Sabtu, 18 Januari 2014

Pa, Ma, Please...!





(Windra)
            Akhirnya mereka memutuskan...
            Ini adalah situasi yang membuat guedan Windry tersudut. Oke, bisa dikatakan ini solusi terbaik buat mereka setelah hampir berbulan-bulan mereka berjibaku dengan ego masing-masing, merasa merekalah yang paling benar. Memposisikan diri sebagai manusia—sebagai seorang lelaki dan perempuan. Tak pernah memposisikan diri sebagai seorang ayah yang seharusnya bisa berpikir lebih bijak dan sebagai ibu yang lebih penyabar. Apakah mereka pernah berpikir dengan situasi kami sekarang?
            Palu sudah diketuk tiga kali. Setelahnya, gue sempat melihat mama dan papa bersalaman.Mereka saling berpandangan dan tersenyum. Melihat itu, gue berharap kalau mereka tersenyum bukan karena putusan hakim. Ya, meskipun gue tahu, sepertinya itu mustahil. Dan setelahini, apakah hubungan gue dengan Papamasih bisa kayak dulu...? Terus apa gue masih bisa memanggil Mama dengan sebutan Mama? Lalu, gue akan tinggal di mana setelah ini?Bersama dengan siapa setelah beberapa bulan terombang-ambing dan memutuskan tinggal bersama Oma.

Dulu guemasih bertanya-tanya tentang semua itu. Tentang keadaan rumah yang nggak senyaman dulu. Tentang air mata Windry yang selalu jatuh saat dia bercerita di kamar gue. Gue nggak sanggup ngeliat dia menangis. Dibanding gue, sepertinya dia yang paling terpukul. Dan gue mulai tahu setelah temen gue memberitahunya. Dia bilang,“Itu hanya masalah orang dewasa dan lo nggak perlu memikirkannya.”
Memang, tapi apakah permasalahan orang dewasaterlalu sulit sehingga mereka—orang dewasa—memilih jalan pintas berupa perceraian?

(Windry)
            Aku nggak tahu harus memulainya dari mana. Sebenarnya ini adalah aib keluarga, tapi aku sudah nggak kuat menahannya. Aku bukan Windra yang selalu tegar dalam menghadapi ini seolah keadaan keluarga kami masih tetap sama. Padahal jelas sudah berbeda. Papa sudah dengan istri barunya, sementara aku dan Windra untuk sementara tinggal di rumah Oma.
Aku jarang sekali melihat Papa beberapa bulan ke belakang, sebelum hari ini. Dia yang berangkat bekerja sebelum aku dan Windra bangun dan pulang setelah kami terlelap, hah... sebegitu sibukkah Papa? Pernah sekali melihat dia lelap tertidur di sofa ruang tengah ketika tengah malam aku terbangun karena haus. Kemeja kantor masih melekat di tubuhnya. Gurat lelah terpampang dari wajahnya. Mungkin Papa terlalu lelah sehingga tertidur di sana.
Mama memiliki banyak luang, tapi justru itu yang menyiksa bagi kami. Hampir setiap hari sebelum hari ini Mama selalu marah-marah nggak jelas. Aku dan Windra selalu menjadi sasaran amarahnya. Padahal kami nggak tahu kesalahan apa yang kami perbuat sehingga Mama semarah itu. Bukan hanya sekali dua kali, tapi sering dan setelahnya, seringkali aku mendengar tangis Mama terisak di kamar.
Hah... hanya Windra tempatku berkeluh kesah. Meski terlihat cuek, aku yakin dia juga merasakan apa yang aku rasakan, karena kami lahir dari rahim yang sama.

(Papa)
            Mungkin hanya inilah penyelesaian dari permasalahan yang cukup rumit ini. Intinya, saya dengan istri saya sudah tak satu pemikiran lagi. Ibarat sebuah benang yang sudah kusut, sangat sukar untuk diluruskan kembali. Dua bulan setelah pengadilan memutuskan, saya sudah menemukan kembali pasangan hidup dan kami sudah tinggal di rumah baru bersama keluarga baru.
            Windry dan Windra untuk sementara saya titipkan di rumah neneknya karena pengadilan belum memutuskan hak asuh merekajatuh ke tangan siapa. Mereka berdua belum genap tujuh belas tahun, tapi sudah harus menerima sebuah kenyataan pahit. Meski ini keputusan terbaik untuk kami, tapi saya yakin, ini bukan yang terbaik untuk mereka berdua. Windry, gadis manis yang periang sementara kembarannya, Windra, lebih terkesan pendiam.
            Beberapa kali saya mengajaknya ke rumah baru dan menyuruhnya tinggal di sana bersama adik baru dari istri saya. Istri saya bisa menerimanya, bahkan dia sendiri menyiapkankamar secara khusus untuk mereka berdua. Tapi entah mengapa, seperti ada sesuatu yang mereka berdua simpan.Apalagi Windry, gadis itu tidak seceria dulu. Dia terlihat murung sementara Windra semakin pendiam.
            Kadang saya rindu, ingin menghabiskan akhir pekan bersama mereka, tapi... mereka berdua tampak canggung berada di antara kami. Entahlah....
            Satu minggu lagi pengadilan akan memutuskan siapa yang berhak mengasuhnya. Saya optimis bahwa saya yang akan mendapatkannya. Dan pada saat yang sama, di ponsel saya tertulis, satu minggu lagi Windra dan Windry genap berulang tahun yang ke tujuh belas. Sebuah piano klasik yang selama ini menjadi impian mereka sudah saya siapkan, hanya tinggal menunggu hari H saja.

(Mama)
            Usia Windra dan Windry belum genap tujuhbelas tahun sehingga pengadilan memutuskan hak asuh dijatuhkan kepadaku, sebagai ibunya. Dari awal aku sudah yakin dan jikapun hak asuh jatuh kepada ayahnya, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Aku tidak ikhlas jika Windra dan Windry harus diasuh oleh lelaki tukang selingkuh. Cukup aku yang disakiti olehnya.
            Setelah pengangkatanku sebagai manajer, jadwalku semakin padat dan intensitas pertemuan dengan kedua anakku hanya saat sarapan pagi saja.Selepas itu, aku tak punya banyak waktu bersama mereka. Harus kuakui, mereka berdua terlantar.
Aku sedikit mengekang mereka, sengaja supaya tidak terlalu banyak bertemu dengan ayahnya. Lihat saja, baru tiga bulan pengadilan memutuskan, dia sudah kembali menikah. Dasar lelaki! Mungkin Windry dan Windra sudah bisa menilai ayahnya sendiri. Dia sudah beranjak remaja, dan dia pasti mengerti.
            Pernah suatu malam Windry mengetuk pintu kamar, memamerkan nilai raport-nya yang merupakan  nilai tertinggi satu sekolah. Sebenarnya aku sangat bangga, tapi karena malam itu aku terlalu capai sehingga tidak bergitu mengacuhkannya.Terus,Windra pernah menelponku supaya menonton final basket sekolahnya, mana bisa aku keluar kantor seenaknya. Dan sebagai reward, hari ini aku mengajak mereka berdua keluar, menghabiskan akhir pekan bersama mereka.
            Namun sepertinya rencana ini akan gagal, karena di depan, mobil sedan silver seperti sedang berjalan menuju halaman rumah kami.

(Windry)
            Aku tak kuasa lagi untuk menahan bendungan airmata ketika melihat mama dan papa yang kembali terlibat dalam pertengkaran. Sudah lelah aku menerima semua ini. Kupikir, setelah mereka memutuskan bercerai, situasi seperti ini sudah tak akan kami temui lagi. Ternyata salah...!
            Di sebelahku, Windra tampak seperti biasa. Tidak ada gurat kesedihan seperti yang kuperlihatkan. Apa karena dia laki-laki, atau dia yang sudah kebal dengan situasi ini? Dia hanya merangkulkan tangannya ke pundakku. Perlakuannya sedikit membuatku tenang, aku merasa tak sendiri, ada Windra di sisiku. Dan sepertinya dia juga merasakan apa yang aku rasakan... aku yakin itu....

(Windra)
            Apakah menjadi dewasa itu seperti ini, seperti mereka? Satu lelaki dan satu perempuan yang usianya lebih dari tujuh belas tahun, lalupernah mengarungi bahtera rumah tangga selama belasan tahun, lalu terlibat cek-cok mulut yang terlihat miris? Gue masih mematung di halaman rumah, hanya berjarak beberapa langkah dari papa dan mama yang masih berperang mulut. Terus apa yang bisa gue lakukan sekarang? Sejujurnya, dengan status ini saja gue sudah menderita. Bisa saja gue seperti anak broken home kebanyakan: pelarian ke drug, free sex atau kabur-kaburan dari rumah, tapi otak gue masih berpikir sehat sehingga nggak perlu ngelakuin hal konyol seperti itu.
            Yang gue denger dari cek-cok mulut mereka sebenernya sepele. Papa sengaja menjemput kami berdua untuk mengajak menonton konser orkestra. Hal ini dia lakukan mendadak karena ingin membuat kejutan, dan benar-benar telah membuat kami berdua terkejut. Mama yang juga akan mengajak kami ke sana nggak mau pergi berbarengan karena Papa juga mengajak istri dan anak tirinya, lalu... terjadilah pemandangan yang sudah bosan kami lihat ini.
            Rasanya amarah ini sudah naik sampai ubun-ubun. Gue udah nggak bisa berdiam diri lagi buat ngadepin ini. Gue harus bertindak, sebagai anak laki-laki mereka. Akhirnya, gue melepas rangkulan tangan gue di bahu Windry, dan berjalan untuk menghampiri mereka.
Langkah gue terhenti ketika mendengar suara sesuatu yang jatuh ke lantai. Suara itu cukup keras, dan ketika gue berbalik Windry sudah tergeletak di lantai dengan hidung yang mengeluarkan darah. Gue berlari ke arahnya, gue panik dan tak lama setelah itu suara cek-cok tadi terhenti. Mama dan papa sudah berada di dekatku, berkali-kali menyebut Windry dengan panik.
***
(Papa)
            Ini semua salah saya. Mungkin kalau saya tidak membuat acara kejutan seperti ini, ini semua tidak akan terjadi. Oh tidak, mungkin jika saya menurunkan ego sedikit saja, saya menonton bersama anak dan istri saya, sementara Windry-Windra menonton dengan ibunya. Bukankah dengan itu, kami juga sama-sama nonton bersama. Hah... dan seharusnya ini juga tidak terjadi. Rasanya sudah cukupkami melakoni itu semua, dan tidak pernah berpikir nasib anak-anak.
            Bodoh! Sekarang saya bersama Windra dan ibunya tengah menunggui Windry dan menunggu hasil pemeriksaan dokter karena Windry tak sadarkan diri setelah dibawa ke rumah sakit. Sementara istri saya sudah pulang.
Hanya satu harapan saya, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Windry. Semoga saja....

(Mama)
            Ini salahku...! seandainya aku takmelarang anak-anak menonton dan pada akhirnya cek-cok bersama Mas Rama, ini semua tak akan terjadi. Windry... maafkan Mama, ini semua salah Mama. Kenapa juga emosiku bisa terpancing ketika melihat Mas Rama datang persama perempuan itu. Perempuan yang sudah menghancurkan rumah tangga kami. Jika saja aku bisa menahan amarah, Windry tidak akan berada di tempat ini.
            Mas Rama terlihat gelisah, berjalan ke sana ke mari, menunggu hasil pemeriksaan dari dokter. Windra terlihat sedikit tenang, syukurlah melihatnya seperti itu membuatku yakin kalau Windry tidak akan kenapa-napa. Sejak kecil, mereka memiliki ikatan batin yang sangat kuat. Tapi, akh... tetap saja perasaanku dilanda gelisah melihat Windry tergolek lemah di sana. Aku takut terjadi apa-apa dengannya.
            Windry... maafin Mama, semoga kamu tidak apa-apa.Maafin Mama yang tidaklagi bisa memperhatikan kamu sepenuhnya. Seolah tidak peduli terhadap perasaanmu, perasaan kalian. Lalu kesunyian di antara kami dikejutkan oleh suara parau Windra yang sejak tadi memilih bungkam.

(Windra)
            “Harusnya kalian bisa bertindak lebih bijak sebagai orangtua. Hilangkan sedikit ego kalian ketika sedang bersama kami. Sebenarnya, kamilah yang paling tersiksa atas situasi ini. Apa kalian pernah berpikir ke sana? Memikirkan perasaan kami atas ego kalian...?” Akhirnya gue memiliki kekuatan untuk mengatakan itu.
            Gue nggak peduli pandangan mama dan papa terhadap gue akan seperti apa. Anak nggak sopan, nggak beretika, nggak terpelajar..., gue nggak peduli. Gue hanya ingin menyuarakan hati gue dan Windry atas apa yang selama ini kami rasakan. Gue tahu, Windry nggak setegar gue, sebagai cewek dia terlihat sangat rapuh dan gue nggak bisa menerima vonis dokter atas penyakit Windry.
            “Maafin Papa, Dra....”
            “Maafin Mama juga....”
            Hanya kalimat itu yang gue dengar setelah itu. Apa salah jika gue mengatakan kalau permintaan maaf mereka sudah sangat terlambat?
Dan nggak lama kemudian seorang dokter menghampiri kami dan memanggil papaserta mama, dan gue... gue juga harus ikut. Gue harus tahu keadaan Windry.
***
(Windra)
Jari tangan gue menari bebas di atas tuts piano klasik yang diberikan papa di hari ulang tahun gue dan Windry. Gue memainkan lagu Amazing Grace. Ini bukan lagu kesukaan Windry, hanya saja lagu ini yang paling tepat guemainkandi hadapan papa dan mama. Ada genangan di mata mama. Begitu juga papa. Gue melihatnya dari sini. Dan... bukan hanya mereka yang terpukul. Gue lebih merasakannya ketika seseorang yang selama ini berada di samping gue, pergi...
Kenapa harus ada pengorbanan terlebih dulu untuk mendapatkan sesuatu. Memang papa dan mama nggak kembali seperti dulu karena banyak hal yang nggak bisa membuat mereka kembali bersatu, tetapi duka ini membuat mereka terlihat rukun kembali. Gue senang melihatnya, tapi... gue akan lebih bahagia lagi kalo gue melihatnya dari sini, dari balik piano bersama Windry yang juga ikut memainkannya di samping piano. Mungkin gue akan menemukan happy ending dalam cerita hidup gue.
Namun sekarang semua itu sepertinya hanya mimpi buat gue, karena dia yang harus berkorban atas ini. Dia meninggal satu tahun setelah terjatuh waktu itu. Mama dan papa nggak sadar—bahkan gue sendiri—kalau selama ini Windry mengidap kanker darah.
Ken Keyes pernah berkata, jika Anda kehilangan cinta, Anda kehilangan kehidupan. Gue kehilangan Windry, dan gue kehilangan kehidupan gue. Tapi akhirnya gue merasa, kehilangan Windry telah mengembalikan kehidupan kami kembali. Dia telah berkorban untuk ini, dan akhirnya kami harus belajar untuk merelakan....

*Cerpen ini tergabung dalam antologi ‘Im Not Chicken’ bersama beberapa anggota CFC grup Cendol.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar