Kamis, 30 Mei 2013

Dilema Dua Rasa; Separate Love

Namun pada akhirnya aku sadar, bahwa cinta membutuhkan kepastian ... sesuatu yang tak pernah aku berikan.
 
Aku sudah mulai belajar melupakannya. Meskipun memerlukan proses yang tidak sebentar. Ketika terjatuh dan terluka, bukankah perlu waktu berhari-hari untuk menyembuhkan dan mengembalikannya ke semula. Lalu bayangkan bila luka tersebut meninggalkan bekas yang mungkin tidak akan hilang. Sampai kamu mati pun, bekas luka itu akan terus terlihat.
Bentuk intrepetasi dari sebuah kehidupan tidak ada yang benar, juga tidak ada yang salah. Keduanya berjalan saling beriringan. Tidak ada kesalahan abadi, juga tidak ada kebenaran yang kekal. Tidak ada yang hal yang abadi di dunia ini termasuk istilah keabadian itu sendiri. Semua yang ada perlahan berjalan menuju ketiadaan. Namun terkadang, manusia lebih memilih berkawan dengan egonya ketimbang rasio. Sehingga logika lebih sering dikesampingkan.
Hanya berupa pengakuan saling mengagumi yang terlontar dari masing-masing kami. Sebagai sebuah bentuk implementasi kadar rasa yang mulai hadir dan tumbuh seiring dengan adanya kebersamaan. Dengan ragu kami mengatakannya, berusaha jujur dengan perasaan masing-masing. Ketika itu, mulutku terasa kelu untuk sekadar berucap, “Ya, aku memiliki perasaan lebih terhadapmu.” Sampai satu kalimat itu terasa lebih sulit dari ujian filsafat sekalipun. Tetapi tidak ada langkah pasti setelah pengakuan yang kami utarakan satu sama lain. Kehidupan terus berjalan. Tidak ada keterikatan. Tidak ada komitmen. Padahal itu bukan sebagai bentuk kebebasan. Kebebasan itu sendiri bermakna terikat. Barangkali aku menunggu waktu yang tepat, karena menurutku wanita sempurna adalah dia yang bersedia menunggu.
Kini dia tengah berjalan dalam pilihannya. Ya, dia telah memilih, meskipun bagiku lebih terasa sebagai sebuah putusan. Sebuah penghakiman yang dilakukannya. Hah ... sekarang manusia lebih percaya dengan kata-kata ketimbang hati kecil sekalipun. Padahal kita tahu, kata bisa saja berdusta.
Suatu malam, aku mengirimkan pesan singkat kepadanya. Entah kenapa, kalimat gombal ini tiba-tiba hadir dalam pikiranku, padahal aku tahu, sekarang dia tak lagi sendiri.
“Coba kamu keluar, lalu lihat langit malam ini!”
Tak lama berselang, dia segera meresponnya. “Ada apa Kak?” tanyanya dengan sapaan ‘Kak’ yang membuatku tersenyum kecil.
Usiaku berpaut satu tahun lebih tua darinya, aku senang ketika dia memanggilku dengan sebutan itu. Seakan aku hidup pada abad yang masih erat memegang adat ketimuran.
“Malam ini cahaya bintang tidak sempurna, tapi kehadirannya bisa menjadi penghias malam dan menemani bulan ketika keheningan menyergapnya.”
“Maksud Kakak?” dengan cepat dia mengirimkan balasan.
"Ya, cahaya bintang itu seperti perasaanku kepadamu, Lembayung ...”
“Gombalannya langsung menusuk dan membuatku ...” Dia menggantung kalimatnya.
Membaca pesan singkat yang dikirimnya membuatku sedikit tersenyum. Aku sendiri tidak mengerti maksudku mengirimkan kalimat sedikit gombal itu kepadanya. Padahal sudah lama sekali kami tidak saling berkomunikasi. Aku marah? Ya, aku akui. Aku merasa tertikam ketika mengetahui dia telah memilih yang lain. Dan dia yang menikamkan belati itu. Gadis yang aku harap bersedia menungguku. Tapi entah kenapa malam itu secara tiba-tiba sikapku berubah. Mulai sedikit meluluhkan egoku. Atau mungkin aku mulai menyesali sikapku selama ini karena tidak pernah berani jujur dengan perasaanku sendiri.
“Kak, sekarang kita tidak bisa seperti dulu lagi. Ada jarak diantara kita.” Balasnya berselang beberapa menit setelah dia menggantung kalimatnya pada pesan singkat.
“Maksudmu?” Mungkin aku manusia paling bodoh bila tidak bisa memahami maksud ucapannya. Makna yang sudah sangat gamblang. Dia mencoba menghadirkan sekat pembatas diantara kami. Tapi yang kuinginkan kini adalah penejelasan. Penjelasan atas langkah yang telah dipilihnya. Yang seharusnya marah adalah aku, karena dalam hal ini posisiku sebagai korban. Ingat, sebagai korban!
“Kita berdua harus bangkit, ayo kita move on sama-sama. Aku harus memikirkan orang lain yang menyayangiku. Aku sangat senang ketika tiba-tiba Kakak menyapaku meskipun melalui pesan singkat, tapi lama-lama aku takut. Kakak tahu sendiri, tidak mudah melupakan seseorang yang kita cintai. Sangat jahat juga bila kita sampai menyia-nyiakan orang yang menyayangi kita. Aku sudah ada yang memiliki, dan aku harap Kakak mengerti dengan posisiku sekarang.”
Aku mencoba santai menerima pernyataan itu darinya, meskipun pada kenyataannya tidak. Aku membalasnya dengan kalimat bernada ironi dan aku yakin dengan mudah dia dapat memahaminya.“Justru jahat itu ketika kamu bersamanya, tetapi pikiran serta perasaan kamu tidak kepadanya. Kejahatan pertama yang kamu lakukan adalah kamu telah membohongi diri sendiri. Dengan itu kamu telah membohongi orang lain. Dia, lelakimu.”
“Siapa bilang? Aku menyayanginya ... meskipun jujur, aku belum bisa melupakan seseorang yang namanya masih tersimpan di hatiku. Membayangkanmu membuatku gila. Aku berusaha membencimu, tapi tetap tidak bisa. Aku pikir, setelah mengeluarkan uneg-uneg yang kurasakan, aku bisa menghapus bayanganmu, tapi nyatanya tidak.”
“Aku tidak akan pernah rela kamu dengan yang lain.” Begitulah diriku, yang kali ini benar-benar dikuasai ego.
“Tetapi aku sudah ada yang memiliki.” Jawabnya segera.
“Terus, apa kamu memiliki harapan?”
“Aku tidak tahu, Kak. Yang jelas, let it flow ...
“Ini tentang pilihan,”
“Aku tak memiliki pilihan.”
“Tapi aku hanya ingin kamu jujur dengan perasaanmu sendiri. Dengan itu kamu tidak akan menyiksa siapapun!” aku tidak tahu apakah kalimat ini terlahir dari ketulusan atau buah dari egoku.
Dia tidak membalas!
Aku menunggunya, beberapa kali aku mengecek pemberitahuan pada layar ponsel. Tidak ada! Sampai malam benar-benar larut.
Kamu benar-benar bodoh, Galih ... rutukku pada kebodohanku sendiri.
*
Suatu malam setelahnya ...
“Aku akui, sejak awal ini semua adalah kesalahanku. Aku yang membuat semua ini menjadi rumit. Aku ingin Kakak mengerti, tidak semudah itu memutuskan. Hubunganku dengannya sudah terjalin cukup lama. Tidak mungkin aku meninggalkannya begitu saja. Lantas apa bedanya aku dengan tuduhan penghianat yang sering Kakak layangkan kepadaku. Cukup dimata Kakak saja aku dianggap sebagai penghianat ...Coba bayangkan Kakak berada pada posisiku sekarang. Sudah kukatakan, aku menyayanginya ... hanya saja aku belum bisa melupakan Kakak ... maafkan aku karena telah egois.”
Pesan singkat yang nyatanya tidak singkat ini kuterima. Dia kembali memutuskan. Apa yang bisa kulakukan? Tidak ada. Tak lama berselang, sebuah pesan singkat kembali masuk, dari pengirim yang sama.
“Biarkan kini aku berdiri melawan waktu ... untuk melupakanmu. Walau pedih hati, namun aku bertahan.”
Haha ... seperti sebuah lirik lagu. Namun aku tak bodoh. Dan setelah itu, aku tak lagi menyapanya. Melalui pesan singkat, ataupun ketika bertatap muka. Tidak ada lagi basa-basi yang kucoba perlihatkan. Begitu juga dengan dia. Semua berjalan sendiri-sendiri. Aku menganggapnya tak pernah ada, meskipun dia berdiri di hadapanku.
*
Sampai suatu hari aku tidak lagi melihatnya duduk mengikuti perkuliahan seperti biasanya. Aku tidak peduli, tapi ketika berkali-kali terdengar suara dosen mengabsennya, semua teman-teman menjawabnya serentak ...
“Dia sedang sakit,” suara Agni sedikit menyadarkanku dari apa yang baru kali ini aku renungkan. Aku baru menyadari, kalau aku belum peka terhadap sekitar. Entahlah, meskipun aku pikir itu tidak penting.
“Lantas?” responku segera. Ya, sesederhana itu.
“Haha ...” Dia tertawa mendengar responku.
Aku mengerutkan dahi, bermaksud bertanya, namun dia kembali melanjutkan. “Hidupmu penuh dengan gengsi, padahal dari raut wajahmu, aku melihat kalau kamu sedang khawatir, Galih.”
“Maksudmu? Yang seharusnya khawatir adalah pacarnya.”
“Kamu juga temannya, kan?” kali ini Agni mendelik ke arahku.
Aku hanya terdiam. “Lihat, wajahmu memerah. Penyangkalan yang dilakukan mulutmu sangat bertolak belakang dengan hatimu, mungkin.”
“Sok tahu kamu!” aku sedikit kesal dengan tingkahnya.
“Haha, kamu terlalu naif. Kisah kalian sudah menjadi rahasia umum.” Dia kembali tertawa seolah kisahku seperti halnya kisah Romeo dan Juliet. Hampir satu dunia mengetahuinya.
“Hah,” aku mendengus, sambil membuang pandangan.
“Susah sekali mendesakmu untuk jujur.”
“Ini adalah ekspresiku yang paling jujur.”
Agni menatapku seolah melecehkan, dari cara dia menatapku seolah berkata, “Oh ya?”
“Untuk apa kita mengejar sesuatu yang sudah jelas tidak menerima kita dalam kehidupannya.” Lanjutku dengan tatapan ke depan.
Owww so deep ...” Responnya terdengar berlebihan menurutku.
Aku mulai muak melihat ekspresinya waktu itu.
“Wanita itu butuh kepastian.” Dia melanjutkan.
Aku tidak tahu apakah dia berbicara seperti itu sebagai seorang perempuan, atau dia mencoba memposisikan diri sebagai sahabatnya. Aku sudah sangat sering mendengar kalimat itu.
“Kamu wanita kesekian yang mengatakan itu.” Kenyataannya memang seperti itu. Entah itu alibi atau memang benar. “Kenapa harus ragu ketika kamu sudah yakin, bahwa pilihanmu juga memilihmu.” Lanjutku dengan suara terdengar serak.
“Karena kita dibuat ragu oleh penantian. Dan ketika wanita mendapati ada seseorang yang menyatakan kesiapannya, apakah kita harus memiliki alasan untuk menolak?”
Aku terdiam, mencoba menyelami maksud ucapannya. Suasana kembali hening. Hanya terdengar kicauan burung di luar. Belum ada tanda-tanda teman yang lain akan masuk ke dalam kelas. Hanya ada kami berdua di ruang ini.
“Karena kita sudah merasa yakin, bahwa hati kita sudah berpaut dengan yang lain. Meskipun tidak ada kepastian. Itu alasan yang cukup masuk akal.” Jawabku memecah keheningan. “Namun ketika kita sudah merasa tidak yakin, bahwa hati kita sudah tidak lagi berpaut. Lantas, apa yang masih bisa diharapkan dari semua itu? Bukankah cinta itu tumbuh dari sebuah keyakinan.”
“Mungkin dia memilih bukan karena cinta, tapi karena dia merasa bisa mendapat kebahagiaan dari orang lain. Cinta dan kebahagiaan yang terpisah, mungkin itu yang dia yakini.” Suara Agni terdengar melemah. Kali ini aku juga tidak tahu, apakah kelakarnya barusan atas nama seorang wanita atau dia kembali memposisikan dirinya sebagai sahabatnya yang tentu akan terus membelanya.
“Terlepas dari apapun alasannya, aku tidak peduli. Seharusnya cinta dapat memberi kebahagiaan.” Bodohnya aku karena dalam hal ini aku masih menggunakan logikaku untuk berpikir. “Meskipun aku tahu, cinta tidak pernah masuk di akal.”
“Memang tidak, mungkin karena itulah para pelakunya pun bersikap tidak masuk di akal.” Dengan entengnya dia menjawab dengan kalimat yang bernada ironi.
“Dia sudah memilih, meskipun aku tidak memberinya pilihan. Haha ... sangat lucu ketika mendengar ceritanya.” Aku tertawa lepas, meskipun terdengar dipaksakan. “Sebodoh itukah dia?”
Agni mendelik ke arahku, sepertinya dia tidak suka dengan ucapan serta ekspresiku ketika mengatakan itu barusan.
“Tapi sudahlah, toh aku sudah melupakannya. Dan sepertinya itu bukan perkara yang sulit.” Jelasku kemudian, aku tidak tahu apa kalimat itu benar-benar bisa meyakinkannya. Kalimat yang merupakan bentuk kebohongan terbesarku.
“Syukurlah, memang tidak semua hal yang kita inginkan bisa kita dapatkan.” Dia mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya. “Mungkin dia hanya berhati-hati agar tidak ada yang menyakitinya, juga tidak ada yang tersakiti olehnya.” Tambahnya, sebelum dia menuliskan sesuatu pada catatannya.
Padahal, akulah yang tersakiti ...
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Pertanyaan yang selama ini berkutat dalam pikiranku, apakah aku yang terlambat, atau dia yang tak bersedia menunggu? Kini terjawab sudah ...Mungkin kali ini keputusanku sudah benar. Aku sadar atas egoku yang menganggap semua ini adalah kesalahannya, tidak sepenuhnya benar. Aku yang bersalah, karena tidak memberinya kepastian yang membuatnya merasa yakin atas keseriusanku. Dan dari ini aku tahu, bahwa cinta butuh kepastian agar tidak membuatnya merasa tak nyaman berdiri dalam suatu ketidakjelasan.
Aku yakin ketika kebahagiaan dan cinta yang berjalan, kadang terpisah. Tidak harus selalu bersama.

Sabtu, 25 Mei 2013

Diary Jomblo Darurat with Dioners #asekkk


Orang Batak Seksi

Berkat buku Diary Jomblo Darurat. Sembelit saya, langsung hilang!
Baaaaaaa
Pesugihan

 
Nah, gue salah upload Deng

***
Ini si Peri Ungu mau baca gak mau beli gara-gara gak ada puisi Ini si Peri Ungu mau baca gak mau beli gara-gara gak ada puisi

Diterbitkan Batak Pos; Sang Jawara


Sang Jawara
Oleh: Dion Sagirang
            Wajahnya tertunduk lesu di dekat jendela. Sesekali pandangannya mengarah ke luar. Suara gerimis menyatu dengan alunan Titik Puspadalam  piringan hitam yang sejak senja tadi berputar. Gurat penyesalan serta kesedihan mendalam nampak dari garis wajahnya yang mengeriput. Wajah kejayaan tempo dulu. Abdi dalam masa Founding Father, barangkali di masa Bapak Pembangunan. Entahlah. Hanya ia dan guratan waktuyang tahu. Air mata tak urung menjadi jawaban ketika ada yang menanyainya.Tidak ada yang lebih baik dari bungkam, menyimpannya...rapat. Jiwa prajuritnya melekat, menyatu bersama aliran darah dalam setiap potongan daging dan bahkan jiwanya lebih kokoh dari tulangnya.
            Akulah saksi sejarah, saksi peradaban dari sebuah masa peralihan. Masa yang tidak lebih baik dari masa berbau demokrasi. Klise. Bentuk penindasan hanya berbeda istilah, satu dengan yang lainnya. Lalu menyatu dengan prakata baru.
Dari balik ruang berkaca aku menatapnya. Di sini, aku dapat melihatnya jelas, lebih jelas dari sekadar mematut diri di hadapan cermin tua. Ketika rintik mulai membasahi tanah yang menebar aroma kebangkitan. Juga cairan bening yang mulai mengalir dari sudutmatanya yang sayu. Aku bisa merasakannya. Keketiran yang lebih, ketika suara baku tembak bersahutan di udara, suara tangis memekik,jerit terperangah dalam kubangan. Kematian menjadi sebuah hal yang lumrah, seperti area pejagalan. Darah mengenang meski bukan pada lubang. Kepala-kepala penghianat negara menurutnya kini tinggal di tendang, menggelinding, nyanyiannya lebih merdu dari gesekan biola, dengan bau amis yang nikmat.

Painful Love




Penulis: Dion Sagirang

Penyunting: Gari Rakai Sambu

Penerbit: Media Pressindo

Ukuran: 13 x 19 cm

Tebal: 200 halaman

ISBN: 978-979-911-304-7



“Jika kamu bertemu dengan cinta pertamamu, apa yang akan kamu lakukan?”

Sheila tersedak ketika Ken mengajukan pertanyaan itu. Ia segera meraih tisu di hadapannya, kemudian mengelap ujung mulutnya. “Aku….”

“Dan jika seandainya kamu sudah memiliki cinta yang baru, apa kamu akan kembali pada cinta pertamamu? Atau kamu ingin melupakannya begitu saja?”

***

Rencana Ken membalaskan dendam kakaknya menjadi kacau ketika Sheila membuat pengakuan yang begitu mengejutkan. Ken menyadari, keputusannya salah. Mendekati gadis itu dengan misi balas dendam hanya membuat keadaan menjadi lebih buruk. Dampak dari keputusan itu, Nadine, gadis yang belakangan mulai mengisi kekosongan hatinya, berbalik menjauhinya.

Di antara jungkir-balik Ken memperbaiki keadaan, ia justru mendapatkan sebentuk cinta yang lain. Cinta yang terasa tak masuk akal. Namun, bukankah cinta memang sudah selayaknya tak masuk akal?

Diary Jomblo Darurat


Diary Jomblo Darurat
Telah Beredar di Toko Buku Kesayangan Anda!

Diary Jomblo Darurat
Penerbit                       : Penerbit Anza
ISBN                           : 978-602-18303-7-6
Penulis                         : Dion Sagirang
Ukuran/Halaman            : 13x19 cm/xxii+158halaman
Cetakan                       : Cetakan I,Februari 2013
Tahun Terbit                 : 2013
Harga                          : Rp.28.000