Hujan kembali menjebakku pada Selasa
sore, seperti di tiga minggu sebelumnya. Cepat-cepat aku menepikan motor, membawa
langkahku memasuki satu-satunya toko kue di seberang jalan di kawasan Suburban,
lalu membuka pintunya yang kayu.
Sebuah lonceng kecil di atas kosen
berdencing kala aku membukanya, lalu segera kubawa langkahku memasuki ruang
tidak luas bernuansa salem yang diisi dengan perabotan serbakuno; sketsa-sketsa
sederhana yang berpigura cokelat dan lampu-lampu yang bergelantung di
langit-langit.
Aku mengedarkan pkaungan ke sekitar,
pada etalase berisi macam-macam kue yang tidak kuketahui namanya, bertumpu pada
sebuah kabinet. Sekitar satu meter di belakang perabot itu, terdapat rak putih
tinggi yang nyaris menyentuh langit-langit. Di dalamnya berbaris stoples-stoples
yang diisi dengan banyak kue kering yang, lagi-lagi tidak satu pun kuketahui
namanya. Aku mengunjungi tempat yang isinya sama sekali sangat asing, dan ini
kali ketiga kunjunganku.
Aneh, bukan? Ya, aku juga merasa
begitu. Sebenarnya, semua ini berkat hujan sialan yang datangnya sangat
tiba-tiba.
Toko kue yang kukunjungi sepi. Hanya
ada seorang pengunjung perempuan yang mengisi meja di sudut ruangan. Perempuan
cantik yang mengecat kukunya dengan warna merah, yang sedang mencoret-coret sebuah
buku berwarna serupa kuku-kukunya.
Itu kali ketiga aku melihat dia. Di
tempat yang sama, dengan pesanan yang sama, dan pada suasana yang sama; pada saat
rintik-rintik turun—dan sepertinya, pada saat aku tengah sial-sialnya. Sudah
pasti aku akan kembali terlambat menemui narasumberku. Dimarahi pemred hanya
sekelumit masalah yang akan kuhadapi setelah ini. Tetapi memecatku adalah
satu-satunya kemungkinan yang mustahil dilakukan perempuan gendut itu.
Aku menghampiri meja di depan
perempuan berambut ikal tebal yang kini tengah melamun dan menatap hujan dengan
sendu. Aku segera meletakkan tas laptop dan kamera ke atas meja, kemudian
mengusap rambutku yang kuyup. Tidak lama setelah aku duduk, seorang pramusaji
perempuan menghampiriku, menyodorkan buku menu yang kutepis secepatnya.
“Teh Hijau,” kusebut pesananku.
Pramusaji itu segera mencatatnya,
dan bersama senyum ramah yang sedikit canggung, dia minta diri.
Aku kembali mengusap-usap pakaianku
yang basah, dan beberapa saat kemudian, seorang perempuan membawakan pesananku.
Bukan pramusaji dengan senyum canggung tadi, tetapi perempuan muda yang mengenakan
seragam koki yang langsung menyerahkan cangkir porselen itu ke atas meja kayu
di hadapanku.
“Teh Hijau pesananmu,” ucap
perempuan berbaju koki itu.
Kubilang, “Terima kasih,” lalu kembali
pada kesibukanku semula. Sesungguhnya, baju yang basah ini membuatku tidak
nyaman, seperti saat kau mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan ukuran
tubuhmu.
Sedetik kemudian, terdengar sebuah
dehaman dari arah arah perempuan muda berbaju koki di sampingku, “Toko kue kami
menyajikan kue-kue yang luar biasa enak dan cantik. Kau tidak akan melupakan
bagaimana rasa tar, puff, mousse dan pai kami. Atau, kau ingin mencicipi
tiramisu buatan koki kami yang, kalau saja toko-toko kue terkenal di Paris
seperti Gerald Mulot dan Lonetre menjual tiramisu, sudah pasti tiramisu buatan
Ju ini pantas dimasukkan ke buku menu mereka, dan dihargai enam euro per potong.
Bagaimana?”
“Terima kasih.” Kalau perempuan
berbaju koki ini tidak bodoh, sudah pasti tahu maksud ucapanku barusan.
“Emm, atau kau ingin merasai Souffle
cokelat buatan Ju yang, meskipun dingin, tetapi rasanya tidak ada
tandingannya?” Masih perempuan yang sama yang mengoceh di sampingku.
Kuhentikan segera aktivitasku, lalu
menoleh ke arah perempuan berbaju koki itu. Wajahnya memasang ekspresi penuh
harap, seolah jawaban “ya” yang terlontar dari mulutku akan membuatnya
tersenyum seharian.
“Pekerjaan saya selalu menuntut rasa
ingin tahu, dan tidak percaya.”
“Kau jurnalis?” dia menebak.
Aku mengangguk, lalu melanjutkan kalimatku
yang terpotong tadi. “Saya ingin tahu bahwa barusan kau tidak sedang beromong
kosong.”
“Baik,” ucap perempuan berbaju koki
itu dengan semringah. “Jadi, kue apa yang ingin kau cicipi?” tanyanya, masih
dengan ekspresi yang sama.
“Kue yang jika dijual di toko Gerald
Mulot dan Lonetre akan dihargai enam euro per potong.”
Tidak lama setelah aku menyebutkan
pesananku, perempuan berbaju koki itu langsung minta diri. Di luar masih hujan,
dan toko kue yang kukunjungi tetap sepi. Hujan seperti mengunci sepasang kaki para
pengunjung, lalu membiarkan aku bersama dengan perempuan berwajah murung di
meja di sampingku. Berdua, memandangi butir-butir hujan, seperti tokoh-tokoh
fiksi dalam novel atau juga dalam film yang pernah kutonton. Tokoh-tokoh, yang
sebenarnya cengeng, yang menganggap hujan adalah bentuk kesetiaan alam atas
kesedihannya.
Lamunanku tersadar oleh dering
ponsel yang kuletakkan di dalam tas. Bunyinya monoton, dan semakin nyaring. Aku
meraihnya, lalu kudapati nama Gus yang tampil pada layarnya. Aku membiarkannya,
sampai dering membosankan itu berhenti dengan sendirinya.
“Ah, pacarmu pasti mengambek
panggilannya tidak dijawab.” Perempuan berbaju koki itu muncul, membawa kue
yang disebutkannya tadi sambil berkomentar sok tahu. “Selamat menikmati krim,
keju mascarpone dan biskuit kopi yang lembut. Saya percaya, kue ini akan memupus
anggapanmu tentang ocehan saya tadi.” Lalu, dia mengulas senyum aktor; senyum
yang berusaha menyembunyikan kesedihannya sendiri.
“Ya, terima kasih. Saya akan
membayarnya seharga enam euro kalau apa yang kau bicarakan bukan omong kosong.”
Senyum perempuan di sampingku
semakin lebar. “Ya, semoga apa yang kau katakan barusan juga bukan omong
kosong,” balasnya seraya mengedipkan satu matanya.
Aku dibuat tersenyum oleh perempuan
berbaju koki yang memberi kesan akrab, seolah-olah aku pernah bertemu di
hari-hari sebelumnya. Perempuan itu minta diri setelah itu, membiarkan aku
mencicipi calon kue seharga enam euro di hadapanku.
Ini kali pertama aku mencicipi
sesuatu yang manis, selain kopi hitam yang agak pahit. Aku meraih sendok kecil,
kemudian mencicipi tiramisu di hadapanku. Dan, ini aneh. Maksudku, aku tidak
memakan kue karena aku tidak menyukai makanan manis. Tetapi, tiramisu dalam
mulutku sangat enak, seperti yang dibilang perempuan berbaju koki tadi. Krim,
keju mascarpone dan biskuit kopi yang lembut seketika melumer di lidahku, dan
untuk beberapa saat, aku tertegun. Sepertinya, perempuan berbaju koki tadi lupa
menyebutkan, bahwa koki mereka juga menaburi bubuk-bubuk magis ke dalamnya.
Tiba-tiba saja ada sesuatu yang
menghangat dalam diriku, seperti saat kau menikmati sajian sederhana yang
dibuat ibumu. Di tengah-tengah ruang makan yang tidak luas, kau berkumpul
dengan keluargamu, kemudian berbincang sambil sesekali mengurai tawa. Ini serupa
kegilaan. Aku akan mengeluarkan uang senilai enam euro untuk kue ini kepada
perempuan berbaju koki tadi.
Kue di depanku belum separuhnya
habis saat ponselku berbunyi. Sebuah pesan teks masuk, dari orang yang sejak
tadi mencoba menghubungiku. Berbunyi seperti ini:
“Sudah lima tahun, Moses. Sampai kapan kebencian akan membawamu semakin
jauh?”
Pesan selanjutnya muncul, kali ini
bernada sedih dan sarat penyesalan.
“Pulanglah. Aku rindu bercengkerama denganmu.”
Aku tidak membalas, dan pesan terakhirnya
muncul. Nadanya pesimis.
“Terkutuklah
aku yang tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, selain kau.”
Aku membaca tiga pesan teks yang
dikirim Gus dengan lekat, sampai-sampai aku tidak menyadari perempuan yang
duduk di sampingku beranjak dari kursinya. Hanya gemeletap sepasang sepatunya yang
terdengar, lalu sosoknya sudah berada di luar. Melalui jendela, aku melihat
perempuan itu membentangkan payung merah, kemudian menembus rintik-rintik yang mengenai
payungnya. Tidak lama setelah kepergian perempuan itu, hujan berhenti dan
langit berangsur terang.
Aku meletakkan ponselku kembali ke
dalam tas. Aku tidak memiliki alasan membalas pesan teks dari lelaki yang sudah
berkhianat itu. Tanpa aku tahu, suatu hari, aku akan menyesali sikapku yang
begini.
***
Aku mengunjungi kembali toko kue di
kawasan Suburban pada Selasa yang cerah, dan sebenarnya aku mengharapkan sore
ini hujan deras.
Dencing lonceng kecil di atas kosen
menyapa saat aku membuka pintu. Tidak seperti terakhir kali aku mengunjunginya,
toko kue kali ini ramai. Meja yang berderet nyaris penuh, lalu etalase dan
stoples-stoples berisi kue kering di dalam lemari putih itu tersisa separuhnya.
Aku membawa langkahku menuju meja yang sama yang kebetulan baru ditinggalkan
pengunjung.
Seorang pramusaji menghampiriku
sambil menyodorkan buku menu. Seperti biasa, aku menepis seraya berkata, “Teh
hijau,” aku menjeda kalimatku sesaat, “dan kue seharga enam euro per potong.”
Pramusaji di depanku menatapku
bingung, “Maaf, Mas, kami tidak memiliki kue yang disebut.”
“Tulis saja,” kubilang, “salah satu
koki kalian membuat kue itu.” Pramusaji itu lalu mencatat dan minta diri setelahnya.
Aku meletakkan tas kamera dan laptop
ke atas meja, kemudian menatap ke luar melalui jendela. Cuaca masih cerah, dan
sepertinya harapanku tidak akan terpenuhi. Mana mungkin hujan turun, sementara matahari
masih menampakkan diri.
Tidak lama kemudian, para pengunjung
satu per satu mulai meninggalkan toko kue, menyisakan aku seorang diri. Duduk
termenung pada meja di dekat jendela. Menunggu hujan turun. Dan sepeninggalnya
mereka, terdengar bunyi petir menyambar di tengah langit yang cerah. Seketika
itu, butir-butir air perlahan turun.
“Ah, hujan,” kudengar seseorang mendesah
di sampingku.
“Hujan nanggung,” aku bergumam.
Hujan kala matahari tetap bersinar dengan terang. Dahulu, saat kami masih
kecil, Gus selalu mencari keberadaanku saat fenomena seperti ini muncul.
‘Pertanda,’ kata Gus, ‘hujan seperti
ini pertanda bahwa orang-orang yang sudah meninggalkan kita tengah merindukan
kita.’
Aku diam saja saat itu, tidak
mengerti dengan ocehan kakakku itu.
‘Jangan diam saja, bodoh. Kita
doakan ibu kita di surga. Saat ini, dia sedang merindukan kita. Bilang juga,
kita rindu padanya.’
“Ini kue enam euro pesananmu.” Aku
dikagetkan oleh suara perempuan berbaju koki yang membawa nampan berisi
pesananku. Dengan cekatan, dia menaruh secangkir teh hijau dan sepotong
tiramisu ke atas meja.
“Terima kasih,” aku menjawab.
“Saya tidak menyangka kalau kau akan
membayar tiramisu ini seharga enam euro.”
“Moses,” gumamku. “Panggil saya
Moses.”
“Kalau begitu, panggil saya An,” Perempuan
berbaju koki itu memperkenalkan diri. Lalu, dia melirik ke arah dirinya muncul
tadi. Setelah keadaan dirasanya aman, dia menggeser kursi dan duduk pada kursi
di seberangku.
“Jadi..., kau menyukai tiramisu
buatan Ju?” tanya An, penuh rasa ingin tahu.
Aku menggeleng, tetapi bukan berarti
tidak. Aku menatap tiramisu di hadapanku dengan nanar. Sebenarnya, aku hanya
sedang merindukan momen yang sama satu bulan yang lalu. Pada waktu yang sama,
di meja yang sama, dan pesanan yang sama. Aku menunggu ponselku berdering.
Menunggu nama Gus tampil di layarnya, kemudian aku segera menerima teleponnya, bercengkerama
dengan lelaki itu.
“Maaf,” katanya, “saya akan pergi
kalau kehadiran saya mengganggu.”
“An, kau akan menghargai tiramisu
ini berapa euro kalau kau bisa mengembalikan momen di satu bulan yang lalu,
saat kali pertama kita bertemu, saat kau melihat saya mengabaikan telepon masuk
dari saudara saya?”
An menatapku bersama kedua alis yang
bertaut.
“Ya, sebut saja, An, saya akan
membayar berapa pun. Asal, saya bisa kembali ke masa itu. Bercengkerama dengan
Gus, mendengar suaranya untuk terakhir kalinya. Atau, saya bisa mencegahnya
berbuat konyol yang membuat nyawanya sendiri terenggut.” Aku sudah mirip dengan
orang prustasi saat itu.
Lawan bicaraku menatapku dengan
lekat, seolah dirinya bisa merasakan apa yang sedang kurasakan saat itu; rasa
kehilangan serta penyesalan. Mulut An bergerak, tetapi tidak ada suara. Kami
berdua bergeming selama beberapa saat. Lalu, lonceng kecil di dekat pintu
berdencing, seorang perempuan yang biasa mengisi kursi di sampingku muncul, dan
An segera menyambut kedatangan perempuan itu.
Perempuan berbaju koki itu lalu
berdiri, menghampiri tamu di meja di sampingku.
“Souffle cokelat.” Perempuan yang
datang bersama hujan menyebutkan pesanan. Lalu, aku hanya mendengar sepasang
sepatu perempuan berbaju koki itu meninggalkan meja.
Aku menyendok tiramisu di hadapanku
pada akhirnya. Rasanya seperti biasa. Manis, lembut dan lumer di lidah. Aku
membuka tas, mengecek ponsel, dan tidak ada tanda apa-apa. Tidak ada panggilan,
maupun pesan teks. Aku kembali menyendok tiramisu, dan pada sendok terakhir,
aku merasakan ada yang aneh dalam tiramisu di mulutku. Rasanya tidak seenak
tadi. Agak asin.
Saking menikmati kue di hadapanku, seraya
mengurai harapan-harapan yang mustahil terjadi, aku tidak menyadari kehadiran
An yang mengantarkan kue pesanan perempuan di meja di sampingku. Dan, sebelum
berlalu, perempuan berbaju koki itu menyerahkan selembar tisu kepadaku.
“Kau butuh ini,” katanya. Setelah
itu, An tidak lagi bicara, hanya mengulas senyum getir. Dan, setelah aku
menerimanya, dia berlalu begitu saja, membiarkan aku sendiri.
***
Satu bulan kemudian, pada Selasa
sore, aku mengunjungi kembali toko kue di kawasan Suburban. Pada hari yang
sama, tanggal yang sama, jam yang sama, meja yang sama, dan pesanan yang sama.
“Teh hijau, dan kue seharga enam
euro per potong,” aku berkata kepada pramusaji yang segera mencatatnya, kemudian
berlalu.
Kali ini, hujan turun mendahuluiku.
Dari balik jendela, aku hanya bisa menatap sisa-sisa air yang menggenang di
tepi jalan. Serupa kepergian Gus. Kepergian lelaki itu hanya menyisakan sepenggal
kenangan dan penyesalan yang, sialnya, keduanya tidak pernah datang di awal.
Dan sesungguhnya, aku tidak tahu
sampai kapan akan melakukan ini, mengunjungi toko kue ini supaya bisa kembali
pada momen dua bulan yang lalu, saat Gus menghubungiku di telepon, dan mengirim
tiga pesan teks.
“Selamat sore,” seseorang menyapaku,
tetapi bukan suara perempuan berbaju koki.
Aku menoleh ke arah suara itu
berasal, dan memang bukan. Dia perempuan cantik berkaus tanpa lengan berwarna
ungu. Aku melihat garis-garis wajah An di wajah perempuan itu. Sedikit, ya
hanya sedikit.
“Aku Galuh,” perempuan itu
memperkenalkan sambil menggeser kursi di seberangku. “Hari ini toko kue kami sedang
tidak membuat tiramisu. Maaf.” Dia memasang ekspresi menyesal.
“Oh,” aku menggumam, sedikit kecewa.
“Sebagai gantinya, kami membuat
ini.” Dia menggeser gelas koktail besar berisi sesuatu yang berwarna-warni.
“Ini macaron yang sama yang dibuat An untuk perempuan pembawa hujan yang biasa
duduk di meja di sampingmu. Ah, An memang absurd. Sekarang, dia menyuruh kami
membuatkan ini untukmu,” jelas perempuan bernama Galuh. Lalu, dia menggeser
secarik kertas kepadaku.
“Ini juga dari An. Dia sudah tidak
bekerja lagi di Afternoon Tea. Sebelum pergi, dia menitipkan ini kepadaku.”
Aku mengambil secarik kertas itu,
lalu kubilang, “Terima kasih.” Setelah itu, perempuan bernama Galuh beranjak,
membiarkan aku sendiri.
Tanganku bergetar saat membuka
secarik kertas yang An titipkan kepada perempuan bernama Galuh. Ah, sangat klise.
Surat perpisahan, padahal, baru dua kali kami bertemu. Tetapi, rasa ingin tahu
memaksaku membukanya.
“Enam
euro tidak terlalu mahal untuk macaron dalam gelas koktail besar di hadapanmu,
Moses Ariadinata, jurnalis di majalah sastra kesukaan Arlet,” tulis An.
Aku tersenyum saat perempuan itu
mengetahui nama lengkapku, dan juga majalah tempatku bekerja. Aku menyicip
macaron di hadapanku, lalu kembali aku membaca surat yang ditulis An.
“Bagaimana?
Menyesal karena kau harus membayar enam euro untuk kue ini? Menyesal karena
bukan kue enam euro sungguhan yang kau makan? Menyesal karena saat ini tidak
hujan? Menyesal karena tidak ada lagi perempuan yang datang bersama hujan di
meja di sampingmu? Menyesal karena telepon saudaramu saat itu tidak kau angkat?
Menyesal karena kau telah membenci masa lalu?”
Kerongkonganku tercekat kala aku
membaca tulisan tangan An dalam secarik kertas yang kugenggam. Dan, setelahnya,
aku berubah menjadi lelaki yang amat cengeng saat membaca kalimat terakhir yang
ditulis oleh perempuan berbaju koki yang pernah memamerkan seulas senyum aktor
sore itu.
“Dan,
sekarang, sudah saatnya kau melepaskan masa lalu itu, Moses.”
Pesan terakhir yang sekaligus
membuatku tersadar. Sudah saatnya aku melepaskan masa lalu, seperti gumpalan awan
hitam yang rela melepaskan butiran hujan, kendati dia
adalah pemiliknya.
***
*Ini adalah cerita pendek, yang kalau kata Yuli
Pritania disebut drabble; sejenis fan
fiction yang mengambil latar tempat; toko kue Afternoon Tea, tokoh An, Galuh,
dan perempuan yang datang bersama hujan dalam novel Walking After You-Windry
Ramadhina
**Cerita utama diambil dari salah satu novel
saya yang ditulis tahun 2012. Kisah kakak beradik, Moses dan August yang sampai
saat ini belum saya sentuh kembali. Tentang penyesalan Gus, dan tentang
kebencian Moses, dan tentang perempuan yang jatuh cinta pada seseorang hanya
melalui sebuah cerita.
***Dan ini cerpen pertama saya, setelah
bertahun-tahun tidak lagi menulis cerita pendek. Ternyata sangat sulit, ya.
Ckckck.