Me, My brorther, My Uncle, My Pet and My Parents...
Episode 1
Rencana Pernikahan Mami
Pada suatu malam di salah satu rumah dua
lantai dengan enam kamar di sebuah perumahan bernama Perumahan Batu Nunggal,
Bandung, Jawa Barat, Indonesia, Bumi.
Shasha dan Nenes saling berpelukan,
tapi enggak mesra karena mereka hanyalah sepasang adik kakak yang pernah
berbagi tali pusar bareng di dalam kandungan maminya. Kedua gadis berusia enam
belas tahun itu berpelukan sambil menangis sesenggukan, seolah mereka
sekeluarga besok akan ikutan gabung dalampeperangan which is merekahanya dibekaliperalatan bambu runcing dan ketapelseadanya.
Belum
lama banget sih mereka nangis, baru tiga puluh menit setelah maminya
mengabarkan, bahwa dia akan segera menikah lagi. Mengisi lembaran baru untuk
hidupnya yang hampa setelah ditinggal papinya yang meninggal di medan perang.
Intinya sih, maminya itu kesepian. Seenggaknya, Negara yang bisa menyimpulkan
hal itu, karena semenjak maminya mengutarakan keinginan yang selama ini
dipendamnya, pemuda yang kuliah di jurusan listrik itu hanya terdiam,
menundukkan kepalanya dan sesekali membalas Blackberry
Messanger yang masuk di iPad mininya. Eh, sesekali dia cengar-cengir juga
pas ada chat yang masuk.
“Kok
kalian malah nangis...?” Mami bertanya heran, satu alis tatonya terangkat
dengan cantik.
“Mami
kok tega, ngekhianatin Papi gitu aja sih?” protes Nenes dengan nada merajuk,
mewakili pertanyaan kakaknya yang masih sesenggukan dalam pelukannya.
Mendengar
itu, mami malah tersenyum lebar. “Bukannya gitu, sayang,” lalu diam, memikirkan
kalimat yang layak diucapkan. “Kita semua tinggal di rumah ini ibarat berada
pada sebuah kapal yang sedang berlayar. Untuk sampai di tempat tujuan berlabuh,
kita membutuhkan kapten di dalamnya.” Penjelasan mami sangat diplomatis.
“Serius,
Mi? Jadi, sebenarnya rumah kita ini kapal?” kali ini Shasha yang berkomentar
dan sebelum itu, dia segera mengusap air mata plus ingusnya dengan punggung
tangan.
“Ish,
Kak Shasha apaan sih, enggak nyambung banget!” Nenes menyikut perut Shasha.
Sebenarnya, dia ingin sekali mencubitnya pakai capit kepiting. Tapi urung
karena mereka berdua alergi dengan makhluk yang cara jalannya abnormal itu.
“Iya
kan, Mi?” Shashaenggak mengacuhkan protes adiknya, dia malah mempertegas
pertanyaannya pada maminya yang masih tersenyum selebar daun kelor.
“Maksud
Mami, kita perlu pemimpin laki-laki di rumah ini.” Jelas mami, masih dengan
nada yang sangat tenang, setenang air di dalam galon.
Shasha
menatap Nenes dengan ekspresi kecewa karena bayangannya terempas begitu saja,
jadi rumahnya bukan kapal sungguhan!Enggak disangka, Nenes juga memperlihatkan
hal serupa. Dia berkata lirih ke telinga Shasha, “Yah..., kirain bener ya, Kak.
Nenes pikir, kita bakal kayak di komik One Piece gitu.L”
“Eh
itu komik kan punya si Mamang rental, belum kamu balikin?”
Nenes
menggeleng, takut dimarahi kakaknya karena sesuai janji, komik yang Shasha
pinjam dan dibaca bersama, maka Nenes yang harus balikin ke mamang rental. Kalau
Nenes yang minjem, berarti Shasha yang ngembaliin. Nah, kalau dua-duanya yang
minjem, mereka suka iseng nyuruh mamang pengantar galon yang ngembaliin ke
mamang rental. Tapi ngomong-ngomong, ini hari ke sembilan dari jadwal
pengembalian komik. Jadi, siap-siap aja Shasha kena marah si mamang tukang
rental komik yang punya rambut plontos kayak Samuel Rizal itu. Eh, enggak marah
juga, deng, paling kena tegur sama denda aja sembilan ribu perak.
Diskusi
si kembar sifat itu seketika terhenti ketika mendapati abang mereka yang
dikiranya autis karena begitu asik dengan gadget di tangannya, lagi BBM-an sama
pacar baru kayaknya, mulai bersuara. Tapi sebelumnya berdeham-deham dulu,
karena ada dahak mungkin di tenggorokannya.
“Di
rumah kita kan ada Mamang, Mi.” Ucap Negara dengan nada parau. Dia sama sekali
enggak mengangkat wajahnya yang cukup digemari geng para jerawat itu. “Mamang
juga laki-laki, kan?” nadanya protes, tapi protesnya enggak sampai sebrutal
para pendemo di gedung sate.
Mami
menghela napas berat, seolah beban terberat dalam hidupnya selain telah menjadi
single parent selama satu setengah
tahun, adalah memiliki putra putri seperti mereka. Beberapa kali dia
beristighfar, semoga apa yang menimpa anak-anaknya itu bukan sebuah kutukan
dari Tuhan gara-gara selama hamil, dia jarang banget mengucapkan, ‘amit-amit’
dan ‘ampun paralun’ sambil ngelus perut buncitnya.
“Bukan
gitu, Gara, maksudnya Mami—” ucapan mami kepotong gara-gara dari arah dapur, Akim
datang dengan membawa piring di tangannya.
“Ladies and gentleman... kita hentikan talkshow kita dan jeda dengan beberapa
gorengan Midog berikut.” Mamang Akim menyimpan piring di tangannya yang berisi
dengan beberapa potong Midog[1]
yang dipotong ala pizza dan juga seiprit saus pedas di sisi piring. Setelah
itu, dia ikutan duduk di sofa. Tangannya enggak bisa diam banget. Dia langsung bergelirya,
mengambil satu potong Midog dengan tangan kanannya dan tangan yang lain mengambil
remot di sampingnya, menyalakan televisi plasma dan langsung memilih saluran gosip.
Mami
sih maklum aja dengan kelakuan adik tirinya yang berasal dari kampung
Bayongbong, Garut itu. sebenarnya kadang dia muak dengan kelakuannya, tapi
ketika melihat ibunya mamang yang merupakan ibu tirinya mami yang meminta dia
merawat mamang semana dia menyayangi ‘Miw-miw’, kucing peranakan anggora yang
merupakan hewan peliharaan mereka. Ya udahlah, mami juga sayang mamang kok,
kayaknya.
“Mamang,
kapan skripsinya selesai?” Mami tiba-tiba aja keingetan soal itu dan langsung
menanyakannya. Mamang ini sudah masuk tahun ke tujuh kuliahnya, tapi belum ada
tanda-tanda dia bakal wisuda. Meskipun adik tiri, ya tetap aja dia merasa
terbebani dengan amanat ibu tirinya di Garut yang selalu mengirim chocodot dan
brodol setiap awal bulan. Kalau mau marah, mami suka luruh sama sogokan dua
makanan itu. Marah suka enggak jadi, deh.
“Mmm...
mmm... mmm...” Mamang Akimtergeragap. Lalu, dia mengalihkan kembali tatapannya
ke layar televisi. “Aduh itu info si vokalis band yang liburan bareng janda ke
Bali. Ah, ini pasti agenda setting,
supaya bisa ngangkat nama janda itu. Padahal dia udah enggak beken lagi.”
Celotehnya, seolah perkataan mami di telinganya hanya sebuah teriakan dari
tukang sayur langganan yang berjualan pada saat adzan zuhur udah lewat lima
belas menit.
Kali
ini mami mengembuskan napas, hampir menyerah menghadapi orang-orang yang
tinggal di rumahnya itu. Tapi, sejak lahir, dia sudah ditakdirkan untuk menjadi
perempuan setrong. Buktinya, selama ini dia bisa menjalani kehidupannya,
mengurus tiga anak, satu adik tiri, satu pembantu, satu tukang kebun, satu
sopir dan satu kucing setengah anggora yang suka kelayaban mencari kucing
betina milik tetangga.
“Pokoknya,
Gara enggak setuju, Mi... apapun yang terjadi.” Setelah mengucapkan itu, Negara
berdiri dan meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya di ruang atas.
Mami
menatap kepergian putra pertamanya yang agak keras kepala seperti mendiang papinya.
Begitu juga Shasha dan Nenes yang ikutan menatap abangnya. Kalau mamang Akim
sih masih mantengin gosip vocalis band dan janda cantik di infotainment.
Mendapati
raut sedih di wajah mami, Shasha dan Nenes saling memandang, dan enggak lama
kemudian mereka saling mengangguk. Anak kembar itu seolah berkomunikasi dengan
bahasa isyarat yang cuma dia dan anak-anak kembar sedunia yang tahu. Mereka
berdua lalu beranjak, menghampiri mami dan memeluknya seraya berkata dengan
kompak.
“Kita
setuju, kok Mi... asal Mami seneng, kita juga bakal seneng.”
Mami
sungguh bahagia luar biasa, senang dunia akhirat karena pada akhirnya dia punya
kubu yang mendukung dan pastinya bakalan jadi tim sukses. Kedua tangannya
terangkat, mengusap lembut rambut panjang kedua putrinya yang sekarang sudah
tumbuh besar, sudah enggak kutuan lagi dan mereka sudah naik kelas XI di SMA
negeri favorit di Bandung.
“Eh Mi,
itu Abang Gara balik lagi,” bisik Nenes ke telinga maminya.
“Iya,
kayaknya Abang juga setuju deh.” Shasha ikutan berbisik dan ketiganya sudah
siap berpelukan bareng-bareng.
Negara
yang mendengar bisik-bisik adiknya langsung menyela, “Eh apa coba, orang cuma
mau ngambil iPad doang.” Benar, diacuma mengambil iPad-nya yang tertinggal di
sofa, lalu kembali berbalik menuju kamarnya buat ngelanjutin chattingbareng pacarnya yang merupakan
anak kelas sebelah itu. Enggak tahu sih namanya siapa, dan enggak perlu tahu juga
lah ya.
Ketiga
orang itu pun menatapnya dengan kecewa.
“Eh
Ceuceu coba lihat, ini ada berita tentang pengacara yang mulutnya ember itu mau
bercerai... katanya, sekarang mereka lagi masalahin harta gono-gini.”
Sejak
lahir, Mamang Akim emang udah ditakdirkan salah, kayaknya. Dia adalah orang
yang salah, dan tinggal dengan orang-orang yang salah juga. Dan atas
kesalahannya itu, tiga orang perempuan di dekatnya kini menatapnya dengan
tajam, kayak Miw-Miw yang pengen dilepas karena sudah enggak kuat pengen
ngawiniwinin kucing anggora punya tetangga.
***
Keterangan:
The
Shabanas Family ini adalah tulisan iseng yang akan saya
posting setiap saya punya mood buat
nulis dan minta Hadi Kentang buat mempostingnya. Spoiler dikit, di episode
selanjutnya, Shasha dan Nenes bakal curhat soal maminya ke Inay yang merupakan
sahabatnya di sekolah. Kira-kira, gimana ya respons Inay akan rencana
pernikahan maminya si kembar itu? Ah, kayaknya enggak penting juga sih tahu
responsnya si Inay. Karena di espisode 2 dengan judul ‘Ketemu Dennis’, kamu
bakal ketemu cowok ganteng yang jago main gitar dan bikin puisi. Sesuai namanya,
cowok itu berkarakter agak peDENdam dan sedikit siNIS.
[1] Sejenis makanan
halal, terbuat dari mie yang dicampur dengan telur, lalu digoreng. Biasanya
disantap pada saat akhir bulan, karena cuma dua bahan makanan itu yang tersedia
di dalam kulkas yang sudah agak bau-bau gitu. Paling pas ditemani dengan air
putih aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar