nyolong di google tadi |
Akhirnya saya memutuskan untuk
menyampur-adukkan segala sesuatu yang ingin saya tulis pada blog ini. Yep,
termasukreview pertama saya untuk
film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Sebenarnya, saya sudah ada rencana,
di hari terakhir UAS, saya akan menghabiskan waktu tersebut dengan hanya
bersenang-senang. Selain alasan di atas, alasan lainnya adalah saya telah
menyelesaikan naskah novel sebelum menutup tahun 2013. Sesuatu yang patut
dirayakan, sebenarnya. Rencana pertama adalah, saya ingin nonton. Kemudian,
saya teringat akan hadiah yang menjadi tahuran saya bersama Honesty—kita
singkat saja menjadi Ones—yakni tiket nonton. Dulu, ketika saya mulai mengendus
rencana novel Sunshine Becomes You akan difilmkan, saya menginginkan tiket
gratis tersebut dialokasikan untuk menonton film itu. Tetapi apa dikata, bahkan
sampai detik ini saya belum mengetahui perkembangan film yang diadaptasi dari
novelnya Ilanna Tan tersebut.
Karena takut si gadis asal Cirebon
itu lupa akan janjinya, maka saya menagihnya untuk menonton kali itu.
Sebenarnya tanpa tiket gratis itu pun, saya akan tetap menonton. Namun karena
Ones takut dia kenal sial gara-gara tidak menepati janjinya—seperti tokoh Mia
di novel Janji Es Krim—maka dia menepatinya. Yep, barangkali itu berkah natal untuk
saya. Terimakasih Tuhan yang baik karena telah membuat Ones gagal move on dan kemenangan mutlak di tangan
saya.
Tidak berhenti di sana. Saya dibuat
gamang saat berada di dalam bioskop, memilih antara Edensor atau Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck. Waktu penayangan pun menjadi perhitungan saya waktu itu.
Pertama, saya bukan penyuka karya Andrea Hirata dan Edensor merupakan sekuel
film sebelumnya yang juga tidak saya tonton. Kedua, saya sempat terpengaruhi
oleh orang-orang yang menyampah di beranda facebook mengenai teaser film
adaptasi novel Buya Hamka tersebut menyerupai Titanic.Oh shit... saya masih bisa tersugesti, pertanda iman saya
masih ngawang-ngawang. Lupakan!
Tetapi saya memiliki prinsif, saya
tidak akan memercayai apa pun, sebelum saya melihat atau mengalaminya sendiri.
Maka saya memutuskan menunggu beberapa menit untuk mengisi salah satu kursi di
ruang yang menayangkan film besutan Soraya Intercine Film itu. Baiklah, kita
segera akhiri basa-basinya dan mari kita mulai membedah isi filmnya.
***
Judul:
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Produse: Sunil Soraya, Ram Soraya
Sutradara: Sunil
Soraya
Cast:
Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahardian dll.
Produksi: Soraya Intercine Film
Film
ini berkisah tentang Zainudin—diperankan Herjunot Ali—yang berkeinginan
merantau ke Minang Kabau. Selain untuk menuntut ilmu, melihat keindahan
nusantara, tempat itu juga merupakan tempat kelahiran orangtuanya—entah ayah
atau ibu, tepatnya saya lupa. Dia adalah yatim piatu yang dibesarkan oleh
pengasuhyang di Makassar. Dan berbekal uang yang diwariskan orangtuanya, yang
sebagiannya diberikan pada pengasuh, dia pun bertolak dari Bugis.
Di
tempat barunya, dia tinggal bersama seorang kenalan pengasuhnya—diperankan
Christine Hakim—dan mulai mengenyam ilmu agama di sana. Pertemuan pertama
dengan seorang Hayati—sebut saja kembang desa, diperankan oleh Pevita
Pearce—yang elok membuat dia meyakini keberadaan cinta pada pandangan pertama.
Diceritakan kalau Hayati ini memiliki nasib serupa dengannya.
Pertemuan
selanjutnya dimulai ketika hujan turun sepulang mereka mengaji di sebuah surau,
lalu Hayati bersama sepupunya lupa membawa payung. Bersama percakapan yang
mengharuskan dua gadis itu bergegas menuju rumahnya, Zainudin lantas memberikan
payungnya untuk dipakai Hayati dan sepupunya. Keluarlah percakapan yang agak
kaku, khas dua orang asing di antara kedua orang itu. Memperlihatkan bahwa
Zaenudin ini selain orang baik, juga berbudi pekerti luhur.
Komunikasi
keduanya berlanjut dengan sepucuk surat yang diantarkan anak kecil. Hayati
sering menerima surat yang puitis yang dikirmkan Zainudin, sementara dia
acapkali bingung karena merasa tak mampu menyeimbangi keindahan kata-kata yang
ditulis oleh lelaki penyuka syair itu. Kemudian, tanpa sengaja mereka bertemu
di sebuah danau saat Hayati tengah mengambil air, dan Zainudin sedang menulis.
Sejenak, mereka mengobrol dengan cara malu-malu.
Kedekatan
dua insan yang sedang dilanda cinta itu tercium oleh tetua di sana yang bahkan
salah satu darinya menambah-nambah cerita mereka. Sampailah keputusan oleh
Datuk—tetua yang merupakan Paman Hayati. Diputuskan, Zainudin untuk tidak
tinggal di tempat itu dan bertolak ke Padang. Sebelum pergi, Hayati telah
membuat janji kepada Zainudin, bahwa selama apa pun lelaki itu pergi, dia akan
tetap menunggu. Bahkan, gadis itu sampai bersumpah membawa nama nenek
moyangnya.
Zainudin
tinggal di sebuah keluarga seorang perempuan yang baik—diperankan Arzetti
Bilbina. Lalu, sepucuk surat yang mengabarkan bahwa tak lama lagi Hayati akan
ke tempatnya, bertemu dengan sahabatnya untuk menyaksikan pacuan kuda dan pasar
malam. Pelbagai persiapan pun Zainudin lakukan, demi bertemu dengan si jantung
hati. Dibantu oleh sahabat barunya, Bang Muluk—diperankan Randy Nidji.
Sementara
Hayati telah sampai di rumah sahabatnya, Khadijah. Gadis minang yang telah
modern itu berpakaian ala sedikit terbuka kala itu. Diceritakan kalau mereka
keluarga yang terpandang. Lalu, pada saat yang sama, kakak Khadijah,
Azis—diperankan Reza Rahardian—pulang ke rumah, membawa dua teman Belandanya.
Lagi, cinta pada pandangan pertama berkat keelokan rupa terjadi di sini. Azis
mengagumi kecantikan Hayati, terlebih ketika penampilannya berhasil diubah oleh
adiknya.
Hari
itu pun telah tiba. Hari di mana, Hayati dan Zainudin akan bertemu. Tetapi
pertemuan dua instan itu tidak semulus yang dibayangkan. Mereka tak bisa
melepas kerinduan masing-masing karena Hayati harus ikut bersama Khadijah.
Zainduin bukan hanya terkaget oleh perubahan gadis itu, melainkan pertemuan
yang telah dijanjikan itu tidak terjadi.
Cerita
beralih, menuju musyawarah yang dilakukan Datuk di rumahnya. Dua lelaki melamar
Hayati dalam waktu yang sama. Azis melewati salah satu kerabatnya, sementara
Zainudin melalui sepucuk surat. Dengan banyak pertimbangan yang terkesan
keadatan, maka mereka memutuskan menerima pinangan Azis. Dengan atau tanpa
persetujuan Hayati. Pernikahan pun digelar, sepucuk surat diterima Zainudin
dengan linangan air mata. Bagaimana bisa, gadis yang telah berikrar sumpah
kepadanya, memilih pinangan lelaki lain dengan alasan, Zainudin adalah orang
yang tak punya.
Cinta
merapuhkan nalar. Cinta mengenyahkan logika dan cinta telah membuat Zainudin
serupa gila. Dia terluka, bersama setengah kesadarannya, acapkali lelaki itu
melapal nama Hayati. Kemudian seorang dokter menyarankan, untuk mengobati
sakitnya, dipertemukanlah lelaki itu dengan Hayati yang datang bersama
suaminya. Kemudian, sebuah tanda di lengan Hayati memperlihatkan bahwa dia
telah menjadi milik orang lain.
Perlahan,
Zainudin mulai bangkit. Bukan berarti serta merta menghapus jejak Hayati di
hatinya. Atas saran Bang Muluk, dia pun menyelami kesukaannya terhadap syair,
hikayat dan bentuk sastra lainnya. Dia berangkat ke tempat temannya Bang Muluk,
lalu mengisi rubrik sastra koran lokal di sana dan seketika, koran tersebut
menjadi sangat laku berkat cerita bersambung dengan judul ‘Teroesir’ hasil
goebahan: Z. Perlahan, dia mulai bangkit beserta aktivitas barunya. Menyelami
hobinya yang menghasilkan uang.
Sebuah
tawaran menghampirinya, mengurus surat kabar di Surabaya yang hampir bangkrut.
Bersama Bang Muluk, Zainudin pun berangkat. Mulai meniti karirnya dan di kota
berjuluk Batavia, dia meraih kesuksesannya sebagai penulis buku, juga sebagai
pemimpin surat kabar. Sementara Hayati menjalani kehidupannya sebagai istri
dari seorang Azis yang diketahui memiliki perangai yang buruk. Suka berjudi,
bermain perempuan dan terkadang melakukan kekerasan kepadanya. Karena urusan
pekerjaan, dia bertolak bersama Azis menuju Surabaya dan tinggal di sana.
Takdir
membawa kedua orang yang masih menyimpan cinta di dasar hatinya itu pada
pertemuan komunitas orang-orang Minang yang menyelenggarakan opera yang
diadaptasi dari buku Zainudin. Lelaki itu pula yang mengadakan pertemuan itu
seraya mengadakan pesta besar di rumahnya yang megah. Betapa tertohok Azis dan
Hayati melihat kesuksesan yang diraih Zainudin, lelaki yang pernah diolok
lantaran ketidakpunyaan hartanya.
Pada
saat itu, Azis tengah dililit hutang karena judi. Semua hartanya pun disita.
Dengan berat hati, dia meminta bantuan kepada Zainudin, menumpang di rumahnya.
Zainudin memberi tumpangan dengan syarat, tidak memasuki ruang kerjanya.
Lelaki
dengan super egonya. Azis malu, menumpang berlama-lama beserta Hayati, di rumah
orang yang telah disakitinya terdahulu. Dia sakit, lalu setelah sembuh dia
berencana mencari pekerjaan di tempat lain. Padahal, waktu itu Zainudin memberi
saran supaya mereka kembali ke kampung halaman mereka dengan biaya yang
ditanggung olehnya.Namun Azis menolak. Dia menitipkan Hayati di rumah Zainudin
sementara dia pergi.
Betapa
campur aduknya perasaan Hayati, tinggal menumpang di rumah Zainudin. Dia pun
hendak melakukan apa yang dibisanya, menyajikan teh hangat untuk sang tuan
rumah. Namun Zainudin sedang tak berada di ruangannya, ada Bang Muluk yang
melarangnya untuk tidak masuk ke ruang kerja sahabatnya. Hayati pun bertanya,
lalu dengan belas kasihnya saat mendengar cerita Hayati, dia membawa perempuan
itu ke dalam ruangan.
Tempat
yang indah, tetapi kenapa tidak boleh ada yang masuk? Pertanyaan itu Hayati
ajukan pada Bang Muluk yang tanpa kata-kata, lelaki berambut kribo itu membuka
selembar kain penutup pada lukisan yang melekat di dinding. Terpampang lukisan
Hayati yang mengenakan kain penutup kepala, penampilannya pada saat di kampung.
Pada detik itu pula, Hayati berlutut dan menangis. Penyesalan yang dirasakannya
semakin bertumpuk. Ditambah dengan kabar duka yang datang dari suaminya. Azis
menceraikannya, lantas bunuh diri. Sebelum itu, Azis mengirim surat kepada
Zainudin, berterima kasih atas kebaikannya, lalu dia membalasnya dengan
memberikan sesuatu yang telah diambilnya, yakni Hayati.
Hayati
yang merasa statusnya di rumah itu dipertanyakan, kemudian sikap Zainudin yang
seolah masih menyimpan dendam terhadapnya, dia pun meminta kejelasan pada
lelaki itu, memohon supaya memaafkannya. Terjadilah adegan yang mengharukan,
saat Zainudin mengeluarkan segala isi perasaannya pada Hayati. Hayati yang
dirundung sesal tiada bertepi itu mengemis, memohon supaya dia tetap tinggal
bersama Zainudin, meski sebagai kacung sekali pun. Demi bisa menebus kesalahan
di masa lalunya, terlebih, demi terus bersama dengan lelaki yang sampai detik
itu pun, tetap dicintainya.
Lagi-lagi, lelaki dengan super
egonya. Zainudin tidak mungkin menjilat perkataannya sendiri. Dia teguh dengan
keputusannya, mengembalikan Hayati ke kampung halamannya. Dia mempertegas
status ‘sahabat’ yang pernah dikumandangkan Hayati dalam surat perpisahannya.
Zainudin melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang sahabat kepada Hayati,
sementara Hayati tidak bisa lagi berkutik. Bersama kapal besar buatan Belanda
pada saat itu, dia bertolak menuju kampung halamannya. Dia berangkat bersama
selembar foto Zainudin yang terus dipegangnya, dengan alasan dia tidak ingin
merasa jauh dengan lelaki itu. Hayati merasa berat ketika harus menginjakkan
kakinya di atas kapal besar itu, lalu meninggalkan Zainudin. Dia sudah
merasakan firasat, kalau keberangkatannya seperti akan menenggelamkan dirinya
ke dasar laut.
Kemudian Zainudin yang baru
menyadari kebodohannya, melepaskan perempuan yang begitu dalam dia cintai,
segera kembali ke rumah, memesan tiket kereta yang akan membawanya ke kampung
halaman Hayati, menjemput kembali perempuan itu, menyuntingnya sebagai seorang
istri. Namun keinginan tersebut datang bersama surat kabar yang memberitahukan
kalau kapal Van Deer Wijck tenggelam. Seketika, Zainudin merasa awan gelap
merundungnya.
Bersama perasaan sesal tiada tara,
dia mencari ditemani Bang Muluk. Setelah mencari, kemudian ditemuinya Hayati
tergolek lemah dalam sebuah blankar. Demi Tuhan, Zainudin menyesali semuanya.
Menumpahkan rasa sesal yang menumpuk di dasar hatinya itu. Namun, takdir tidak
membuat dua insan itu bersatu. Keinginan terakhir Hayati adalah, Zainudin
membacakan dua kalimat suci di telinganya. Dan setelah itu, Hayati pergi untuk
selama-lamanya. Membawa cinta yang selama ini hanya diberikan kepada Zainudin
itu pergi.
Bagi Zainudin, Hayati masih tetap
hidup. Hidup dalam karya hikayat yang ditulisnya. Hidup dalam rumah besar yang
dijadikannya sebagai panti asuhan dengan nama ‘Hayati’.
***
Huh... saya sedikit lega setelah
menuliskan sinopsis yang harusnya singkat, malah serupa sinopsis yang biasa
saya kirimkan ke penerbit. Ya Tuhan... semoga tinjauan film pertama saya ini tidak
kacau.
Saya akan mengutuk diri saya sendiri
jika seandainya saya termakan ke-sok-tahu-an beberapa teman saya di facebook
yang telah menghakimi film ini dari teaser-nya saja, yang dengan heboh mereka menyebut
film ini menyerupai Titanic. Sama sekali tidak ada unsur yang sama dalam film
ini, kecuali cinta yang terhalang—oke, kupikir ini cerita klise milik Tuhan
yang semua orang berhak memakainya—dan kapal yang tenggelam. Kemudian
pernyataan mereka memperkukuh prinsip saya, jangan pernah menghakimi apa pun
dari luarnya, begitu pun dari dalamnya. Sebuah karya lahir untuk dinikmati,
diapresiasi, bukan dihakimi tanpa landasan yang jelas.
Saya
menyukai film berdurasi panjang ini. Sebagai penonton, perasaan saya dibuat
karut marut oleh kisah cinta mereka. Kisah ini berakhir tanpa kebersamaan
antara Zainudin dengan Hayati, tetapi dapat dikategorikan berakhir dengan
bahagia. Proporsi kesakitan antara keduanya dibuat seimbang, kesakitan Zainudin
serat penyesalan Hayati. Membuat pengambilan sudut pandang film ini ballance. Saya menyukai itu.
Tema adat yang diangkat, setidaknya
dapat membuka mata serta pikiran semua manusia di dunia ini. Jujur saja, film
ini membuat saya berkaca-kaca, terlebih ketika Zainudin membisikan dua kalimat
suci ke telinga Hayati. Saya larut ke dalamnya. Kemudian, saya katakan film ini
mengaduk-aduk perasaan lantaran suasana sedih disajikan berbarengan dengan kelucuan,
yang dilakukan Bang Muluk misalnya. Atau gaya Zaindudin yang selayaknya
penyair. (Hal yang membuat tokoh Zainudin kurang, lantaran Herjunot Ali pernah
berperan hampir serupa di film 5 CM)
Menyoal animasi yang menggambarkan
suasana kapal yang masih sangat kurang, padahal ini hal yang paling vital
menurut saya, lantaran menjadi benang merah cerita, tetapi saya maklumi untuk
ukuran Indonesia. Noise lainnya
adalah, ketika itu semua kursi bioskop penuh. Gelak tawa yang tidak pada
tempanya, membuat konsentrasi berkurang. Oke, itu adalah problem ekstern ya.
Saya menyukai film ini. Saya tidak
mengerti konsep dalam novel atau pun dalam film ini, tetapi saya melihat film
ini juga membawa misi dakwah Islam secara tidak langsung. Saya memandangnya
demikian.
Yg pernah saya baca dr berbagai sumber sih, dalam bukunya emang mengandung banyak dakwah islam namun juga banyak dikikis dalam filmnya.
BalasHapusDan btw, joke yg diselipkan dlm adegan serius barangkali cara sutradara untuk memecah ketegangan .. yah, opini org kan beda2.
Terima kasih Aghniya sudah berkunjung.
BalasHapusWah, saya yang sangat awam soal agama, dapat menangkap pesan dakwahnya di sana. Soal lelucon, sepertinya itu memang trik lazim. Padahal kalau dibuat full sad.
Ya Tuhan, Dion, membaca komentarmu di blog-mu sendiri membuat saya merasa asing. Kenapa di dunia maya kamu seperti malaikat? berbeda sekali dengan aslinya. atau cuma cara saya yang membacanya saja yang seperti malaikat? bukankah TEKS hanyalah tulisan tak beremosi? bukanah sang pembaca-lah yang sebenarnya yang memberinya emosi?
BalasHapusEiitss, cukup! saya tahu apa komentar anda. Bagaimanapun komentar anda, Saya masih meyakini Tuhan. (Off the record, ya)