(Windra)
Akhirnya mereka memutuskan...
Ini adalah situasi yang membuat guedan
Windry tersudut. Oke, bisa dikatakan ini solusi terbaik buat mereka setelah
hampir berbulan-bulan mereka berjibaku dengan ego masing-masing, merasa merekalah
yang paling benar. Memposisikan diri sebagai manusia—sebagai seorang lelaki dan
perempuan. Tak pernah memposisikan diri sebagai seorang ayah yang seharusnya
bisa berpikir lebih bijak dan sebagai ibu yang lebih penyabar. Apakah mereka
pernah berpikir dengan situasi kami sekarang?
Palu sudah diketuk tiga kali.
Setelahnya, gue sempat melihat mama dan papa bersalaman.Mereka saling
berpandangan dan tersenyum. Melihat itu, gue berharap kalau mereka tersenyum
bukan karena putusan hakim. Ya, meskipun gue tahu, sepertinya itu mustahil. Dan
setelahini, apakah hubungan gue dengan Papamasih bisa kayak dulu...? Terus apa
gue masih bisa memanggil Mama dengan sebutan Mama? Lalu, gue akan tinggal di
mana setelah ini?Bersama dengan siapa setelah beberapa bulan terombang-ambing
dan memutuskan tinggal bersama Oma.
Dulu guemasih
bertanya-tanya tentang semua itu. Tentang keadaan rumah yang nggak senyaman
dulu. Tentang air mata Windry yang selalu jatuh saat dia bercerita di kamar
gue. Gue nggak sanggup ngeliat dia menangis. Dibanding gue, sepertinya dia yang
paling terpukul. Dan gue mulai tahu setelah temen gue memberitahunya. Dia bilang,“Itu
hanya masalah orang dewasa dan lo nggak perlu memikirkannya.”
Memang, tapi
apakah permasalahan orang dewasaterlalu sulit sehingga mereka—orang dewasa—memilih
jalan pintas berupa perceraian?
(Windry)
Aku nggak
tahu harus memulainya dari mana. Sebenarnya ini adalah aib keluarga, tapi aku
sudah nggak kuat menahannya. Aku bukan Windra yang selalu tegar dalam
menghadapi ini seolah keadaan keluarga kami masih tetap sama. Padahal jelas sudah
berbeda. Papa sudah dengan istri barunya, sementara aku dan Windra untuk
sementara tinggal di rumah Oma.
Aku jarang
sekali melihat Papa beberapa bulan ke belakang, sebelum hari ini. Dia yang
berangkat bekerja sebelum aku dan Windra bangun dan pulang setelah kami
terlelap, hah... sebegitu sibukkah Papa? Pernah sekali melihat dia lelap
tertidur di sofa ruang tengah ketika tengah malam aku terbangun karena haus.
Kemeja kantor masih melekat di tubuhnya. Gurat lelah terpampang dari wajahnya.
Mungkin Papa terlalu lelah sehingga tertidur di sana.
Mama
memiliki banyak luang, tapi justru itu yang menyiksa bagi kami. Hampir setiap
hari sebelum hari ini Mama selalu marah-marah nggak jelas. Aku dan Windra
selalu menjadi sasaran amarahnya. Padahal kami nggak tahu kesalahan apa yang
kami perbuat sehingga Mama semarah itu. Bukan hanya sekali dua kali, tapi
sering dan setelahnya, seringkali aku mendengar tangis Mama terisak di kamar.
Hah... hanya
Windra tempatku berkeluh kesah. Meski terlihat cuek, aku yakin dia juga
merasakan apa yang aku rasakan, karena kami lahir dari rahim yang sama.
(Papa)
Mungkin hanya inilah penyelesaian
dari permasalahan yang cukup rumit ini. Intinya, saya dengan istri saya sudah
tak satu pemikiran lagi. Ibarat sebuah benang yang sudah kusut, sangat sukar
untuk diluruskan kembali. Dua bulan setelah pengadilan memutuskan, saya sudah
menemukan kembali pasangan hidup dan kami sudah tinggal di rumah baru bersama
keluarga baru.
Windry dan Windra untuk sementara
saya titipkan di rumah neneknya karena pengadilan belum memutuskan hak asuh
merekajatuh ke tangan siapa. Mereka berdua belum genap tujuh belas tahun, tapi
sudah harus menerima sebuah kenyataan pahit. Meski ini keputusan terbaik untuk
kami, tapi saya yakin, ini bukan yang terbaik untuk mereka berdua. Windry,
gadis manis yang periang sementara kembarannya, Windra, lebih terkesan pendiam.
Beberapa kali saya mengajaknya ke
rumah baru dan menyuruhnya tinggal di sana bersama adik baru dari istri saya.
Istri saya bisa menerimanya, bahkan dia sendiri menyiapkankamar secara khusus
untuk mereka berdua. Tapi entah mengapa, seperti ada sesuatu yang mereka berdua
simpan.Apalagi Windry, gadis itu tidak seceria dulu. Dia terlihat murung
sementara Windra semakin pendiam.
Kadang saya rindu, ingin menghabiskan
akhir pekan bersama mereka, tapi... mereka berdua tampak canggung berada di
antara kami. Entahlah....
Satu minggu lagi pengadilan akan memutuskan
siapa yang berhak mengasuhnya. Saya optimis bahwa saya yang akan
mendapatkannya. Dan pada saat yang sama, di ponsel saya tertulis, satu minggu
lagi Windra dan Windry genap berulang tahun yang ke tujuh belas. Sebuah piano
klasik yang selama ini menjadi impian mereka sudah saya siapkan, hanya tinggal
menunggu hari H saja.
(Mama)
Usia Windra dan Windry belum genap
tujuhbelas tahun sehingga pengadilan memutuskan hak asuh dijatuhkan kepadaku,
sebagai ibunya. Dari awal aku sudah yakin dan jikapun hak asuh jatuh kepada
ayahnya, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Aku tidak ikhlas
jika Windra dan Windry harus diasuh oleh lelaki tukang selingkuh. Cukup aku
yang disakiti olehnya.
Setelah pengangkatanku sebagai
manajer, jadwalku semakin padat dan intensitas pertemuan dengan kedua anakku
hanya saat sarapan pagi saja.Selepas itu, aku tak punya banyak waktu bersama
mereka. Harus kuakui, mereka berdua terlantar.
Aku sedikit
mengekang mereka, sengaja supaya tidak terlalu banyak bertemu dengan ayahnya.
Lihat saja, baru tiga bulan pengadilan memutuskan, dia sudah kembali menikah.
Dasar lelaki! Mungkin Windry dan Windra sudah bisa menilai ayahnya sendiri. Dia
sudah beranjak remaja, dan dia pasti mengerti.
Pernah suatu malam Windry mengetuk
pintu kamar, memamerkan nilai raport-nya yang merupakan nilai tertinggi satu sekolah. Sebenarnya aku
sangat bangga, tapi karena malam itu aku terlalu capai sehingga tidak bergitu
mengacuhkannya.Terus,Windra pernah menelponku supaya menonton final basket
sekolahnya, mana bisa aku keluar kantor seenaknya. Dan sebagai reward, hari ini aku mengajak mereka
berdua keluar, menghabiskan akhir pekan bersama mereka.
Namun sepertinya rencana ini akan
gagal, karena di depan, mobil sedan silver seperti sedang berjalan menuju
halaman rumah kami.
(Windry)
Aku tak kuasa lagi untuk menahan bendungan
airmata ketika melihat mama dan papa yang kembali terlibat dalam pertengkaran.
Sudah lelah aku menerima semua ini. Kupikir, setelah mereka memutuskan
bercerai, situasi seperti ini sudah tak akan kami temui lagi. Ternyata salah...!
Di
sebelahku, Windra tampak seperti biasa. Tidak ada gurat kesedihan seperti yang kuperlihatkan.
Apa karena dia laki-laki, atau dia yang sudah kebal dengan situasi ini? Dia
hanya merangkulkan tangannya ke pundakku. Perlakuannya sedikit membuatku
tenang, aku merasa tak sendiri, ada Windra di sisiku. Dan sepertinya dia juga
merasakan apa yang aku rasakan... aku yakin itu....
(Windra)
Apakah menjadi dewasa itu seperti
ini, seperti mereka? Satu lelaki dan satu perempuan yang usianya lebih dari
tujuh belas tahun, lalupernah mengarungi bahtera rumah tangga selama belasan
tahun, lalu terlibat cek-cok mulut yang terlihat miris? Gue masih mematung di
halaman rumah, hanya berjarak beberapa langkah dari papa dan mama yang masih
berperang mulut. Terus apa yang bisa gue lakukan sekarang? Sejujurnya, dengan
status ini saja gue sudah menderita. Bisa saja gue seperti anak broken home kebanyakan: pelarian ke drug, free sex atau kabur-kaburan dari rumah, tapi otak gue masih
berpikir sehat sehingga nggak perlu ngelakuin hal konyol seperti itu.
Yang gue denger dari cek-cok mulut
mereka sebenernya sepele. Papa sengaja menjemput kami berdua untuk mengajak
menonton konser orkestra. Hal ini dia lakukan mendadak karena ingin membuat
kejutan, dan benar-benar telah membuat kami berdua terkejut. Mama yang juga
akan mengajak kami ke sana nggak mau pergi berbarengan karena Papa juga
mengajak istri dan anak tirinya, lalu... terjadilah pemandangan yang sudah
bosan kami lihat ini.
Rasanya amarah ini sudah naik sampai
ubun-ubun. Gue udah nggak bisa berdiam diri lagi buat ngadepin ini. Gue harus
bertindak, sebagai anak laki-laki mereka. Akhirnya, gue melepas rangkulan
tangan gue di bahu Windry, dan berjalan untuk menghampiri mereka.
Langkah gue
terhenti ketika mendengar suara sesuatu yang jatuh ke lantai. Suara itu cukup
keras, dan ketika gue berbalik Windry sudah tergeletak di lantai dengan hidung
yang mengeluarkan darah. Gue berlari ke arahnya, gue panik dan tak lama setelah
itu suara cek-cok tadi terhenti. Mama dan papa sudah berada di dekatku,
berkali-kali menyebut Windry dengan panik.
***
(Papa)
Ini semua salah saya. Mungkin kalau
saya tidak membuat acara kejutan seperti ini, ini semua tidak akan terjadi. Oh
tidak, mungkin jika saya menurunkan ego sedikit saja, saya menonton bersama
anak dan istri saya, sementara Windry-Windra menonton dengan ibunya. Bukankah
dengan itu, kami juga sama-sama nonton bersama. Hah... dan seharusnya ini juga
tidak terjadi. Rasanya sudah cukupkami melakoni itu semua, dan tidak pernah
berpikir nasib anak-anak.
Bodoh! Sekarang saya bersama Windra
dan ibunya tengah menunggui Windry dan menunggu hasil pemeriksaan dokter karena
Windry tak sadarkan diri setelah dibawa ke rumah sakit. Sementara istri saya
sudah pulang.
Hanya satu
harapan saya, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Windry. Semoga
saja....
(Mama)
Ini salahku...! seandainya aku
takmelarang anak-anak menonton dan pada akhirnya cek-cok bersama Mas Rama, ini
semua tak akan terjadi. Windry... maafkan Mama, ini semua salah Mama. Kenapa
juga emosiku bisa terpancing ketika melihat Mas Rama datang persama perempuan
itu. Perempuan yang sudah menghancurkan rumah tangga kami. Jika saja aku bisa
menahan amarah, Windry tidak akan berada di tempat ini.
Mas Rama terlihat gelisah, berjalan
ke sana ke mari, menunggu hasil pemeriksaan dari dokter. Windra terlihat sedikit
tenang, syukurlah melihatnya seperti itu membuatku yakin kalau Windry tidak
akan kenapa-napa. Sejak kecil, mereka memiliki ikatan batin yang sangat kuat.
Tapi, akh... tetap saja perasaanku dilanda gelisah melihat Windry tergolek
lemah di sana. Aku takut terjadi apa-apa dengannya.
Windry... maafin Mama, semoga kamu
tidak apa-apa.Maafin Mama yang tidaklagi bisa memperhatikan kamu sepenuhnya. Seolah
tidak peduli terhadap perasaanmu, perasaan kalian. Lalu kesunyian di antara
kami dikejutkan oleh suara parau Windra yang sejak tadi memilih bungkam.
(Windra)
“Harusnya kalian bisa bertindak lebih
bijak sebagai orangtua. Hilangkan sedikit ego kalian ketika sedang bersama kami.
Sebenarnya, kamilah yang paling tersiksa atas situasi ini. Apa kalian pernah
berpikir ke sana? Memikirkan perasaan kami atas ego kalian...?” Akhirnya gue
memiliki kekuatan untuk mengatakan itu.
Gue nggak peduli pandangan mama dan
papa terhadap gue akan seperti apa. Anak nggak sopan, nggak beretika, nggak
terpelajar..., gue nggak peduli. Gue hanya ingin menyuarakan hati gue dan
Windry atas apa yang selama ini kami rasakan. Gue tahu, Windry nggak setegar
gue, sebagai cewek dia terlihat sangat rapuh dan gue nggak bisa menerima vonis
dokter atas penyakit Windry.
“Maafin Papa, Dra....”
“Maafin Mama juga....”
Hanya kalimat itu yang gue dengar
setelah itu. Apa salah jika gue mengatakan kalau permintaan maaf mereka sudah sangat
terlambat?
Dan nggak
lama kemudian seorang dokter menghampiri kami dan memanggil papaserta mama, dan
gue... gue juga harus ikut. Gue harus tahu keadaan Windry.
***
(Windra)
Jari tangan
gue menari bebas di atas tuts piano klasik yang diberikan papa di hari ulang
tahun gue dan Windry. Gue memainkan lagu Amazing Grace. Ini bukan lagu kesukaan
Windry, hanya saja lagu ini yang paling tepat guemainkandi hadapan papa dan mama.
Ada genangan di mata mama. Begitu juga papa. Gue melihatnya dari sini. Dan...
bukan hanya mereka yang terpukul. Gue lebih merasakannya ketika seseorang yang
selama ini berada di samping gue, pergi...
Kenapa harus
ada pengorbanan terlebih dulu untuk mendapatkan sesuatu. Memang papa dan mama
nggak kembali seperti dulu karena banyak hal yang nggak bisa membuat mereka
kembali bersatu, tetapi duka ini membuat mereka terlihat rukun kembali. Gue
senang melihatnya, tapi... gue akan lebih bahagia lagi kalo gue melihatnya dari
sini, dari balik piano bersama Windry yang juga ikut memainkannya di samping
piano. Mungkin gue akan menemukan happy
ending dalam cerita hidup gue.
Namun sekarang
semua itu sepertinya hanya mimpi buat gue, karena dia yang harus berkorban atas
ini. Dia meninggal satu tahun setelah terjatuh waktu itu. Mama dan papa nggak
sadar—bahkan gue sendiri—kalau selama ini Windry mengidap kanker darah.
Ken Keyes
pernah berkata, jika Anda kehilangan cinta, Anda kehilangan kehidupan. Gue
kehilangan Windry, dan gue kehilangan kehidupan gue. Tapi akhirnya gue merasa,
kehilangan Windry telah mengembalikan kehidupan kami kembali. Dia telah
berkorban untuk ini, dan akhirnya kami harus belajar untuk merelakan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar