Sabtu, 25 Mei 2013

Diterbitkan Batak Pos; Sang Jawara


Sang Jawara
Oleh: Dion Sagirang
            Wajahnya tertunduk lesu di dekat jendela. Sesekali pandangannya mengarah ke luar. Suara gerimis menyatu dengan alunan Titik Puspadalam  piringan hitam yang sejak senja tadi berputar. Gurat penyesalan serta kesedihan mendalam nampak dari garis wajahnya yang mengeriput. Wajah kejayaan tempo dulu. Abdi dalam masa Founding Father, barangkali di masa Bapak Pembangunan. Entahlah. Hanya ia dan guratan waktuyang tahu. Air mata tak urung menjadi jawaban ketika ada yang menanyainya.Tidak ada yang lebih baik dari bungkam, menyimpannya...rapat. Jiwa prajuritnya melekat, menyatu bersama aliran darah dalam setiap potongan daging dan bahkan jiwanya lebih kokoh dari tulangnya.
            Akulah saksi sejarah, saksi peradaban dari sebuah masa peralihan. Masa yang tidak lebih baik dari masa berbau demokrasi. Klise. Bentuk penindasan hanya berbeda istilah, satu dengan yang lainnya. Lalu menyatu dengan prakata baru.
Dari balik ruang berkaca aku menatapnya. Di sini, aku dapat melihatnya jelas, lebih jelas dari sekadar mematut diri di hadapan cermin tua. Ketika rintik mulai membasahi tanah yang menebar aroma kebangkitan. Juga cairan bening yang mulai mengalir dari sudutmatanya yang sayu. Aku bisa merasakannya. Keketiran yang lebih, ketika suara baku tembak bersahutan di udara, suara tangis memekik,jerit terperangah dalam kubangan. Kematian menjadi sebuah hal yang lumrah, seperti area pejagalan. Darah mengenang meski bukan pada lubang. Kepala-kepala penghianat negara menurutnya kini tinggal di tendang, menggelinding, nyanyiannya lebih merdu dari gesekan biola, dengan bau amis yang nikmat.

            Bapak pernah bercerita itu kepadaku dulu. Kepulangannya membumbung haru, di tengah keketiran ibu yang setiap hari bersidekapmengucap doa.
“Tuhan tidak tuli..., bisikan sekecil apapun, maka semua akan terkabul.” Ibu berpegang teguh pada keyakinan itu, turun temurun dari leluhur. Garis wajahnya tegas, barangkali tegang. Sulit membedakannya kala itu. Kebaya putih berpayet abu, samping batik yang melilitnya, tak pernah dilepas. Semua orang tahu, darah biru masih kental dengannya.
Yang kuingat dulu, apa bedanya Bapak dengan pembunuh sadis yang aku tak pernah mengenal istilah itu sebelumnya.Kepuasan besar diraihnya ketika berhasil menggelindingkan kepala-kepala yang dianggap penghianat negara.
            “Tidak ada yang lebih membanggakan, bau amis itu lebih wangi dari kasturi, rasanya lebih manis dari tebu sekalipun.” Ucapnya bangga, membisikan ultrasoniknya ke telingaku. Setengah lari ibu menghampiriku, segera menutup kedua telingaku dan kakakku dengan kedua tangannya. Jari lentik membingkai bibirnya yang ranum. Memberi kode agar bapak tidak melanjut kepongahannyaIa memelukku sehingga wajahku mencium daging-daging yang dulu memberiku kehidupan. Aku merasakan gerak tangannya, menghimpitku..
            Sudah hampir dua jam bapak masih setia memandangi rintik hujan, menghitung setiap titiknya. Dinding kecoklatan memberi warna kelam, jati berpernis ukiran khas Jepara menghiasi sudut ruangan.Piringan hitam masih terus berputar, mengalunkan senandung masa lalu. Kristal bening mengaliri kedua pipinya, kontras dengan warna kulit gelapnya. Kedua tangannya ditelungkupkan, disatukan, diremas, sampai satu tetes kristal bening menjatuhinya. Lalu matanya terpejam.
Dari sini aku masih menatapnya lekat. Tidak terasa, cairan hangat membasahi pipiku hingga nampak sembab. Bersama alunan lagu-lagu kebebasan yang diusung negera barat, aku mulai hanyut. Nyanyian ibu dulu sangat merdu, sajak Sunda yang dibacakannya ketika menjelang tidur, oh tidak, Arum—kakakku—lebih menyukai dongeng Sangkuriang dari pada sajak.
Sejujurnya aku tak kuasa memandangnya. Wajah tirus dengan hanya terbungkus kulit tipis sehingga tonjolan-tonjolan tulangnya nampak jelas. Dulu ia tidak seperti itu, garis wajah tegas, kulit gelap menambah garang, dengan tubuh tegap gagah layaknya prawira. Tangan kirinya mengapit senjata, tangan kanannya berkacak pinggang. Dialah Sang Komara. Prajurit kebanggaan. Sudah tak terhitung berapa kepala gerombolan yang sudah dipisah dari tubuh, sudah terlalu banyak jiwa yang direnggut dari jasad-jasad tak bersalah.
            Ketika malam menjelang, ketika temaram rembulan tak dapat menerangi kegelapan terdalam. Suara burung kematian terdengar memekik dari balik pohon besar dekat pertigaan jalan yang sudah senyap. Aku dan Arum selalu takut dengan nyanyiannya, seperti mengundang jiwa untuk melanggar sumpah dengan jasad. Keluar dari garis yang sudah Sang Kudus tetapkan. Dalam keremangan lampu damar—lilin tradisonal dari minyak—yang cahayanya menari bergidik tertiup angin. Dengan segera, ibu merangkulku bersama Arum, mematikan lampu damar seraya membisiki kami,“Tidurlah nak, malam masih panjang. Menarilah bersama mimpi,esok akan baik-baik saja.” Suaranya lembut menggetarkan. Sembari mencoba menutup mata, aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk bertanya.
            “Sampai kapan malam akan seperti ini terus, Bu?”
Ibu menghembuskan nafasnya panjang. Mata bundarnya menatapku, menatap Arum yang sudah terlelap dalam mimpi.
            “Suatu saat kamu akan mengerti, tidurlah!” ia tersenyum. Dalam kegelapan, hanya giginya yang putih meratabersama bola matanya yang bisa kutangkap, meskipun samar.
            Selang beberapa tahun, setelah ibu menyekolahkanku dan Arum ke SR, aku kembali bertanya kepadanya atas situasi yang sama persis seperti dahulu. Jawaban Ibu masih tak berubah, “Suatu saat kamu akan mengerti!” katanya dingin. Maka suatu hari, ketika Bapak pulang dari tugasnya dan ibu sedang tak di rumah, aku memberanikan diri bertanya. Bapak tertawa pongah. Lagi-lagi jawaban angkuh yang keluar dari lisannya.
            “Kegelapan itu kehidupanku, Bumi. Dalam kegelapan, aku laksana iblis yang tengah meliuk-liuk, memenggal ratusan kepala. Dan kau tahu berapa jumlah kepala yang sudah terpelanting di sangkurku?” ia menatapku tajam, “599 kepala, Bumi,” kalimat itu dibisikannya tepat di telingaku.“Tinggal 1 kepala lagi, lalu genaplah 600.” Ada isyarat kehausan di matanya. Kehausan mengerikan yang tak sepenuhnya kupahami. Tawanya kembali membahana, seolah-olah rumah kami dan seisinya bergetar karenanya. Jika penguasa kegelapan itu benar-benar ada, tentu benar ia adalah bapak. Tiba-tiba ibu sudah berdiri di ambang pintu, dengan keranjang belanjaan yang baru saja menghantam ubin, ibu segera meraih kepalaku lalu menyembunyikannya dalam peluknya.
            “Belum saatnya ia mengerti, Komara!” ibu segera membawaku ke kamar, menyuruhku kembali berlatih membaca meski aku sudah hatam. Lalu ia kembali ke ruang tengah. Aku mendengar nada bicaranya meninggi, dengan menyebut nama bapak lantang. Tidak seperti biasanya. Darah biru atau darah apapun itu, ketika marah, mereka tetaplah manusia. Sisi baik, buruk berdampingan meski tak pernah selaras. Seia sekata.
            Usia lima belas tahun sudah termasuk cukup umur bagi seseorang perempuan untuk menemukan pasangan tulang rusuknya. Seperti halnya Kartini, seorang perempuan yang manut dengan tata aturan, aku pun begitu. Bapak menjodohkanku dengan pemuda yang dipilihkannya, prajurit junior didikannya yang kelak akan meneruskan kejayaannya, akh aku harap jangan, cukup bapak saja. Aku hanya dapat mengangguk pelan. Cinta berkumandang dalam naungan tak sekata, namun akhirnya luluh dan mencuat dengan benih baru.
Tapi tidak dengan Arum. Ia kukuh dengan keinginannya, menikahi pemuda kampung sebelah yang menurut bapak tidak memiliki masa depan. Jaman masih belum berubah, kelompok gerombolan masih bertebaran, seperti memberi celah untuk memuaskan nafsu bapak.
            “Dia kelompok gerombolan, Arum. Tinggalkan dia sebelum aku bertindak lebih!” bapak tidak pernah main-main dengan perkataannya. Gerak lidah adalah langkah awalnya sebelum eksekusi.
            Sungai air mata tak terbendung lagi kala itu, ketika sesosok jasad berlumuran darah dengan kepala terpisah. Langit duka tengah menghampiri jiwa perawan yang menunggu sang pangeran datang meski tanpa kuda putih. Arum tiba-tiba berubah semenjak kematian Jaka, pemuda yang dianggap anggota gerombolan itu,mati mengenaskan di tangan bapak. Sama seperti korban-korban kepongahan lainnya. Tanah yang tak bersalah, harus menyesapi amis kematian. Ia lebih suka menyendiri, tidak makan selama berhari-hari. Sampai suatu ketika ibu mendapati jasad putri pertamanya menggelantung pada selembar kain samping. Kesedihan luar biasa mendera sosok tenang ibu, kini ia rapuh. Kehilangan separuh jiwanya, bersama jiwa perawan yang telah pergi.
            Kematian putri pertama tidak membuat sang jawara takluk. Ibarat kelapa, semakin tua semakin menjadi. Keprajuritannya semakin membabi buta. Selain menghempaskan ratusan nyawa gerombolan dengan tidak berkeprimanusiaan, ia juga mulai menyiksa warga-warga setempat yang membangkang. Tidak sedikit pula yang berakhir dengan kematian. Hilang sudah sisi kemanusiaannya, ia hanya seonggok manusia dengan jiwa yang digadaikan. Hampir setiap hari, ada saja air mata yang tumpah dari kelopak mata ibu. Mata indahnya kini hanya menjadi lautan penyesalan. Dirinya menanggung beban akibat sang panutan.
            Ibu seperti jasad tanpa nyawa, aura kecantikannya seketika redup.Sedang bapak laksana kumbang jalang, tidak bisa hidup tanpa madu. Suatu kabar yang menusuk ulu hati ketika bapak menemukan bunga baru untuk dijadikan pelabuhannya. Dari pada harus mengurusi perempuan penyakitan yang tinggal menunggu kereta kematian menjemputnya, ia lebih memilih bunga baru yang lebih segar. Aku tak kuasa menyampaikan kabar buruk itu padanya. Yang kulihat kini tak ubahnya mayat hidup. Miris.Air mata sudah menjadi panganan harianku. Pengabdian pada suami mulai menuntutku. Kehidupanku sudah dijual, hingga mencuat pembatas antara ibu dan anak. Ini aturan terlaknat menurutku. Sampai Tuhan memanggilnya dan memilihkan surga sebagai tempat barunya. Bagiku itu lebih baik, daripada harus melihatnya setiap hari bermandikanderita. Sedang batu berkulit manusia itu, tengah bersenang-senang dengan madu barunya.
            Berselang beberapa bulan kemudian, aku mendengar kabar yang entah ini kabar bahagia atau duka. Isteri muda bapak meninggal ketika tengah melahirkan anak pertama yang kehadirannya dianggap sangsi. Bapak seperti tidakmau mengakui kandungan itu sebagai benihnya. Maka sang jabang bayi lebih memilih tidak terlahir, bersama jiwa yang membuat dirinya hina. Betapa terpukulnya bapak, sampai akhirnya ia jatuh sakit.
            Bertahun-tahun waktu bergulir, kepala pemerintahan beberapa kali bergeser. Hanya wajahnya saja yang menurutku berubah, sedang hati dan jiwanya masih sama. Kamuflase. Prajurit bertangan dingin kini tinggal nama, bahkan sebagian orang tak mengenalinya lagi. Dalam satu minggu, aku hanya sesekali membawanya keluar untuk menemui Tuhan. Gereja adalah tempat yang bisa membuatnya tenang, sedang nisan ibu hanya menjadi pelabuhan rindu serta sesalnya. Aku menangis dalam keharuan. Sebuah akhir yang tidak lebih baik.
            Kembali kupandang sosoknya. Air matanya seperti sulit terbendung bersama butiran hujan yang tak berhenti.Kali ini ia tengah merangkul sebuah lukisan kecil bergambar bidadari bermata sendu. Ia menatapnya dalam. Air mata terus mengalir dari kelopak matanya yang dalam. Malam semakin larut dengan rasa dingin yang mulai mengegerogoti kulit. Aku berdiri, melangkahkan kaki yang mulai kaku. Kuambil mantel hangat yang tergeletak di sebelahku. Kupandang sosoknya yang sangat berbeda dengan dulu. Kukembangkan senyuman seraya melingkarkan mantel hangat itu pada tubuh keringnya,
Jiwa Bapak akan tetap hidup dalam benak Bumi ...


.: Sebagian cerita diangkat dari cerita pribadi Paman yang memang mantan seorang prajurit.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar