Selasa, 16 September 2014

Selamat Berpisah, Selamat Bertemu di Satu Tahun Kemudian

Dan, hening... Percakapan kita kali ini didominasi dengan saling diam. Menjadi kaku. Entah sejak kapan, aku tidak tahu tepatnya. Seingatku, sejak kita tak lagi meniti di jalan yang sama. Kamu telah menentukan pilihan, dan aku tidak menjadi pilihanmu. Kamu tengah bersama dengan yang lain, sementara aku masih sendiri. Aku hanya mencoba melangkah ke jalan lain, mengikuti pilihanmu. Terpaksa. Mau tidak mau. Namun, selalu tidak berhasil. Melupakanmu akan menjadi nomor ke sekian, menghindarimu adalah hal tersulit. Barusan aku sedang berbicara kenyataan, terserah kamu mau memandang bagaimana. Atau, barangkali kamu memiliki jawaban lain? Kamu lalu mengiyakan dengan tegas. Mengatakan bahwa semua hal yang terjadi berawal dari beberapa buah kesalahan. Kesalahanku, kesalahanmu dan kesalahan kita. Kita, menyadari itu berbarengan. Aku tidak mencoba memungkiri, aku tidak akan mengelak atau memberikan pembelaan atas kenyataan itu. Kuakui. Dan kemudian aku berterima kasih kepada masa lalu, kepada sang waktu. Dia memang ajaib. Dia datang dan mengubah banyak hal di dunia ini. Perlahan dia mengubah cara pikirku, serta merta mengobati luka yang tak kunjung sembuh. Setidaknya, waktu juga tidak memberikan penghakiman tentang pilihanmu. Benar atau salah, itu tidak penting lagi. Hanya saja, aku memiliki pandangan yang tidak sama lagi tentang kita. Aku dan kamu. Hah, apa? “Aku tidak menyangka bahwa ini akan terjadi,” katamu memecah hening. Suaramu serak dan agak tersendat. Sebelumnya kamu bilang sedang sakit tenggorokan, dan sudah diobati, tetapi masih belum juga sembuh. Sejenak pikiran nyelenehku menggumam, ‘Diobati saja tidak cepat-cepat sembuh, apa kabar lukaku?’ tapi tidak sampai kusuarakan. Tidak penting juga. Oh ya, kalau saja aku bisa meramalkan itu, tentu saja aku akan mencegahnya. Sekuat tenaga, aku akan berusaha. Bila perlu, aku akan mengorbankan yang lainnya, demi kita. Memangnya, di dunia ini siapa orang yang siap dengan perpisahan? Termasuk aku. Kujawab dengan suara serupa, “Aku juga,” tetapi suaraku tidak serak. Tenggorokanku tidak sedang sakit, hanya bagian yang lain saja yang sakit. Sudah lama, tidak perlu dibahas. Tidak penting juga. Kemudian aku mengulas senyum. Kamu bisa melihat senyumku yang kecut kalau saja barusan kamu menatapku, sayangnya tidak. Sebenarnya, selama ini yang lebih tak kusangka lagi adalah, aku bisa menjalani hidupku sendiri, tanpa kamu. Sejauh ini, aku bisa menghadapinya. Sendirian. Hei, tepuk tangan dong! Lalu kata-kata kembali hilang tertelan hening. Cukup lama, hingga yang kudengar saat itu hanya embusan napasmu yang berat. Aku tidak bisa lagi berkata-kata. Kamu juga begitu. Kita seolah kehabisan bahan obrolan. Tapi kemudian aku berpikir, banyak hal yang ingin kutanyakan, tetapi kemudian aku sadar. Kita telah berbeda. Tak ada lagi kita. Yang tertinggal sekarang hanya kamu, dan aku; Seorang gadis yang memilih jalannya sendiri, dan seorang pemuda yang mengikuti pilihan gadis itu untuk menempuh jalannya yang lain. Oke, jujur saja, aku tidak nyaman jika obrolan yang langka ini hanya diisi dengan hening. Aku terus berpikir, menyinkronkan otakku dengan lidahku. Tapi tidak bisa. Dalam keadaan normal, mungkin aku bisa berceloteh, melontarkan humor-humor yang garing—dan biasanya kamu tertawa karena itu. Karena garing, maksudku—Kadang aku bisa memberikan petuah-petuah yang hanya kau tanggapi dengan sebuah anggukan manis, atau cerita-cerita tidak penting tapi menjadi penting untuk sekadar membumihanguskan keadaan saling diam. Aku telah kehilangan kemampuanku untuk berkata-kata, atau barangkali karena tubuhku yang lelah. Kamu juga begitu, tidak? Atau, kamu malah punya jawaban lain, aku tidak tahu. Sudah kubilang, aku bukan peramal. Tetapi aku bisa menebak. Oke, kutebak, barangkali inilah yang membedakan obrolan-obrolan aku dan kamu di bulan-bulan yang lalu. Sebuah perbedaan yang membuat ketidakbersamaan kita semakin kentara. Tidak ada pilihan. Mau sampai kapan kita akan terbelenggu oleh kebisuan? Aku tidak mau. Obrolan ini... sangat berharga. Maka, aku bercerita tentang perasaanku. Juga tentang orang-orang yang dengan gamblangnya menyerukan, “Obat patah hati adalah dengan mencari hati yang baru!” Hei, memangnya jatuh cinta itu ibarat mendatangi kedai makanan cepat saji kala sedang lapar, hah? Kamu datang, kamu duduk, kamu memesan, kemudian makanan dihidangkan, dan kamu makan dengan lahap hingga perutmu kenyang. Sesederhana itu, kamu yakin? Kamu memilih tidak menjawab. Maka, kulanjutkan lagi ceritaku. Tentang ketidakmampuanku untuk melupa. Ketidakbisaanku melepaskan dan ketidakbecusanku membuka hati yang baru. Tidak sepertimu, bukan? “Tidak seperti itu,” tukasmu dengan cepat. “Lalu, bagaimana cerita yang sebenarnya?” kutanya kamu, mungkin nadaku barusan seperti seorang penyelidik. Maafkan aku, sedikit terpancing soalnya. Kamu kemudian bercerita. Tentang separuh hatimu yang lain. Kamu membaginya seolah hatimu adalah secangkir minuman hangat di tengah hujan yang mengguyur. Aku sebenarnya tidak bertanya, tidak mau menanyakan, tepatnya. Aku sudah menemukan jawabannya sendiri. Sangat gamblang. Bodoh saja bila aku tidak bisa tahu. Apa yang menjadi ketidakbisaanku, malah menjadi hal yang mudah untukmu. Kamu melakukan semua itu dengan baik. Lalu? Tidak ada lagi suara. Hening kembali merasuki percakapan kita. Setelah itu, kamu bertanya tentang hal yang tidak kusuka darimu. Aku tidak ingin menjawab, sebenarnya. Segala hal yang ada dalam dirimu, aku suka. Aku tidak mungkin mengatakan hal minus dalam dirimu, karena aku menerima semua yang ada dalam dirimu, tanpa iming-iming lain. Karena kupikir, seperti itulah kerja cinta. Jika sebelumnya kamu berpikir bahwa cinta membutakan, aku malah percaya bahwa cinta akan menyinari ruang yang gelap, menuntun langkah kita pada jalan yang tepat. Ini yang paling kusayangkan. Kita tidak lagi berada pada jalan yang sama. Aku tidak dapat menerangimu, begitu juga sebaliknya. Tetapi kemudian aku memilih mengatakannya, melanggar janjiku. Kudengar embusan napasmu setelah itu, dan tidak ada lagi suara lain. “Jam berapa sekarang?” kutanya kamu dengan suara berat. Sedikit berbasa-basi, sekadar mengusir hening. Aku sudah tahu pukul berapa saat itu. Ayam milik tetanggaku sudah berkokok tiga jam yang lalu. “Setengah empat,” jawabmu dengan suara berat yang sama. Sudah saatnya obrolan antara aku dan kamu berakhir. Dini hari, tidak baik kalau didengar orang. Padahal, aku pura-pura. Aku tidak mengantuk, aku tidak sedang ingin tidur, apalagi dengan bayang-bayangmu yang tidak serta merta enyah dari pikiranku. Suaramu yang lirih yang sampai detik ini masih bisa membuat dadaku bergetar tidak karuan itu masih terngiang-ngiang saja di telingaku. “Selamat tidur,” ucapmu. “Selamat tidur juga,” ucapku, “Selamat ulang tahun, omong-omong. Sampai berjumpa lagi di ulang tahun berikutnya.” Aku mengakhiri dan setelah itu, perasaanku menjadi tenang, sekaligus semakin tidak karuan. Aku tidak sedang jatuh cinta, aku juga tidak sedang patah hati. Aku tidak sedang apa-apa, seharusnya. Hanya saja, aku sedang merasakan dua hal yang bertolak belakang secara bersamaan. Aku senang, sekaligus sedih. Bagaimana denganmu? -04 Sep. 14 Pada malam yang sudah sangat-sangat larut.