
Episode 2
Meet Dennis
Meet Dennis
The
Shabanas Family
Me, My brorther, My Uncle, My Pet and My Parents...
Me, My brorther, My Uncle, My Pet and My Parents...
Sekolahnya
Shasha sama Nenes itu letaknya berada di antara dua jalan, eh tiga kali ya.
Tapi katanya salah...! Ada empat, kira-kira. Aduh rada bingung juga
menjelaskannya. Jadi, sekolahnya itu dikitari jalanan besar yang cukup lengang,
di tepinya terdapat pohon besar nan menjulang tinggi. Membuat daerah sekitar
jadi sejuk.
Bangunan yang berdiri megah itu sudah
agak tua, tapi belum setua Albert Einstein. Kalau kata mamang yang jualan es
cingcau di sekitar, gedung bertingkat itu dibangun pas jaman Belanda. Dan
menurut bibi penjual lotek di dekat taman, bangunannya agak-agak horor gitu.
Tapi ya udahlah, Shasha dan Nenes sekolahnya kan cuma siang hari, itu pun sampe
jam 12 teng.Jadi kepala sekolah ngasih jaminan enggak bakalan serem, deh.
Buktinya,
Shasha sama Nenes betah-betah aja. Sebelumnya, Negara juga alumnus SMA sana.
Tapi, dia hampir aja enggak mengecap predikat alumnus, artinya, masih betah jadi
dedengkot sekolah sana. Jadi begini ceritanya... dulu, menjelang pelaksanaan
ujian nasional, Negara terkena DBD dan harus dilarikan ke rumah sakit. Pada
saat itu, mami syok banget. Lebih syok ketika dia enggak berhasil dapetin baju
lucu yang sudah di PO di Ci Oliv[1]
gara-gara kelupaan transfer.
Pas
dikabari Negara pingsan sebelum mengisi soal-soal UN, mami langsung ngibrit aja
dari kantornya di jalan Asia Afrika. Dengan wajah yang pucat pasi kayak habis
dibanjur formalin sebaskom, mami langsung masuk kelas dan berniat bantu
ngebuletin lembar jawaban Negara. Tapi saat itu panitia langsung menggiring
mami buat masuk ke ruang UKS. Karena panik, dia langsung aja bawa Negara ke
rumah sakit dan selama dua minggu Negara enggak bisa melakukan aktivitas
apa-apa. Sekadar maen game di iPad pun dia minta tolong ke suster supaya bisa
masuk ke season selanjutnya.
Lalu,
perjuangan mami selanjutnya adalah, bagaimana supaya Negara bisa ikut ujian nasional.
Dia kerja keras banget, lho... kesian ya mami. Tapi syukur, karena setelah
berdiskusi dengan kepala sekolah, pihak sekolah memberikan kesempatan kepada
Negara untuk ikut ujian susulan dan syukur lagi, dia bisa lulus. Ya, meski
nilainya enggak memuaskan, mami sih udah enggak berharap. Asal Negara lulus dan
dia enggak dicibir ibu-ibu komplek saat arisan mingguan, mami mah udah
bersyukur banget pokoknya lah....
***
Siang
itu, Shasha sama Nenes jalan bergandengan. Mereka enggak merasa risih lagi dengan
tatapan teman-temannya yang memandangnya agak sinis, dulu malah pernah ada yang
komen gini juga lho, “Kembar sih kembar, tapi enggak perlu kemana-mana bareng
juga kali.” Shasha sempet down pas
dikatain gitu sama kakak kelas. Dia enggak mau sekolah lagi di sana. Langsung
kepengen Home Schooling.Mami jelas enggak setuju. Dia ingin putra-putrinya
merasakan masa mudanya dengan bahagia. Untungnya, Nenes kasih semangat, kalau
di sekolah umum mereka bakal dapetin pacar yang cakep kayak Kakak Rangga di
film AADC dan setelah itu, Shasha balik lagi sekolah. Hore...
Mereka
berdua berjalan menuju gedung serbaguna. Mau nemuin best friend forever, sahabat sehidup enggak semati mereka yang lagi
latihan karate. Namanya Inayah Nurhasan, biasa dipanggil Inay. Rumahnya di
daerah Rajawali yang cukup terkenal. Hampir semua warga sekolah tahu, karena
Inay suka naik angkot ataupun damriyang di jendelanya tertulis jurusan
Rajawali-Elang. Eh sekarang nama daerah itu agak elit karena tertempel di bus
Trans Metro Bandung, lho. Beruntung banget. Inay harus segera berterima kasih
sama Bapak Ridwan Kamil.
Setelah
masuk, Shasha dan Nenes liat Inay lagi pasang kuda-kuda dan latihan meninju,
menendang, meninju, menendang dan terus gitu-gitu aja sampai Inay lelah dan
duduk di lantai. Waktu istirahat Inay itu, Shasha sama Nenes gunakan untuk
menghampirinya. Mereka tadi ngeliat dari jarak jauh, sekadar jaga jarak aja.
Inay kalau latihan enggak pakai kacamata. Dia kan minus berapa gitu, ya, jadi mereka
berdua takut kena tinju gitu.
“Inay
haus?” tanya Shasha.
Inay
melihat kedatangan Shasha sama Nenes dengan kening berkerut. Dia kan enggak
pakai kacamata, jadi agak sulit mengenali orang. Lalu setelah mengetahui, dua
gadis yang berdiri di depannya adalah sahabatnya, dia masang wajah ingin membunuh.
“Ya
iyalah haus, masa pengen pipis...” Jawab Inay, nadanya ketus banget.
“Ya
udah, ini, Nenes bawain air.” Nenes langsung aja ngasihin tumbler di tangannya ke Inay yang langsung menenggaknya sampai
habis.
“Tumben
kalian baik,” nada Inay skeptis, “Ini enggak diracun, kan?”
“Enggak
kok Inay,” Nenes langsung motong. “Mana mungkin ada racunnya, kecuali...” Nenes
enggak melanjutkan. Dia malah menatap Shasha seolah memberi kode, menyerahkan
hak menjelaskan kepada kakaknya.
“Kecuali
kalau ada yang niat ngeracunin guru satu sekolahan, Inay...” Shasha melanjutkan
penjelasan Nenes.
“Jadi...
kalian...” mata Inay melotot.
“Iya,
kami ambil airnya di ruang guru. Enggak apa-apa kok, siapa tau kamu makin
pinter.”
“Enggak
ngaruh kali!” Inay mendengus, enggak rela banget kayaknya. “Sudah kuduga.”
Lalu
Shasha sama Nenes mengempaskan tubuhnya ke lantai, ikut-ikutan Inay yang sedang
melepas lelah. Gedung serbaguna sudah lengang, enggak ada lagi siswa yang
latihan atau sekadar jalan-jalan doang karena pada akhirnya mereka semua sadar,
ini bukan mal.
Shasha
sama Nenes sikut-sikutan. Niatan mereka menemui Inay adalah buat curhat. Tadi
di kelas enggak sempet karena kalau curhat di kelas, mereka berdua suka enggak
sadar mereka curhat ke semua orang, padahal niatan curhatnya cuma ke Inay
doang. Mereka lagi-lagi berbicara dengan batinnya, menunjuk siapa yang akan
bilang ke Inay.
Akhirnya,
Nenes yang bilang. “Inay, mami mau nikah lagi. Aduh gimana ya nasib kami
entar...”
“Serius?”
mata Inay langsung melotot. “Mami mau nikah sama siapa?”
“Enggak
tau. Soalnya mami mah enggak pernah bawa laki-laki ke rumah. Jadi kami
bener-bener enggak tau.” Shasha menarik napas, seolah masalah yang dihadapinya
sangatlah berat sehingga pemerintah juga harus ikut andil menyelesaikannya.
“Mmm..”
Inay tampak mikir. Bagaimanapun, dia udah kayak tong sampah yang suka mendaur
ulang sampahnya secara otomatis. Dia suka langsung ngasih solusi buat si
kembar. “Jangan-jangan, mami mau nikah lagi sama perempuan? Aduh ini gawat!”
lalu mendapati tatapan si kembar kayak mau membunuh balik, Inay langsung takut
dan mulai serius.
Kata Inay, “Ada dua kabar yang harus
kalian terima atas rencana mami kalian. Mau enggak mau kalian harus denger, itu
mutlak.” Tangannya mengibas-ibas ke wajahnya karena kepanasan. Padahal enggak
ngaruh banyak sih.
Shasha
sama Nenes langsung nyimak dengan serius.
“Kabar
pertamanya, kalian harus bersyukur, karena mami kalian masih laku.”
“Ih,
perempuan secantik mami mah enggak mungkin ada yang nolak kali, Inay.” Shasha
enggak terima.
Nenes
ikutan. “Iya Inay, mami kan pernah jadi Mojang Bandung dulu. Lagian, bahasa
inggrisnya mami lancar banget.”
“Enggak
nyambung deh, Nes jodoh sama bahasa inggris!” Inay langsung sewot lalu memberi
kabar selanjutnya. “Nah yang kedua, kalian harus hati-hati. Aduh, ini gimana ya
ngomongnya. Aku agak-agak enggak tega...”
“Ihh...
apaan Inay?” Shasha masang wajah penasaran. Nenes juga. Ya, namanya juga anak
kembar.
“Gini,
kalian pernah denger cerita kalau ibu tiri itu sangat jahat?”
“Bawang
Putih disiksa sama ibu tirinya dan juga Bawang Merah.” Sahut Nenes langsung keingetan
dongeng itu.
“Putri
tidur juga, dia disiksa ibu tirinya.” Inay kasih referensi lain.
“Sangkuriang
juga mau nikahin ibunya.” Nenes kembali kasih referensi yang langsung direspons
Inay dengan pelototan.
“Itu
mah enggak nyambung, Nenes!”
“Terus
apa kesimpulan dari obrolannya, Inay?” Shasha yang sejak awal enggak ngerti
lalu protes.
“Jadi
gini, kita udah pada tahu, kalau ibu tiri itu jahat. Nah, ibu tiri aja jahat,
gimana ayah tiri? Hei, kalian tau kan, ayah itu pemimpin di rumah kita. Jadi,
kalian mau apa dipimpin sama orang jahat? Ih, aku mah sih enggak mau.” Premis
Inay kayaknya langsung ditelan mentah-mentah oleh Shasha dan Ines.
Lalu
hening...
“Gimana
dong, Kak?” Nenes tanya ke Shasha.
Shasha
Cuma geleng-geleng sambil berkata, “Padahal kita berdua udah setuju. Cuma Kak
Gara aja yang enggak. Tapi dia mah mudah dipengaruhi.”
Inay
langsung mencibir sambil membuang pandangan, “Kayak kalian enggak aja...”
“Apa
Inay, kamu ngomong apa barusan?” Shasha mencium aroma kejahatan di diri
sahabatnya itu.
“Oh
enggak kok, enggak ngomong apa-apa.” Inay jelas-jelas ngeles. “Jadi, gimana
keputusan kalian?”
Shasha
sama Nenes menggeleng barengan.
Tuh kan labil, bisik Inay dalam hati. “Mending
kalian pikir-pikir lagi, deh. Jangan sampai hidup kalian diatur-atur sama orang
yang jahat...”
Shasha
dan Nenes lalu mikir.
***
Shasha
sama Nenes masih mikir. Enggak tahu sampai kapan, kalau enggak disadarkan
dengan beberapa orang yang masuk gedung serbaguna tempat mereka bertiga
duduk-duduk santai kayak di balkon rumah sendiri. Ada lima murid laki-laki yang
masih mengenakan celana abu-abu, sedangkan atasannya pake kaus. Ada tiga murid
perempuan yang masih lengkap pakai seragam. Dua murid laki-laki bawa gitar.
Satu murid perempuan bawa biola. Sisanya, mereka bawa diri masing-masing aja.
“Eh
eh, kayaknya gedungnya mau dipake latihan deh,” Nenes angkat bicara. Merasa diri
mereka harus segera hengkang dari sana.
“Emangnya
kenapa?” Inay langsung sewot aja.
“Iya,
kita keluar yuk. Sambil nunggu Mang Adun, kita makan mi ayam dulu di depan.”
Shasha sekarang udah punya inisiatif sendiri menghadapi sopirnya yang suka
telat jemput itu.
“Tenang
dulu aja, aku masih capek, tau!” bentak Inay, “Lagian, ini kan fasilitas umum,
siapa aja boleh diem di sini, asal jangan dibawa ke rumah aja, kan?”
Enggak
mau kena tinju Inay yang sangar, Shasha sama Nenes langsung ngangguk. Agak
enggak ikhlas. Tapi bodo ah, Inay enggak peduli. Yang jelas, dia pengen
santai-santai aja dulu di sana.
“KALIAN
NGAPAIN MASIH DI SINI?” ucap seseorang dari arah samping.
Kontan,
Inay, Shasha sama Nenes berbalik ke arah suara. Mendapati sosok... aduh,
sebutin aja ya, ganteng dengan mata sayu, kulit putih, rambut lurus, alis
tebal, hidung mancung, telinga ukuran sedang, lubang hidung bulat sederhana.
Dia pakai kaus warna putih dan cocok banget di badannya.
“Kami
mau latihan, dan enggak mau didenger orang lain. Jadi, kalian kalau memang
menggemari puitisasi kami, nonton aja di acara Pensi entar. Enggak perlu bayar
kok.” Ucap pemuda itu dengan nada sinis, seolah berkata gini, “Kalian enggak
bakal mampu kalau ada tiket masuk!”
Aduh
ya, pemuda itu bikin Inay marah. Tangannya udah gatel pengen ninju wajahnya.
Lantas dia berdiri, “Eh kamu ngomong apa barusan? Apa maksudnya?” dan tinju
Inay langsung melayang, mendarat di pipi pemuda itu.
Pemuda
itu langsung memekik, memegangi pipinya yang kena bogem Inay.
Melihat
itu, Shasha sama Nenes langsung berdiri, memegangi Inay supaya kemarahannya
enggak sampai membabi buta. Dan mereka cukup berhasil.
“Inay,
udah, tahan. Kamu enggak mau dipanggil Pak Dadang ke ruang BP, kan?”
“Bodo,
yang penting aku puas. Apa-apaan dia, berani-beraninya ngusir. Enggak tau apa,
aku putrinya Bapak Hasan.” Inay mencoba melepas pegangan Shasha sama Nenes.
“Apa
yang kamu lakuin barusan, memukulku?” pemuda itu menatap Inay tajam, tapi lebih
ke meringis, sih. Ngilu mungkin.
“Bukan!
Mencium dengan ini,” Inay mengacungkan tinjunya lagi, membuat pemuda itu mundur
selangkah.
Dari
arah kumpulan teman-teman pemuda itu, salah seorang berteriak. “Dennis... ada
apa?” lalu mereka berlari ke arah Inay, Shasha dan Nenes, dan pemuda itu juga,
seolah mereka mau tawuran.
Tiga
lawan delapan, ya tetep kalah tiga lah. Shasha tumben mikir itu, ya? jadi dia
milih meminta maaf sama pemuda yang dipanggil Dennis itu. Sekompak mungkin, dia
sama Nenes narik tangan Inay supaya keluar dari gedung itu.
“Dasar cewek barbar. Keturunan tarsan
kali!” sebelum keluar, Inay sempat dengar pemuda itu menggerutu. Inay masih
belum puas, tapi Shasha sama Nenes narik tangannya kayak dia lagi narik
sekarung sampah. Dia akhirnya bisa keluar juga. Lalu marahnya berpindah sama si
kembar. Tapi buru-buru Shasha sama Nenes traktir dia es cendol. Inay jadi
enggak marah lagi, deh.
Keterangan:
The
Shabanas Family ini adalah tulisan iseng yang akan saya
posting setiap saya punya mood buat
nulis dan minta Hadi Kentang buat mempostingnya. Spoiler dikit, di episode 3
dengan judul “Keluarga Tante Ning” kamu bakal balik lagi ke rumah Mami, ketiga
anaknya, mamang Akim dan Miw-miw yang masih ngebet ngawinin kucing anggora
punya tetangga. Kata Dennis, keluarga mereka aneh banget. Enggak setuju lah,
Pak Pida menikahi perempuan dengan keluarga aneh macam mereka! Apalagi, di
rumah itu ada kucing setengah anggora yang... Dennis takut sama kucing. Geli
dan jijik! Enyah kamu kucing bandel!
[1] Pemilik
onlensop yang suka nge-PINK!!! Mami di jam dua belas malem buat nawarin koleksi
baju-baju terbarunya yang lucu-lucu. Konon, Ci Oliv udah mulai menjaring Shasha
sama Nenes juga lho, buat beli koleksi pakaian dia. Katanya, buat si kembar mah
cocok baju-baju ala Korea dan mereka langsung tergoda aja buat beli. Tapi
sumpah, itu PING!!! Di jam segitu suka ganggu banget deh. Kalau dia nge-PING!!!
Negara, udah pasti Negara bakal delkon dia. Tapi mereka mah enggak temenan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar