Ceritanya, pada libur akhir pekan yang cukup
panjang, saya memutuskan untuk rehat dari segala aktivitas, kemudian memilih
Pantai Kuta untuk menenangkan diri sambil riset kecil-kecilan buat naskah novel
yang sedang ditulis, eh diedit maksudnya. Mau percaya atau tidak, yang jelas
saya tidak sedang serius, lho.
Jadi, saat itu saya sedang berjemur di
tepi pantai, menikmati cahaya matahari yang lagi terik-teriknya. Intinya sih
lagi tan gratisan. Tetapi tiba-tiba
saja saya diganggu oleh suara dehaman seseorang yang tidak hanya satu dua kali,
lebih lah. Ada empat kali. Lalu, saya membuka mata dan mendapati kawan lama
saya yang sekarang sudah beralih profesi menjadi wartawan infotainment. Dari
tivi dan acara apa, dia malah merahasiakannya. Saya sempat ragu, jangan-jangan
ini sejenis liputan investigasi, which is,
suara saya nanti jadi mirip orang bengek dan wajah saya juga kena sensor.
Tapi bayangan itu musnah, katanya
Kentang ini wartawan majalah remaja dan dewasa muda. Syukurlah... semoga dia
nggak kirim tautan aneh-aneh lagi ke inbox, sejenis tawaran main film biru,
seperti tempo lalu.
“Halo, Deng... lo apa kabar?” tanya
Kentang, terkesan basa-basi banget.
Tapi sebagai keturunan priyai yang
ramah, saya membalas. “Hai, Tang. Kabar baik. Sebaliknya?” nadanya, ya
agak-agak males gimana gitu. Orang lagi berjemur, malah diganggu.
“Berdasar kabar angin, katanya lo mau
launching novel ketiga, nih?”
Saya hanya mengangguk.
“Ngomong-ngomong, gimana perasaan lo?”
Ada pertanyaan lagi tidak, sih? “Gini
deh, Tang, kamu nemenin istri kamuyang lagi lahiran. Terus sebelumnya kamu udah
USG dan calon anakmu itu cowok. Sebelumnya dua anakmu cewek dan kamu kurang
begitu antusias karena anak cewek nggak bisa kamuajak jumatan. Gimana perasaan
kamu?” Nah lho, kok malah saya yang balik tanya, ini gimana sih?
Tak mengindahkan jawaban saya, kentang
malah kembali bertanya. “Sebelumnya lo punya mimpi apa sih?”
Saya memilih diam beberapa jenak,
menikmati angin yang berembus cukup keras siang itu, menerbangkan anak rambut saya
yang liar. “Kaya raya.” Jawab saya mantap. “Enggak salah dong kita punya mimpi
itu? Tapi nggak pake mimpi segala sih, menulis bagisaya udah kayak kebutuhan
psikologis yang bakal ngerasa nyesel semaleman kalau sampai sehari enggak
nulis. Dalam bentuk apa pun itu, meski nulis di tembok jalanan.” Saya tertawa
hambar, emang nggak lucu sih, sebenarnya.
Tuh
kan, Kentang aja nggak ketawa. Dia malah nanya lagi. “Ada nggak orang yang
berperan penting dalam pembuatan novel ini?”
Aduh,
kok saya mulai terpancing gitu ya sama pertanyaan dia? Saya segera beranjak,
ikutan duduk seperti yang Kentang lakukan. Saya menjawab, “Ada lah... ada nggak
sih anak yang lahir tanpa ibu bapak—selain Isa Almasih?—tentu saja editor yang
ngasih deadline, Kak Riana Dewi yang
jadi First Reader sekaligus ngoreksi
ini-itu dan tentu saja orangtuasaya yang sudah sangat perhatian. Temen-temen
juga penting banget, lah.”
Syukurlah...
setelah itu, Kentang diam. Mungkin kehabisan akal buat melayangkan lagi
pertanyaan. Tapi sedetik kemudian, mulutnya kembali mangap. “Ngomong-ngomong,
Deng, apa sih judulnya?” dan pertanyaan itu terlontar dengan nada begitu datar.
Gini deh, kalau kamu punya list teman
yang cocok dikremasi sebelum mati, maka saya akan memasukkan Kentang ke dalam list-nya.
“Astaga,
Tang. Jadi kamu wawancara, dan belum tahu judul buku yang mau sayarelease bulan ini? Yakin...?” kedua alis
saya bertaut. Karena ingin jelas melihat ekspresi wajah lawan bicara saya, saya
membuka kacamata hitam yang bertengger di hidung.Tenggorokan saya kering,
beneran. Saya meraih jus jeruk di atas meja di samping saya dan menenggaknya
hingga menyisakan seperempatnya. “Judulnya Beautiful Regret... versisaya sih
artinya ‘Penyesalan yang Indah’. Emang ada...? Ya entar kamu baca aja deh
bukunya teruskamu bakal tahu jawabannya. Kalau PO di saya, ada tanda tangannya,
lho.”
“Cita-cita
lo waktu kecil apa sih?”
Damn! Pertanyaan macam apa itu? “Jujur saya kayaknya nggak punya
cita-cita deh. Bagi saya, jadi pilot, dokter, guru, dll itu mainstream banget ya, jadi selain waktu
kecil saya udah ganteng bawaan sejak lahir, saya nggak punya kelebihan lainnya,
termasuk punya mimpi selangit.”
Kentang
angguk-angguk kayak geng Yossi dkk di Project Pop.
“Gini,
Deng, Lo kudu banyak cerita tentang proses pembuatan tuh novel, deh. Apa yang
ada di pikiran lo dari awal sampe akhir?”
Saya
menelan ludah. Kalau bisa sih, saya ingin menelan makhluk di samping saya.
Tetapi apa daya, namanya juga diwawancarai, ya, terpaksa saya jawab. “Ada di
posting blog gratisan saya, kamu entar link
aja biar pembaca kamu juga maen ke sana. Jadi, pas awal-awal sayakepengin
memperlihatkan bahwa hidup dalam kebencian hanya akan menciptakan sebuah
penyesalan yang perih. Tapi kalau kita berusaha buat memaafkan diri sendiri,
kayaknya enggak bakal ada kebencian, dan juga penyesalan. Saya nulis Beautiful
Regret selama tiga bulan dan puji syukur, udah mau terbit lagi. Lengkapnya,
tengok di blog saya aja.”
Tiba-tiba
saja Kentang nge-ciye-in. “Ciye, sekarang novelis ya. Senang dengan julukan
tersebut?”
Heck, maksudnya apa coba? Ya sudah, saya ciye-in lagi. “Ciye... kamu
sekarang jadi orang, ya? Seneng dengan sebutan itu?” saya mencebik. “Saya
seneng kalau ada yang baca dan suka karya saya. Itu sih yang paling penting,
terlepas siapa saya sekarang. Tapi saya tetap putra Bapak Endira, lho...”
Lagi-lagi
Kentang memakai gayanya project pop. Lalu, dia memandang tubuh saya dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki dengan tatapan penuh hasrat. Haha... eh, itu bohong.
Lucu aja kalau emang iya...
“Sebutin
deh, berapa cangkir kopi atau berapa kilo camilan yang lo abisin cuma buat
nemenin lo nulis? Kayaknya lo gendutan!”
Jadi
itu maksud tatapannya? Saya kembali mencebik, karena bagi saya, berat badan itu
bagian paling sensitif untuk dibicarakan di dunia ini. “Sehari dua kali, pagi
dan malam. Saya sensitif banget sama kafein, misal kalau semalem abis dua
gelas, yakin, kamu dan yang lainnya bakal saya teror di whatsapp dan BBM karena
saya nggak bisa tidur dan... sebagai single, saya kesepian. Saya nggak bisa
mikir tanpa kopi, tapi enggak bisa tidur karena enggak ada cewek (?)
Camilan...? saya nggak suka ngemil. Cukup kopi aja, rokok kali-kali, sisanya
enggak.” Jawab saya, eh, lumayan panjang, ya?Lalu saya berdeham, malu banget
kalau harus mengakui ini, kayak ngakuin udah ngebuntingin anak perawan orang. “Dan
saya benci akuin BB saya nambah. Makanya sekarang lagi program, work out di rumah aja dulu, biar badan saya
kayak Taylor Lautner lah.”
Kali
ini Kentang tidak niru gaya project pop, tapi niruin gaya Omas. “Apa reaksi lo
kalau ditanya kapan kawin? Atau udah?”
“Kalau
ditanya, kapan nikahin anak gadis orang? Entar lah kalau saya udah dewasa
finansial dan pola pikir. Gitu kan jawaban Sophia Mueller juga, padahal doi
udah punya Eva Lesmana yang seumuran saya.” Lalu saya tertawa, tidak begitu
hambar kalau yang ini.
“Sophia
Latjuba maksud lo?”
“Iyalah...
masa Sophia Martin.” Eh keceplosan, saya nyebutin merk. Tapi tidak apa, di
bagian editing nanti pasti disensor dengan suara ‘Beep’. Dan kami berdua tertawa
garing.
“Eh
Deng, berapa kali revisi sebelum naik cetak?”
Saya
mengembuskan napas dengan sangat lega. “Saya menantikan pertanyaan ini, kamu
lama-lama kayak infotainment gosip beneran yang ngelantur dari tema obrolan!”
cibir saya.“Kalau revisi enggak ada sih. Paling koreksi penyesuaian standar
baku dengan penerbit. Kan beda penerbit beda juga kebijakannya.”
“Yang
ini gendre apa?” dia langsung nyerobot aja, mirip Komeng bawa motornya.
“Genre,
bro! Kamu orang Palembang tapi medhok ya...” Saya tertawa, hambar lagi sih. Dan
Kentang agak manyun. “Yang ini masih romance, sih, romance dengan tempo
romance. Bersetting Korea Selatan dan bercerita tentang seorang pelukis muda
dan seorang penyanyi.”
“Ada
enggak gendre yang pengin banget lo tulis tapi belum pernah kesampean?”
“Genre,
bro... G-E-N-R-E!” saya langsung motong dengan penuh semangat karena sudah
cukup puas bully dia.“Apa ya? Misteri
paling... atau genre dewasa yang hot... huhh...”
Kentang
merenung. Apa mungkin dia membayangkan genre dewasa hot yang saya maksud?
Astaga, jika iya, pasti di otaknya sekarang omes banget.
Tapi
tiba-tiba dia berkata. “Kayaknya gue pengin nulis teenlit nih, menurut lo apa aja yang perlu gue siapin?”
“Menurutmu,
apa aja yang dibutuhin koki buat masak? Yang pasti, kamu harus rajin baca novel
teenlit, bukan buku kamasutra. Dan
komitmen sih kalau menurut saya.” Saya menjawab agak ketus.
“Lo
udah bisa disebut sukses karena lo usaha, gitu kan? Iya ini pertanyaan...”
Katanya, merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri.
Iya,
itu pertanyaan aneh! “Sukses itu bertahap, kalau sukses menerbitkan buku, bisa
dibilang ya. Tapi sukses lainnya, masih dicapai. Doain aja...” saya beranjak dan
berdiri, meregangkan otot-otot tubuh yang tidak butuh lama lagi bakal mirip
Taylor Lautner.
Kentang
ikutan berdiri, dia mengambil kamera DSLR miliknya, kemudian mengambil gambar
gumpalan ombak di depan kami. “Ceritain pengalaman tergetir yang pernah lo
alamin, dong?”
“Getir...?”
kening saya membentuk lipatan.“Enggak ada deh kayaknya. Ya, kalau misal
dikhianati cewek bisa masuk kegetiran, berarti itu pengalaman paling getir.”
“Pernah
nangis gegara cewek?” kali itu, dia mengarahkan kameranya ke arah saya dan
mengambil beberapa gambar dengan sembarang.
Damn it! “Demi Tuhan, saya benci ngakuin ini. Tapi ya, begitulah. Air
mata kan gunanya buat dibuang, bukan buat ditabung.” Lagi-lagi saya mencoba
untuk tertawa, namun yang keluar hanya tawa hambar yang tidak ada rasa atau pun
aroma.
“Pick one,” katanya,“cowok atau cewek?”
“Hah,
maksudmu?”
“Pesan
apa yang mau lo sampaikan di buku baru lo?”
Nah
gitu, dong. Balik lagi ke soal buku. Ini baru wawancara menarik.
“Apa ya...?
ada di halaman awal-awal yang bunyinya gini, “Novel ini saya persembahkan
kepada orang-orang yang pernah hidup dalam penyesalan, kemudian terlampau sulit
membuka hati untuk sekadar mengakui perasaannya.”
“Ngomong-ngomong,
apa nih rencana lo ke depan? Nulis novel atau skenario?”
Saya
menarik napas, lalu mengembuskannya. “Lulus kuliah kali ya, orangtua gue lebih
mengharapkan gue pake toga dan tersenyum ala iklan pasta gigi di foto keluarga
deh, ketimbang mengharapkan calon mantu secakep Alexia Fast gitu. Atau Dion
junior yang cakepnya enggak bakal jauh-jauh amat dari ayahnya.”
Kali
ini Kentang ketawa. Astaga, puas sekali sepertinya dia dengan jawaban saya
barusan.
“Gimana
cara lo berpromosi nantinya?”
Saya
mulai lelah dan males jawabin pertanyaan dia. “Promosi medsos paling, sisanya,
gue biasa promosi tikus. Tahu-tahu orang-orang udah beli buku gue gitu. Enggak
magis, hanya strategi sendiri aja.”
“Lo
pasti kenal nama-nama Alvi Syahrin, Alfian Danier, Haris Firmansyah, Koko
Ferdi, Kamal Agusta, oh iya yang mirip Vivi itu Hardy Zhu, Vivi juga, Aida dll,
mereka kan bisa dibilang saingan. Apa pendapat lo?”
“Mereka
siapa, ya?” saya ketawa dan lagi-lagi hambar, ah, yang ini terkesan garing. “Sedikit
banyak kenal lah. Malah beberapa diantaranya suka sharing soal kepenulisan. Pesaing? Lo kencing...?” Saya ketawa lagi
yang langsung dihardik Kentang, “Itu mah pesing!”
“Selama
ini saya anggap mereka pemacu buat berkarya. Jadi kalau mereka release buku, saya jadi semangat buat
ngedit. Gitu aja sih.”
“Eh,
Deng,” tiba-tiba aja Kentang deketin saya, setengah berbisik dia berkata. “Gue
udah cocok jadi host di sebuah acara talkshow belum sih?”
Saya
menyeringai senyum, mungkin ini balasan saya. “Lebih cocok jadi juru tulis di
kantor camat, sih. Pick one; juru tulis atau infotainment gosip?”
Kentang
bingung, akhirnya dia tidak menjawab.
“Pernah
diundang di radio-radio lokal gitu belum sih lo? Ceritain coba...!”
Maksa
banget ya dia? “Ada... dan untuk novel ini, udah ada schedule buat promo di radio di Bandung. Tunggu aja ya entar, semoga
terbius dengan suara saya.”
“Nikmat
nggak jadi penulis?”
“Yakin
itu pertanyaan?” saya mencibir lagi.“Yang pasti, kamungejalanin apa yang kamu
suka? Sampe mati kayaknya nggak bakalan bosen.”
“Oke
deh Deng, satu pertanyaan terakhir. Kalau misalnya besok lo mati, kalimat apa
yang bakal lo bagi buat orang-orang supaya bisa nerusin perjuangan lo menjadi
penulis?”
Pliis
ya Tang, jangan bawa-bawa soal kematian. Serem, tahu! Tapi sepenuh kekuatan
saya menjawab. “Sampai jumpa di surga... jadi penulis, ya, royaltinya lumayan
bisa beli apartemen di Gateway lho... follow twitter saya juga ya,
@dionsagirang”
“Oke deng, makasih buat waktunya. Eh,
kayaknya tubuh sixpack lo bentar lagi kayak, artis hollywood itu lho,
Taylor...” dia mikir. Saya udah ada firasat dia nyebutin Taylor Lautner.
“Taylor Swift, ya?”
Saya menggeram, kemudian sadar dengan
kemarahan saya, buru-buru kentang pamit. “Deng, gue mau wawancara lagi. Katanya
Sophia Mueller lagi liburan bareng Ariel. Gue cari dia dulu ya....” Dan sebelum
beranjak, dia mengambil gelas berisi jus jeruk milik saya. “Haus, euy saya teh.”
Dengan bahasa sunda yang maksa, dia menenggak minuman saya hingga tandas.
*Wawancara imajiner bareng Hadi Kurniawan
Sudjatman a.k.a Kentang a.k.a Hadi Tangken
Tidak ada komentar:
Posting Komentar