Aku sudah mulai belajar melupakannya. Meskipun
memerlukan proses yang tidak sebentar. Ketika terjatuh dan terluka,
bukankah perlu waktu berhari-hari untuk menyembuhkan dan
mengembalikannya ke semula. Lalu bayangkan bila luka tersebut
meninggalkan bekas yang mungkin tidak akan hilang. Sampai kamu mati pun,
bekas luka itu akan terus terlihat.
Bentuk intrepetasi dari sebuah kehidupan tidak ada
yang benar, juga tidak ada yang salah. Keduanya berjalan saling
beriringan. Tidak ada kesalahan abadi, juga tidak ada kebenaran yang
kekal. Tidak ada yang hal yang abadi di dunia ini termasuk istilah
keabadian itu sendiri. Semua yang ada perlahan berjalan menuju
ketiadaan. Namun terkadang, manusia lebih memilih berkawan dengan egonya
ketimbang rasio. Sehingga logika lebih sering dikesampingkan.
Hanya berupa pengakuan saling mengagumi yang
terlontar dari masing-masing kami. Sebagai sebuah bentuk implementasi
kadar rasa yang mulai hadir dan tumbuh seiring dengan adanya
kebersamaan. Dengan ragu kami mengatakannya, berusaha jujur dengan
perasaan masing-masing. Ketika itu, mulutku terasa kelu untuk sekadar
berucap, “Ya, aku memiliki perasaan lebih terhadapmu.” Sampai satu
kalimat itu terasa lebih sulit dari ujian filsafat sekalipun. Tetapi
tidak ada langkah pasti setelah pengakuan yang kami utarakan satu sama
lain. Kehidupan terus berjalan. Tidak ada keterikatan. Tidak ada
komitmen. Padahal itu bukan sebagai bentuk kebebasan. Kebebasan itu
sendiri bermakna terikat. Barangkali aku menunggu waktu yang tepat,
karena menurutku wanita sempurna adalah dia yang bersedia menunggu.
Kini dia tengah berjalan dalam pilihannya. Ya, dia
telah memilih, meskipun bagiku lebih terasa sebagai sebuah putusan.
Sebuah penghakiman yang dilakukannya. Hah ... sekarang manusia lebih
percaya dengan kata-kata ketimbang hati kecil sekalipun. Padahal kita
tahu, kata bisa saja berdusta.
Suatu malam, aku mengirimkan pesan singkat kepadanya.
Entah kenapa, kalimat gombal ini tiba-tiba hadir dalam pikiranku,
padahal aku tahu, sekarang dia tak lagi sendiri.
“Coba kamu keluar, lalu lihat langit malam ini!”
Tak lama berselang, dia segera meresponnya. “Ada apa Kak?” tanyanya dengan sapaan ‘Kak’ yang membuatku tersenyum kecil.
Usiaku berpaut satu tahun lebih tua darinya, aku
senang ketika dia memanggilku dengan sebutan itu. Seakan aku hidup pada
abad yang masih erat memegang adat ketimuran.
“Malam ini cahaya bintang tidak sempurna, tapi
kehadirannya bisa menjadi penghias malam dan menemani bulan ketika
keheningan menyergapnya.”
“Maksud Kakak?” dengan cepat dia mengirimkan balasan.
"Ya, cahaya bintang itu seperti perasaanku kepadamu, Lembayung ...”
“Gombalannya langsung menusuk dan membuatku ...” Dia menggantung kalimatnya.
Membaca pesan singkat yang dikirimnya membuatku
sedikit tersenyum. Aku sendiri tidak mengerti maksudku mengirimkan
kalimat sedikit gombal itu kepadanya. Padahal sudah lama sekali kami
tidak saling berkomunikasi. Aku marah? Ya, aku akui. Aku merasa tertikam
ketika mengetahui dia telah memilih yang lain. Dan dia yang menikamkan
belati itu. Gadis yang aku harap bersedia menungguku. Tapi entah kenapa
malam itu secara tiba-tiba sikapku berubah. Mulai sedikit meluluhkan
egoku. Atau mungkin aku mulai menyesali sikapku selama ini karena tidak
pernah berani jujur dengan perasaanku sendiri.
“Kak, sekarang kita tidak bisa seperti dulu lagi. Ada
jarak diantara kita.” Balasnya berselang beberapa menit setelah dia
menggantung kalimatnya pada pesan singkat.
“Maksudmu?” Mungkin aku manusia paling bodoh bila
tidak bisa memahami maksud ucapannya. Makna yang sudah sangat gamblang.
Dia mencoba menghadirkan sekat pembatas diantara kami. Tapi yang
kuinginkan kini adalah penejelasan. Penjelasan atas langkah yang telah
dipilihnya. Yang seharusnya marah adalah aku, karena dalam hal ini
posisiku sebagai korban. Ingat, sebagai korban!
“Kita berdua harus bangkit, ayo kita move on
sama-sama. Aku harus memikirkan orang lain yang menyayangiku. Aku
sangat senang ketika tiba-tiba Kakak menyapaku meskipun melalui pesan
singkat, tapi lama-lama aku takut. Kakak tahu sendiri, tidak mudah
melupakan seseorang yang kita cintai. Sangat jahat juga bila kita sampai
menyia-nyiakan orang yang menyayangi kita. Aku sudah ada yang memiliki,
dan aku harap Kakak mengerti dengan posisiku sekarang.”
Aku mencoba santai menerima pernyataan itu darinya,
meskipun pada kenyataannya tidak. Aku membalasnya dengan kalimat bernada
ironi dan aku yakin dengan mudah dia dapat memahaminya.“Justru jahat
itu ketika kamu bersamanya, tetapi pikiran serta perasaan kamu tidak
kepadanya. Kejahatan pertama yang kamu lakukan adalah kamu telah
membohongi diri sendiri. Dengan itu kamu telah membohongi orang lain.
Dia, lelakimu.”
“Siapa bilang? Aku menyayanginya ... meskipun jujur,
aku belum bisa melupakan seseorang yang namanya masih tersimpan di
hatiku. Membayangkanmu membuatku gila. Aku berusaha membencimu, tapi
tetap tidak bisa. Aku pikir, setelah mengeluarkan uneg-uneg yang
kurasakan, aku bisa menghapus bayanganmu, tapi nyatanya tidak.”
“Aku tidak akan pernah rela kamu dengan yang lain.” Begitulah diriku, yang kali ini benar-benar dikuasai ego.
“Tetapi aku sudah ada yang memiliki.” Jawabnya segera.
“Terus, apa kamu memiliki harapan?”
“Aku tidak tahu, Kak. Yang jelas, let it flow ...”
“Ini tentang pilihan,”
“Aku tak memiliki pilihan.”
“Tapi aku hanya ingin kamu jujur dengan perasaanmu
sendiri. Dengan itu kamu tidak akan menyiksa siapapun!” aku tidak tahu
apakah kalimat ini terlahir dari ketulusan atau buah dari egoku.
Dia tidak membalas!
Aku menunggunya, beberapa kali aku mengecek pemberitahuan pada layar ponsel. Tidak ada! Sampai malam benar-benar larut.
Kamu benar-benar bodoh, Galih ... rutukku pada kebodohanku sendiri.
*
Suatu malam setelahnya ...
“Aku akui, sejak awal ini semua adalah kesalahanku.
Aku yang membuat semua ini menjadi rumit. Aku ingin Kakak mengerti,
tidak semudah itu memutuskan. Hubunganku dengannya sudah terjalin cukup
lama. Tidak mungkin aku meninggalkannya begitu saja. Lantas apa bedanya
aku dengan tuduhan penghianat yang sering Kakak layangkan kepadaku.
Cukup dimata Kakak saja aku dianggap sebagai penghianat ...Coba
bayangkan Kakak berada pada posisiku sekarang. Sudah kukatakan, aku
menyayanginya ... hanya saja aku belum bisa melupakan Kakak ... maafkan
aku karena telah egois.”
Pesan singkat yang nyatanya tidak singkat ini
kuterima. Dia kembali memutuskan. Apa yang bisa kulakukan? Tidak ada.
Tak lama berselang, sebuah pesan singkat kembali masuk, dari pengirim
yang sama.
“Biarkan kini aku berdiri melawan waktu ... untuk melupakanmu. Walau pedih hati, namun aku bertahan.”
Haha ... seperti sebuah lirik lagu. Namun aku tak
bodoh. Dan setelah itu, aku tak lagi menyapanya. Melalui pesan singkat,
ataupun ketika bertatap muka. Tidak ada lagi basa-basi yang kucoba
perlihatkan. Begitu juga dengan dia. Semua berjalan sendiri-sendiri. Aku
menganggapnya tak pernah ada, meskipun dia berdiri di hadapanku.
*
Sampai suatu hari aku tidak lagi melihatnya duduk
mengikuti perkuliahan seperti biasanya. Aku tidak peduli, tapi ketika
berkali-kali terdengar suara dosen mengabsennya, semua teman-teman
menjawabnya serentak ...
“Dia sedang sakit,” suara Agni sedikit menyadarkanku
dari apa yang baru kali ini aku renungkan. Aku baru menyadari, kalau aku
belum peka terhadap sekitar. Entahlah, meskipun aku pikir itu tidak
penting.
“Lantas?” responku segera. Ya, sesederhana itu.
“Haha ...” Dia tertawa mendengar responku.
Aku mengerutkan dahi, bermaksud bertanya, namun dia
kembali melanjutkan. “Hidupmu penuh dengan gengsi, padahal dari raut
wajahmu, aku melihat kalau kamu sedang khawatir, Galih.”
“Maksudmu? Yang seharusnya khawatir adalah pacarnya.”
“Kamu juga temannya, kan?” kali ini Agni mendelik ke arahku.
Aku hanya terdiam. “Lihat, wajahmu memerah.
Penyangkalan yang dilakukan mulutmu sangat bertolak belakang dengan
hatimu, mungkin.”
“Sok tahu kamu!” aku sedikit kesal dengan tingkahnya.
“Haha, kamu terlalu naif. Kisah kalian sudah menjadi
rahasia umum.” Dia kembali tertawa seolah kisahku seperti halnya kisah
Romeo dan Juliet. Hampir satu dunia mengetahuinya.
“Hah,” aku mendengus, sambil membuang pandangan.
“Susah sekali mendesakmu untuk jujur.”
“Ini adalah ekspresiku yang paling jujur.”
Agni menatapku seolah melecehkan, dari cara dia menatapku seolah berkata, “Oh ya?”
“Untuk apa kita mengejar sesuatu yang sudah jelas tidak menerima kita dalam kehidupannya.” Lanjutku dengan tatapan ke depan.
“Owww so deep ...” Responnya terdengar berlebihan menurutku.
Aku mulai muak melihat ekspresinya waktu itu.
“Wanita itu butuh kepastian.” Dia melanjutkan.
Aku tidak tahu apakah dia berbicara seperti itu
sebagai seorang perempuan, atau dia mencoba memposisikan diri sebagai
sahabatnya. Aku sudah sangat sering mendengar kalimat itu.
“Kamu wanita kesekian yang mengatakan itu.”
Kenyataannya memang seperti itu. Entah itu alibi atau memang benar.
“Kenapa harus ragu ketika kamu sudah yakin, bahwa pilihanmu juga
memilihmu.” Lanjutku dengan suara terdengar serak.
“Karena kita dibuat ragu oleh penantian. Dan ketika
wanita mendapati ada seseorang yang menyatakan kesiapannya, apakah kita
harus memiliki alasan untuk menolak?”
Aku terdiam, mencoba menyelami maksud ucapannya.
Suasana kembali hening. Hanya terdengar kicauan burung di luar. Belum
ada tanda-tanda teman yang lain akan masuk ke dalam kelas. Hanya ada
kami berdua di ruang ini.
“Karena kita sudah merasa yakin, bahwa hati kita
sudah berpaut dengan yang lain. Meskipun tidak ada kepastian. Itu alasan
yang cukup masuk akal.” Jawabku memecah keheningan. “Namun ketika kita
sudah merasa tidak yakin, bahwa hati kita sudah tidak lagi berpaut.
Lantas, apa yang masih bisa diharapkan dari semua itu? Bukankah cinta
itu tumbuh dari sebuah keyakinan.”
“Mungkin dia memilih bukan karena cinta, tapi karena
dia merasa bisa mendapat kebahagiaan dari orang lain. Cinta dan
kebahagiaan yang terpisah, mungkin itu yang dia yakini.” Suara Agni
terdengar melemah. Kali ini aku juga tidak tahu, apakah kelakarnya
barusan atas nama seorang wanita atau dia kembali memposisikan dirinya
sebagai sahabatnya yang tentu akan terus membelanya.
“Terlepas dari apapun alasannya, aku tidak peduli.
Seharusnya cinta dapat memberi kebahagiaan.” Bodohnya aku karena dalam
hal ini aku masih menggunakan logikaku untuk berpikir. “Meskipun aku
tahu, cinta tidak pernah masuk di akal.”
“Memang tidak, mungkin karena itulah para pelakunya
pun bersikap tidak masuk di akal.” Dengan entengnya dia menjawab dengan
kalimat yang bernada ironi.
“Dia sudah memilih, meskipun aku tidak memberinya
pilihan. Haha ... sangat lucu ketika mendengar ceritanya.” Aku tertawa
lepas, meskipun terdengar dipaksakan. “Sebodoh itukah dia?”
Agni mendelik ke arahku, sepertinya dia tidak suka dengan ucapan serta ekspresiku ketika mengatakan itu barusan.
“Tapi sudahlah, toh aku sudah melupakannya. Dan
sepertinya itu bukan perkara yang sulit.” Jelasku kemudian, aku tidak
tahu apa kalimat itu benar-benar bisa meyakinkannya. Kalimat yang
merupakan bentuk kebohongan terbesarku.
“Syukurlah, memang tidak semua hal yang kita inginkan
bisa kita dapatkan.” Dia mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya.
“Mungkin dia hanya berhati-hati agar tidak ada yang menyakitinya, juga
tidak ada yang tersakiti olehnya.” Tambahnya, sebelum dia menuliskan
sesuatu pada catatannya.
Padahal, akulah yang tersakiti ...
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Pertanyaan yang selama ini berkutat dalam pikiranku, apakah aku yang terlambat, atau dia yang tak bersedia menunggu?
Kini terjawab sudah ...Mungkin kali ini keputusanku sudah benar. Aku
sadar atas egoku yang menganggap semua ini adalah kesalahannya, tidak
sepenuhnya benar. Aku yang bersalah, karena tidak memberinya kepastian
yang membuatnya merasa yakin atas keseriusanku. Dan dari ini aku tahu,
bahwa cinta butuh kepastian agar tidak membuatnya merasa tak nyaman
berdiri dalam suatu ketidakjelasan.
Aku yakin ketika kebahagiaan dan cinta yang berjalan, kadang terpisah. Tidak harus selalu bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar