Senin, 10 Oktober 2011

Aku Lumpur Hitam 1

ilustrasi: ist

Aku duduk terpaku disebelah ranjang yang baru saja menyanggah tubuh kami. Asap rokok masih mengepul. Puntungnya masih menyala. Bau alkohol menyengat tercium dari tubuhku yang telah diselasarinya. Peluh bercucuran membasahi tubuhku. Mengalir bersatu dengan peluhnya. Mulutku masih basah bekas lumatan bibirnya yang membuatku menyeringai. Bibirnya yang ranum menggoda kelelakianku. Geriknya semakin liar membuat tangan dan lidahku menjelajahi semua bagian tubuhnya. Sampai kutemukan satu titik yang membuatnya  berteriak mendesah. Ia mulai menikmati alur permainanku. Permainan yang hampir setiap malam kulakukan, hingga pekat malam perlahan menjadi terang.
                Ia tertidur lelap setelah aku akhiri permainan liarku. Termat cantik. Usianya yang baru 18 tahun membuat birahiku berapi-api. Biasanya, hasratku tersalurkan pada wanita-wanita tua kesepian yang selalu meninggalkan rupiah setelah nafsunya terpenuhi. Mereka begitu haus. Dari sorot matanya yang seperti anjing betina. Sisi agresifnya nampak. Setiap lumatan bibirnya penuh gairah meluncuri sekujur tubuhku yang masih sangat segar. Tubuh usia 25 tahun sepertiku yang mereka inginkan. Dengan usia yang tak muda lagi, hasrat bercintanya begitu menggebu. Ya…. Mereka wanita-wanita kesepian yang birahinya terabaikan. Para suaminya sudah tak mampu lagi memenuhi hasratnya. Tak sedikit juga mereka yang sering ditinggal suami untuk keluar kota dengan berbagai macam alasan. Atau mungkin suaminya yang sudah terlalu rentan sehingga kelelakiannya tak  mampu lagi menegang. Apapun alasannya, mahkota kewanitaannya kesepian. Sudah tak terjamah lagi. Begitu tersiksanya mahkota kewanitaan mereka. Wajahnya sesak terbungkus celana dalam super ketat. Tak ada ruang untuknya bernafas. Mahkotanya hanya dijadikan hiasan semata, atau barangkali hanya menjadi tempat pembuangan air seni dan darah menstruasi saja.
                Selama ini aku masih menikmatinya meski rasa mual tiba-tiba menyeruap ketika menyelasari wajah dan bagian tubuh lainnya. Bau alkohol, aku sangat menyukainya. Tetapi bau bedak yang membaluti kulit keriputnya membuatku ingin muntah. Kulit usangnya sudah tak mampu lagi disembunyikan lagi saat bergelut diatas ranjang.
Kini aku merasa muak. Aku hanya dijadikan objek birahi wanita-wanita tua itu. Meski tak dapat kupungkiri, apartemen, mobil mewah dan hidupku yang berkelimpahan ini adalah buah dari itu semua. Sampai wanita uzur yang terakhir meniduriku berucap, “terima kasih…” dengan bibirnya yang masih menciumi batang leherku. Aku muak dengan semua itu. Aku hanya sebuah objek nafsu!!! Acapkali aku menyadari semua kesalahanku. Tetapi rayu alkohol membuatku melakukannya dan kembali melakukannya.
                Seusai bersenggama dengan gadis yang kini terlelap dalam mimpinya, aku tak dapat lagi memejamkan kedua mataku. Sedikit merenung ditemani batang rokok yang hampir habis dalam setiap hisapanku. Aku sempat menitikkan air mata. Pagi itu aku merasa betapa hinanya diri ini. Aku telah menyalahgunakan kelelakianku. Apa maaf  Tuhan masih terbuka untukku ?
                Aku masih memandangi garis wajah cantik wanita yang baru saja kupuaskan hasratnya. Ia terlelap tidur diranjangku. Ranjang yang teramat kotor. Bau tubuhku tercium disana. Oh tidak…. Tidak hanya bau tubuhku, tetapi bau tubuh-tubuh wanita lainnya. Puluhan atau bahkan ratusan bau tubuh bercampur disana. Setelah aku renungi, itu sangatlah menjijikan.
                Dengan mata yang berkaca-kaca, aku mengambil celana dalamku yang tergeletak begitu saja. Aku merasa malu bercampur hina melihat setiap bagian tubuhku yang sangat kotor ini. Aku baru menyadari setelah bertahun-tahun menjalaninya. Aku sampai mengutuk kelaminku atas semua perbuatanku.
                Asap rokok bercampur bau alkohol masih hilir mudik dikamarku. Aku berdiri. Sekilas kupandang tubuhku yang hina ini. Dengan berjalan gontai, aku menghampiri jendela kamar. Perlahan aku membukanya. Angin segar berhembus menusuk pori tubuhku seperti memberi nafas baru. Aku merasakan keheningan. Perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Kuhela nafas panjang lalu kunikmati setiap pergantiannya. Aku melihat bagian dadaku naik turun dari kaca jendela. Dada bidang yang dibubuhi bulu-bulu halus mengingatkanku pada ungkapan tante Katty, “kau memang pejantan sejati!” ucapnya sambil memainkan bulu-bulu didadaku  dengan tubuhnya yang terkapar ditubuhku. Teringat kalimat itu, membuatku mengutuk diri sendiri. Betapa hinanya aku. Lebih hina dari binatang jalang sekalipun.
                Kupandangi wajahku yang dipenuhi bulu-bulu kasar pada bagian atas mulut yang menyatu dengan dagu. Aku membasuhnya. Menggosok-gosok pipiku yang berwarna kemerahan bekas lipstik yang mendarat dari bibir ranumnya. Aku menyibakkan rambutku yang sudah terbasahi. Aku larut dalam sebuah perenungan. Renungan perjalanan panjang hidupku sampai detik ini. Aku masih mengingat pengkhianatan ibu terhadap ayah membuatku membenci wanita. Saat itu tekadku bulat untuk merusak dan menghancurkan makhluk bernama wanita.
                Jendela dari kamar mandi itu kubuka perlahan. Matahari membidik tubuhku. Aku menutupi sebagian pandanganku dengan tangan. Hiruk pikuk kota besar telah kembali. Gedung-gedung tinggi dan patung-patung besar berdiri menjulang mencakar langit. Jalan layang yang menebas tak kalah menambah keeksentrikan tengah kota. Tiba-tiba belaian tangan halusnya melingkar memelukku dari arah belakang. Aku merasakan hangat tubuh gadis itu dengan tanpa lilitan sehelai benangpun yang menempel pada tubuh indahnya. Aku tertegun dalam pelukannya. Ia mencium hangat bokongku dengan mesra seraya nerkata, “aku mencintaimu…”. Anehnya, kelelakianku sirna seketika. Aku tak merasakan kelelakianku berdiri dan menegang. Mungkinkah aku merasa bosan atau kelelakianku terlalu sering berjibaku dengan setiap lubang yang berbeda??? Gadis itu masih menciumi bokongku semakin liar tangannya menggerayami dada dan kelelakianku yang berkerut.
                Berhari-hari waktu kulalui tanpa alkohol, clubing dan wanita. Aku hanya mengurung diri dikamar apartemenku. Sesekali aku keluar sekedar menghirup angin segar. Kenyataannya tidak semudah membalikan telapak tangan untuk berubah. Berkali-kali Handphoneku berdering. Hampir setiap menit sms masuk. Tentunya dari wanita-wanita kesepian diluaran sana. Suara dering itu berpindah pada pintu apartemen. Suara-suara itu kuabaikan. Kini, aku dapat hidup normal. Kelelakianku hanya hidup dipagi hari saja bersamaan dengan terdengarnya kokokan ayam jantan. Sisanya Ia kembali mengerut terbungkus kain celana dalam.
                Pada akhirnya aku menemui titik jenuh pada kehidupanku yang hari-harinya dilalui tanpa clubing, alkohol dan wanita. Batinku terusik kembali. Aku tak tahu setan mana yang menghinggapi tubuhku yang telah berhasil meluluh lantahkan sebuah keyakinan. Keyakinan yang dulunya membawaku pada ketenangan hati. Keinginanku kembali berkecamuk dalam dada. Keinginan untuk kembali hidup normal, hilang seketika. Yang ada hanya keinginan memenuhi hasrat-hasrat wanita jalang yang dilanda sepi. Sungguh, aku tak mampu lagi menahan teriakan-teriakan kelamin mereka.
                Kelelakianku kembali bergairah. Mataku mulai liar kembali. Mengaum bak serigala malam yang siap mencabik dan mencakar mangsanya. Malam itu, aku bertelanjang dada dan hanya menggunakan boxer. Botol alkohol menemaniku dengan setianya. Asap rokok mengepul keluar dari mulutku. Suara bel pintu terdengar nyaring ketika aku masih menikmati tegukan demi tegukan itu serta beberapa batang rokok  yang puntungnya tergeletak begitu saja diatas meja. Aku bergegas membuka pintu. Saat kubuka, tercium aroma parfum yang membuat mata terbelalak. Gadis itu tersenyum menatapku. Matanya menembus mataku. Aku sudah paham dengan senyuman itu. Senyum penuh hasrat. Tanpa berbasak-basik lagi, aku sudah mengerti. Ia ingin segera mendengar lolonganku kembali. Kurangkul ia dan kuhamparkan diranjangku. Aku mulai menciumi batang lehernya. Ia menggeliat. Aku memulai penjelajahanku. Gadis itu hanya berteriak mendesah menikmati permainanku. Malam ini, kelelakianku telah sempurna kembali setelah berminggu-minggu hanya tersimpan dalam kain sempak.
                Ditengah kepekatan malam, dalam cahaya remang ditelan tebaran lampu gedung dan jalanan yang menyalaa-nyala, kami bersenggama penuh hasrat. “you’re sosoru...” (kau begitu menggairahkan…) bisikku ketelinganya. Aku akan terus melakukannya. Malam ini, juga malam-malam lainnya.

5 komentar: