Sang
Jawara
Oleh: Dion Sagirang
Wajahnya tertunduk lesu di dekat
jendela. Sesekali pandangannya mengarah ke luar. Suara gerimis menyatu dengan
alunan Titik Puspadalam piringan hitam
yang sejak senja tadi berputar. Gurat penyesalan serta kesedihan mendalam
nampak dari garis wajahnya yang mengeriput. Wajah kejayaan tempo dulu. Abdi
dalam masa Founding Father, barangkali
di masa Bapak Pembangunan. Entahlah. Hanya ia dan guratan waktuyang tahu. Air
mata tak urung menjadi jawaban ketika ada yang menanyainya.Tidak ada yang lebih
baik dari bungkam, menyimpannya...rapat. Jiwa prajuritnya melekat, menyatu
bersama aliran darah dalam setiap potongan daging dan bahkan jiwanya lebih
kokoh dari tulangnya.
Akulah
saksi sejarah, saksi peradaban dari sebuah masa peralihan. Masa yang tidak
lebih baik dari masa berbau demokrasi. Klise. Bentuk penindasan hanya berbeda
istilah, satu dengan yang lainnya. Lalu menyatu dengan prakata baru.
Dari
balik ruang berkaca aku menatapnya. Di sini, aku dapat melihatnya jelas, lebih
jelas dari sekadar mematut diri di hadapan cermin tua. Ketika rintik mulai
membasahi tanah yang menebar aroma kebangkitan. Juga cairan bening yang mulai
mengalir dari sudutmatanya yang sayu. Aku bisa merasakannya. Keketiran yang
lebih, ketika suara baku tembak bersahutan di udara, suara tangis memekik,jerit
terperangah dalam kubangan. Kematian menjadi sebuah hal yang lumrah, seperti
area pejagalan. Darah mengenang meski bukan pada lubang. Kepala-kepala
penghianat negara menurutnya kini tinggal di tendang, menggelinding,
nyanyiannya lebih merdu dari gesekan biola, dengan bau amis yang nikmat.
Bapak pernah bercerita itu kepadaku
dulu. Kepulangannya membumbung haru, di tengah keketiran ibu yang setiap hari bersidekapmengucap
doa.
“Tuhan
tidak tuli..., bisikan sekecil apapun, maka semua akan terkabul.” Ibu berpegang
teguh pada keyakinan itu, turun temurun dari leluhur. Garis wajahnya tegas,
barangkali tegang. Sulit membedakannya kala itu. Kebaya putih berpayet abu, samping
batik yang melilitnya, tak pernah dilepas. Semua orang tahu, darah biru masih
kental dengannya.
Yang
kuingat dulu, apa bedanya Bapak dengan pembunuh sadis yang aku tak pernah mengenal
istilah itu sebelumnya.Kepuasan besar diraihnya ketika berhasil
menggelindingkan kepala-kepala yang dianggap penghianat negara.
“Tidak ada yang lebih membanggakan,
bau amis itu lebih wangi dari kasturi, rasanya lebih manis dari tebu sekalipun.”
Ucapnya bangga, membisikan ultrasoniknya ke telingaku. Setengah lari ibu
menghampiriku, segera menutup kedua telingaku dan kakakku dengan kedua
tangannya. Jari lentik membingkai bibirnya yang ranum. Memberi kode agar bapak
tidak melanjut kepongahannyaIa memelukku sehingga wajahku mencium daging-daging
yang dulu memberiku kehidupan. Aku merasakan gerak tangannya, menghimpitku..
Sudah hampir dua jam bapak masih
setia memandangi rintik hujan, menghitung setiap titiknya. Dinding kecoklatan
memberi warna kelam, jati berpernis ukiran khas Jepara menghiasi sudut ruangan.Piringan
hitam masih terus berputar, mengalunkan senandung masa lalu. Kristal bening
mengaliri kedua pipinya, kontras dengan warna kulit gelapnya. Kedua tangannya
ditelungkupkan, disatukan, diremas, sampai satu tetes kristal bening
menjatuhinya. Lalu matanya terpejam.
Dari
sini aku masih menatapnya lekat. Tidak terasa, cairan hangat membasahi pipiku
hingga nampak sembab. Bersama alunan lagu-lagu kebebasan yang diusung negera
barat, aku mulai hanyut. Nyanyian ibu dulu sangat merdu, sajak Sunda yang
dibacakannya ketika menjelang tidur, oh tidak, Arum—kakakku—lebih menyukai
dongeng Sangkuriang dari pada sajak.
Sejujurnya
aku tak kuasa memandangnya. Wajah tirus dengan hanya terbungkus kulit tipis sehingga
tonjolan-tonjolan tulangnya nampak jelas. Dulu ia tidak seperti itu, garis
wajah tegas, kulit gelap menambah garang, dengan tubuh tegap gagah layaknya
prawira. Tangan kirinya mengapit senjata, tangan kanannya berkacak pinggang.
Dialah Sang Komara. Prajurit kebanggaan. Sudah tak terhitung berapa kepala gerombolan
yang sudah dipisah dari tubuh, sudah terlalu banyak jiwa yang direnggut dari
jasad-jasad tak bersalah.
Ketika malam menjelang, ketika
temaram rembulan tak dapat menerangi kegelapan terdalam. Suara burung kematian
terdengar memekik dari balik pohon besar dekat pertigaan jalan yang sudah
senyap. Aku dan Arum selalu takut dengan nyanyiannya, seperti mengundang jiwa
untuk melanggar sumpah dengan jasad. Keluar dari garis yang sudah Sang Kudus
tetapkan. Dalam keremangan lampu damar—lilin
tradisonal dari minyak—yang cahayanya menari bergidik tertiup angin. Dengan
segera, ibu merangkulku bersama Arum, mematikan lampu damar seraya membisiki
kami,“Tidurlah nak, malam masih panjang. Menarilah bersama mimpi,esok akan
baik-baik saja.” Suaranya lembut menggetarkan. Sembari mencoba menutup mata,
aku mengumpulkan segenap kekuatan untuk bertanya.
“Sampai kapan malam akan seperti ini
terus, Bu?”
Ibu
menghembuskan nafasnya panjang. Mata bundarnya menatapku, menatap Arum yang
sudah terlelap dalam mimpi.
“Suatu saat kamu akan mengerti,
tidurlah!” ia tersenyum. Dalam kegelapan, hanya giginya yang putih meratabersama
bola matanya yang bisa kutangkap, meskipun samar.
Selang beberapa tahun, setelah ibu
menyekolahkanku dan Arum ke SR, aku kembali bertanya kepadanya atas situasi
yang sama persis seperti dahulu. Jawaban Ibu masih tak berubah, “Suatu saat
kamu akan mengerti!” katanya dingin. Maka suatu hari, ketika Bapak pulang dari
tugasnya dan ibu sedang tak di rumah, aku memberanikan diri bertanya. Bapak
tertawa pongah. Lagi-lagi jawaban angkuh yang keluar dari lisannya.
“Kegelapan itu kehidupanku, Bumi.
Dalam kegelapan, aku laksana iblis yang tengah meliuk-liuk, memenggal ratusan
kepala. Dan kau tahu berapa jumlah kepala yang sudah terpelanting di
sangkurku?” ia menatapku tajam, “599 kepala, Bumi,” kalimat itu dibisikannya
tepat di telingaku.“Tinggal 1 kepala lagi, lalu genaplah 600.” Ada isyarat
kehausan di matanya. Kehausan mengerikan yang tak sepenuhnya kupahami. Tawanya
kembali membahana, seolah-olah rumah kami dan seisinya bergetar karenanya. Jika
penguasa kegelapan itu benar-benar ada, tentu benar ia adalah bapak. Tiba-tiba
ibu sudah berdiri di ambang pintu, dengan keranjang belanjaan yang baru saja
menghantam ubin, ibu segera meraih kepalaku lalu menyembunyikannya dalam
peluknya.
“Belum saatnya ia mengerti, Komara!”
ibu segera membawaku ke kamar, menyuruhku kembali berlatih membaca meski aku
sudah hatam. Lalu ia kembali ke ruang tengah. Aku mendengar nada bicaranya meninggi,
dengan menyebut nama bapak lantang. Tidak seperti biasanya. Darah biru atau
darah apapun itu, ketika marah, mereka tetaplah manusia. Sisi baik, buruk
berdampingan meski tak pernah selaras. Seia sekata.
Usia lima belas tahun sudah termasuk
cukup umur bagi seseorang perempuan untuk menemukan pasangan tulang rusuknya.
Seperti halnya Kartini, seorang perempuan yang manut dengan tata aturan, aku
pun begitu. Bapak menjodohkanku dengan pemuda yang dipilihkannya, prajurit
junior didikannya yang kelak akan meneruskan kejayaannya, akh aku harap jangan,
cukup bapak saja. Aku hanya dapat mengangguk pelan. Cinta berkumandang dalam
naungan tak sekata, namun akhirnya luluh dan mencuat dengan benih baru.
Tapi
tidak dengan Arum. Ia kukuh dengan keinginannya, menikahi pemuda kampung
sebelah yang menurut bapak tidak memiliki masa depan. Jaman masih belum
berubah, kelompok gerombolan masih bertebaran, seperti memberi celah untuk
memuaskan nafsu bapak.
“Dia kelompok gerombolan, Arum.
Tinggalkan dia sebelum aku bertindak lebih!” bapak tidak pernah main-main
dengan perkataannya. Gerak lidah adalah langkah awalnya sebelum eksekusi.
Sungai air mata tak terbendung lagi
kala itu, ketika sesosok jasad berlumuran darah dengan kepala terpisah. Langit
duka tengah menghampiri jiwa perawan yang menunggu sang pangeran datang meski
tanpa kuda putih. Arum tiba-tiba berubah semenjak kematian Jaka, pemuda yang dianggap
anggota gerombolan itu,mati mengenaskan di tangan bapak. Sama seperti
korban-korban kepongahan lainnya. Tanah yang tak bersalah, harus menyesapi amis
kematian. Ia lebih suka menyendiri, tidak makan selama berhari-hari. Sampai
suatu ketika ibu mendapati jasad putri pertamanya menggelantung pada selembar
kain samping. Kesedihan luar biasa mendera sosok tenang ibu, kini ia rapuh. Kehilangan
separuh jiwanya, bersama jiwa perawan yang telah pergi.
Kematian putri pertama tidak membuat
sang jawara takluk. Ibarat kelapa, semakin tua semakin menjadi. Keprajuritannya
semakin membabi buta. Selain menghempaskan ratusan nyawa gerombolan dengan
tidak berkeprimanusiaan, ia juga mulai menyiksa warga-warga setempat yang
membangkang. Tidak sedikit pula yang berakhir dengan kematian. Hilang sudah
sisi kemanusiaannya, ia hanya seonggok manusia dengan jiwa yang digadaikan.
Hampir setiap hari, ada saja air mata yang tumpah dari kelopak mata ibu. Mata
indahnya kini hanya menjadi lautan penyesalan. Dirinya menanggung beban akibat
sang panutan.
Ibu seperti jasad tanpa nyawa, aura
kecantikannya seketika redup.Sedang bapak laksana kumbang jalang, tidak bisa
hidup tanpa madu. Suatu kabar yang menusuk ulu hati ketika bapak menemukan
bunga baru untuk dijadikan pelabuhannya. Dari pada harus mengurusi perempuan
penyakitan yang tinggal menunggu kereta kematian menjemputnya, ia lebih memilih
bunga baru yang lebih segar. Aku tak kuasa menyampaikan kabar buruk itu padanya.
Yang kulihat kini tak ubahnya mayat hidup. Miris.Air mata sudah menjadi
panganan harianku. Pengabdian pada suami mulai menuntutku. Kehidupanku sudah
dijual, hingga mencuat pembatas antara ibu dan anak. Ini aturan terlaknat
menurutku. Sampai Tuhan memanggilnya dan memilihkan surga sebagai tempat
barunya. Bagiku itu lebih baik, daripada harus melihatnya setiap hari bermandikanderita.
Sedang batu berkulit manusia itu, tengah bersenang-senang dengan madu barunya.
Berselang beberapa bulan kemudian,
aku mendengar kabar yang entah ini kabar bahagia atau duka. Isteri muda bapak
meninggal ketika tengah melahirkan anak pertama yang kehadirannya dianggap sangsi.
Bapak seperti tidakmau mengakui kandungan itu sebagai benihnya. Maka sang
jabang bayi lebih memilih tidak terlahir, bersama jiwa yang membuat dirinya
hina. Betapa terpukulnya bapak, sampai akhirnya ia jatuh sakit.
Bertahun-tahun waktu bergulir,
kepala pemerintahan beberapa kali bergeser. Hanya wajahnya saja yang menurutku
berubah, sedang hati dan jiwanya masih sama. Kamuflase. Prajurit bertangan
dingin kini tinggal nama, bahkan sebagian orang tak mengenalinya lagi. Dalam
satu minggu, aku hanya sesekali membawanya keluar untuk menemui Tuhan. Gereja
adalah tempat yang bisa membuatnya tenang, sedang nisan ibu hanya menjadi
pelabuhan rindu serta sesalnya. Aku menangis dalam keharuan. Sebuah akhir yang
tidak lebih baik.
Kembali kupandang sosoknya. Air
matanya seperti sulit terbendung bersama butiran hujan yang tak berhenti.Kali
ini ia tengah merangkul sebuah lukisan kecil bergambar bidadari bermata sendu.
Ia menatapnya dalam. Air mata terus mengalir dari kelopak matanya yang dalam.
Malam semakin larut dengan rasa dingin yang mulai mengegerogoti kulit. Aku berdiri,
melangkahkan kaki yang mulai kaku. Kuambil mantel hangat yang tergeletak di
sebelahku. Kupandang sosoknya yang sangat berbeda dengan dulu. Kukembangkan
senyuman seraya melingkarkan mantel hangat itu pada tubuh keringnya,
Jiwa Bapak akan tetap
hidup dalam benak Bumi ...
.: Sebagian cerita
diangkat dari cerita pribadi Paman yang memang mantan seorang prajurit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar