Isyarat
-Hal romantis apa yang ingin
kau lakukan terhadap seseorang yang kau cintai?
+Menonton konsernya tanpa
memberitahu bahwa aku datang ke sana. Setelah itu aku akan mendatangi back
stage seraya memberikan sebuah pujian
terhadapnya, ‘malam ini penampilanmu begitu sempurna...’
Suatu hari aku menjawab kuisioner yang dituliskan seseorang, dan itu
hanya sekadar iseng ketika mengisinya. Namun siapa sangka, semuanya berawal
dari sana...
Bukan tempat yang layak, memang. Tempat yang didesain seadanya dengan
penerangan yang buruk. Semburat kekuningan yang membuat mataku tak bisa menatap
dengan jelas ke bawah, tempat panggung itu digelar. Namun tempat ini sengaja
kupilih. Bukan karena masalah tak mampu membeli tiket VIP atau apa, aku hanya
ingin menatapnya dari sini, dari tempat yang dia tak akan menyadari satu hal;
aku menunaikan janjik, sebagai lelaki.
Sebuah analogi dengan basa-basi, sudah jela itu berbeda. Analogi
adalah sebuah pengibaratan sama sifat sementara basa-basi adalah pengibaratan yang
bisa jadi kebalikan atau kebohongan. Dan aku menunggu basa-basi yang
dilontarkan kedua orang di atas panggung itu selesai dan kuharap segera
memasuki acara inti. Bukankah kehadiran disela sibukku untuk itu, bukan
mendengar cengkrama yang sama sekali tidak menarik.
Maka tibalah apa yang selama bermenit-menit kunantikan. Rasanya bukan
perjuangan sia-sia saat harus mengorbankan banyak hal untuk melihatnya berdiri
di atas panggung sana. Satu persatu, mereka memasuki panggung. Dan pada saat
itu, aku merasakan gelenyar aneh yang membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku
menggerak-gerakkan kedua tanganku untuk mengusir perasaan yang benar-benar
aneh; gugup. Padahal aku tidak sedang berada di atas panggung sana.
Aku melihat puluhan orang yang berdiri di sana. Di antara
teman-temannya, aku terus mencari. Seorang Master
Ceremony juga tak terdengar menyebutkan namanya dengan lengkap. Namun tak
juga kutemukan. Pada saat itu aku merutuki diri sendiri karena tidak memilih
kursi VIP. Dengan begitu aku bisa leluasa melihatnya berdiri di atas panggung.
Namun dengan satu resiko, dia akan mengetahui keberadaanku.
Ekor mataku terus mencari keberadaannya, dan pada satu titik aku
menemukannya. Sangat anggun. Kaca mata yang biasa bertengger tak lagi dikenakannya. Dan dialah yang
menjadi alasan aku untuk bertahan di tempat yang dikelilingi debu kotor ini. Meski hanya bisa melihatnya dari arah samping, mataku
terus mengekori posisinya, melantunkan lagu-lagu yang tidak terlalu jelas untuk
ukuran konser. Peralatan yang kurang mendukung menjadi penyebabnya. Tapi itu
tidak masalah selama aku masih bisa menatapnya dari sini. Melihat ukiran
senyumnya yang sempurna.
Mataku seakan tak berkedip. Lagu-lagu itu pun berhenti. Rasanya baru
beberapa saat aku mendengarnya. Ayolah, ulangi, atau dia saja yang berdiri di
panggung, menyanyikan sebuah lagu untukku. Hanya untukku. Atau, satu bait saja,
aku mohon...
However
far away I will always love you
However long I stay I will always love you
Whatever words I say I will always love you
I will always love you...
Itu lagu favoritku saat menjalani banyak hari bersamanya. Namun aku
kembali tersadar. Persembahannya telah selesai. Yang tertangkap mataku kini dua
orang yang sama sekali tak kudengarkan. Bayanganku pun mulai mengabur...
Aku merasa gelisah. Sungguh, ini kadar gelisah paling tinggi yang pernah
kurasakan. Sebenarnya aku menunggu momen ini saat aku harus mengatakan, ‘malam
ini penampilanmu begitu sempurna’ dan saat langkahku hendak memutuskan untuk
menemuinya di balik panggung. Aku bergeming.
Gadis itu tengah berfoto—dan sebagiannya hanya tertangkap samar di
mataku. Lagi-lagi aku mengutuk lampu samar di ruangan tersebut. Membuat mataku
tak bisa menangkap atas apa yang
dilakukan olehnya di sana. Kutajamkan penglihatanku dan seharusnya dari sana
aku mulai sadar. Itu lebih dari sekadar isyarat bagiku.
Ada setangkai bunga di tangannya. Kemudian yang kutangkap adalah
cahaya blitz yang dihasilkan dari sebuah kamera. Dia tidak sendiri di sana. Bersama
seseorang yang tak kunali. Senyumnya tampak lepas. Barangkali senyum seperti
itu yang tak pernah kutemui saat dia bersamaku.
Aku turun menapaki anak tangga, tetapi bukan untuk menunaikan janjiku
mengatakan itu. Aku memilih jalan keluar. Meninggalkan tempat itu dengan satu
kesadaran. Karena dia telah memilih jalannya sendiri.
Suatu
ketika di 22 Mei...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar