikannya, lalu dia membalasnya dengan memberikan sesuatu yang telah diambilnya, yakni Hayati.
Hayati yang merasa statusnya di rumah itu dipertanyakan, kemudian sikap Zainudin yang seolah masih menyimpan dendam terhadapnya, dia pun meminta kejelasan pada lelaki itu, memohon supaya memaafkannya. Terjadilah adegan yang mengharukan, saat Zainudin mengeluarkan segala isi perasaannya pada Hayati. Hayati yang dirundung sesal tiada bertepi itu mengemis, memohon supaya dia tetap tinggal bersama Zainudin, meski sebagai kacung sekali pun. Demi bisa menebus kesalahan di masa lalunya, terlebih, demi terus bersama dengan lelaki yang sampai detik itu pun, tetap dicintainya.
            Lagi-lagi, lelaki dengan super egonya. Zainudin tidak mungkin menjilat perkataannya sendiri. Dia teguh dengan keputusannya, mengembalikan Hayati ke kampung halamannya. Dia mempertegas status ‘sahabat’ yang pernah dikumandangkan Hayati dalam surat perpisahannya. Zainudin melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang sahabat kepada Hayati, sementara Hayati tidak bisa lagi berkutik. Bersama kapal besar buatan Belanda pada saat itu, dia bertolak menuju kampung halamannya. Dia berangkat bersama selembar foto Zainudin yang terus dipegangnya, dengan alasan dia tidak ingin merasa jauh dengan lelaki itu. Hayati merasa berat ketika harus menginjakkan kakinya di atas kapal besar itu, lalu meninggalkan Zainudin. Dia sudah merasakan firasat, kalau keberangkatannya seperti akan menenggelamkan dirinya ke dasar laut.
            Kemudian Zainudin yang baru menyadari kebodohannya, melepaskan perempuan yang begitu dalam dia cintai, segera kembali ke rumah, memesan tiket kereta yang akan membawanya ke kampung halaman Hayati, menjemput kembali perempuan itu, menyuntingnya sebagai seorang istri. Namun keinginan tersebut datang bersama surat kabar yang memberitahukan kalau kapal Van Deer Wijck tenggelam. Seketika, Zainudin merasa awan gelap merundungnya.
            Bersama perasaan sesal tiada tara, dia mencari ditemani Bang Muluk. Setelah mencari, kemudian ditemuinya Hayati tergolek lemah dalam sebuah blankar. Demi Tuhan, Zainudin menyesali semuanya. Menumpahkan rasa sesal yang menumpuk di dasar hatinya itu. Namun, takdir tidak membuat dua insan itu bersatu. Keinginan terakhir Hayati adalah, Zainudin membacakan dua kalimat suci di telinganya. Dan setelah itu, Hayati pergi untuk selama-lamanya. Membawa cinta yang selama ini hanya diberikan kepada Zainudin itu pergi.
            Bagi Zainudin, Hayati masih tetap hidup. Hidup dalam karya hikayat yang ditulisnya. Hidup dalam rumah besar yang dijadikannya sebagai panti asuhan dengan nama ‘Hayati’.
***
            Huh... saya sedikit lega setelah menuliskan sinopsis yang harusnya singkat, malah serupa sinopsis yang biasa saya kirimkan ke penerbit. Ya Tuhan... semoga tinjauan film pertama saya ini tidak kacau.
            Saya akan mengutuk diri saya sendiri jika seandainya saya termakan ke-sok-tahu-an beberapa teman saya di facebook yang telah menghakimi film ini dari teaser-nya saja, yang dengan heboh mereka menyebut film ini menyerupai Titanic. Sama sekali tidak ada unsur yang sama dalam film ini, kecuali cinta yang terhalang—oke, kupikir ini cerita klise milik Tuhan yang semua orang berhak memakainya—dan kapal yang tenggelam. Kemudian pernyataan mereka memperkukuh prinsip saya, jangan pernah menghakimi apa pun dari luarnya, begitu pun dari dalamnya. Sebuah karya lahir untuk dinikmati, diapresiasi, bukan dihakimi tanpa landasan yang jelas.
Saya menyukai film berdurasi panjang ini. Sebagai penonton, perasaan saya dibuat karut marut oleh kisah cinta mereka. Kisah ini berakhir tanpa kebersamaan antara Zainudin dengan Hayati, tetapi dapat dikategorikan berakhir dengan bahagia. Proporsi kesakitan antara keduanya dibuat seimbang, kesakitan Zainudin serat penyesalan Hayati. Membuat pengambilan sudut pandang film ini ballance. Saya menyukai itu.
            Tema adat yang diangkat, setidaknya dapat membuka mata serta pikiran semua manusia di dunia ini. Jujur saja, film ini membuat saya berkaca-kaca, terlebih ketika Zainudin membisikan dua kalimat suci ke telinga Hayati. Saya larut ke dalamnya. Kemudian, saya katakan film ini mengaduk-aduk perasaan lantaran suasana sedih disajikan berbarengan dengan kelucuan, yang dilakukan Bang Muluk misalnya. Atau gaya Zaindudin yang selayaknya penyair. (Hal yang membuat tokoh Zainudin kurang, lantaran Herjunot Ali pernah berperan hampir serupa di film 5 CM)
            Menyoal animasi yang menggambarkan suasana kapal yang masih sangat kurang, padahal ini hal yang paling vital menurut saya, lantaran menjadi benang merah cerita, tetapi saya maklumi untuk ukuran Indonesia. Noise lainnya adalah, ketika itu semua kursi bioskop penuh. Gelak tawa yang tidak pada tempanya, membuat konsentrasi berkurang. Oke, itu adalah problem ekstern ya.
            Saya menyukai film ini. Saya tidak mengerti konsep dalam novel atau pun dalam film ini, tetapi saya melihat film ini juga membawa misi dakwah Islam secara tidak langsung. Saya memandangnya demikian.
            3.5 Bintang untuk film besutan Soraya Intercine Film ini.


3 komentar:

  1. Yg pernah saya baca dr berbagai sumber sih, dalam bukunya emang mengandung banyak dakwah islam namun juga banyak dikikis dalam filmnya.
    Dan btw, joke yg diselipkan dlm adegan serius barangkali cara sutradara untuk memecah ketegangan .. yah, opini org kan beda2.

    BalasHapus
  2. Terima kasih Aghniya sudah berkunjung.

    Wah, saya yang sangat awam soal agama, dapat menangkap pesan dakwahnya di sana. Soal lelucon, sepertinya itu memang trik lazim. Padahal kalau dibuat full sad.

    BalasHapus
  3. Ya Tuhan, Dion, membaca komentarmu di blog-mu sendiri membuat saya merasa asing. Kenapa di dunia maya kamu seperti malaikat? berbeda sekali dengan aslinya. atau cuma cara saya yang membacanya saja yang seperti malaikat? bukankah TEKS hanyalah tulisan tak beremosi? bukanah sang pembaca-lah yang sebenarnya yang memberinya emosi?

    Eiitss, cukup! saya tahu apa komentar anda. Bagaimanapun komentar anda, Saya masih meyakini Tuhan. (Off the record, ya)

    BalasHapus